Sabtu, 04 Oktober 2014

Yobanashi Deceive V

Cerita Malam Menipu V 

Kegelapan malam mulai mendekat.

Di luar jendela kecil yang transparan, perlahan bangunan-bangunan persegi yang berjejer menelan matahari senja dan menghilang setelah satu kedipan mata, hanya meninggalkan sekilas berkas kilauan cahaya.

Rumah-rumah yang bermandikan sinar oranye matahari kembali mengenakan busana senjakalanya. Tiada orang yang bisa mencegah malam untuk datang kembali hari ini.

Aturan dunia ini tidak pernah mempedulikan perasaan per-individu.

Faktanya, seberapapun kau berharap; waktu tidak akan berjalan mundur atau pun berjalan lebih cepat sesuai kehendakmu. Terserah kau adalah orang mati atau hidup, dunia ini tidak akan menghiraukannya dan akan terus berputar dengan kecepatan yang telah ia tentukan sendiri.

Hal sesederhana itu baru kusadari setelah dunia ini menghantamkan fakta ini kepadaku dengan sangat keras.

Tanpa memiliki titik fokus pandang, mataku yang mengarah ke jendela buyar, tidak memasukkan informasi cahaya ke dalam retinaku dengan benar. Tanpa bergerak dan hanya terus berbaring di sini, kugerakkan bola-bola mataku ke tempat lain.

Penglihatanku seketika menangkap rak buku yang terlah tersusun rapi dengan komik-komik pahlawan di atasnya. Sudah sekian lama aku tidak membaca buku-buku itu. Kukenang kembali bagai mana tokoh-tokoh utama di komik itu melakukan tindakan gagah berani mereka.

Kapankah terakhir kali aku bermain pura-pura menjadi pahlawan?

Kapankah terakhir kali kami bermain kejar-kejaran sambil berpura-pura kami adalah anggota organisasi rahasia?

Kenangan-kenangan yang kembali mengambang ke otakku membuatku sadar seberapa banyak hal yang sudah terjadi selama beberapa tahun ini.

Aku mengingat hari pertama kami akan sekolah; Ibu dan Ayah dengan semangat membelikan kami berbagai macam kebutuhan-kebutuhan untuk sekolah. Namun, karena kekuatan kami, kami tidak bisa beradaptasi dengan mudah dengan lingkungan sekolah, dan akhirnya kami tidak tahan lagi.

Pada saat itu, kami bertiga menangis tersedu-sedu sepanjang malam karena frustasi. Penyesalan kami telah menyia-nyiakan buku-buku, alat-alat tulis, dan seragam-seragam sekolah yang telah Ibu dan Ayah belikan untuk kami telah mengecilkan hati kami. Padahal mereka sudah berucap “Berjuanglah semampu kalian!”, tapi kami tetap tidak bisa membalas mereka dengan usaha kami.

Di sekitar waktu itulah Seto tidak bisa lagi menahan kekuatannya dan pergi dari kota. Karena dia mendadak kabur dan tidak kembali biarpun senja sudah datang, kami semua khawatir ada sesuatu yang terjadi kepadanya.

Tanpa perlu dikatakan lagi, kami semua pergi mencarinya, tetapi jujur saja hal tersulit pada saat itu adalah mencoba menghibur kaka yang menangis ditengah-tengah pencarian.

Esoknya, kalimat pertama yang diucapkan oleh buronan yang telah kami cari-cari adalah “Saya bertemu dengan seorang gadis yang sangat manis,”—pada saat itu, aku lebih merasa shok daripada marah kepada Seto yang baru pulang.

Setelah itu, sangat mudah ditebak apa yang akan terjadi; Seto digebuki Kido tanpa ampun. Anehnya, sejak kejadian itu kemampuan Seto tidak lagi aktif sesering dahulu. Mungkin itu berkat ‘gadis manis’ yang ia temui di suatu tempat di dalam hutan.

Akhir-akhir ini mereka juga sepertinya telah menjadi cukup dekat, tetapi dia masih belum memperkenalkannya kepada kami. Mungkin ada suatu masalah di balik itu.

Sekarang, Kido pun telah menjadi lebih lembut dibandingkan dengan dulu, dan entah sejak kapan ia telah bisa mengontrol kemampuannya.

Dengan bangganya ia berkata, “Aku sudah menguasainya!”, namun biarpun begitu, sebenarnya agak menyusahkan memiliki Kido yang bisa lenyap dan muncul sesuka diri.

Jantungku hampir berhenti saat suaranya muncul tiba-tiba di sampingku dan Seto yang sedang membicarakan....sesuatu. Dengan polosnya dia bertanya, “Apa maksudnya?”

Berhubungan dengan itu, ingat dengan gaya bicara Seto yang sering membuatnya berkonflik dengan Kido? Akhirnya konflik mereka berakhir berkat usaha dari Seto yang cukup besar.

Sepertinya penyebab Kido tidak menyukai gaya bicara Seto yang dulu adalah karena keluarganya yang sebelumnya sering menegurnya dengan keras menggunakan logat bicara yang sangat sopan, karena itulah sejak itu dia memiliki kebijakan ‘Tidak boleh ada kesopanan yang berlebihan antar teman.’

Setelah Kido menjelaskanya, Seto mencoba menyingkirkan kebiasaan berbicaranya yang sudah melekat dari lahir itu dengan susah payah. Dan karena itu, entah darimana dia mengambilnya, tetapi sekarang dia menggunakan gaya berbahasa yang cukup aneh.

Aku baru saja terbiasa dengan gaya bicaranya yang baru, tetapi terkadang aku merasa sedih Seto tidak lagi mengakhiri perkataannya dengan –desu.

Menyingkirkan sentimentalku yang tidak penting, hubungan Kido dan Seto yang membaik merupakan hal yang bagus, bukan? Mereka memiliki keinginan untuk berubah, dan mereka pun berhasil melakukannya.

Mungkin saja.....satu-satunya yang masih belum berubah—yang masih belum berpikir untuk berubah....hanyalah aku. Diriku yang sekarang hanya berbaring dengan lesu di tengah ruangan kecil ini.

Ini bukanlah kali pertamanya aku melakukan ini, dahulu aku juga sering berbaring di dalam kamar tanpa melakukan apapun, hanya merenungkan berbagai macam hal sendirian. Terakhir kali aku seperti ini adalah saat Ibu.....bukan, saat ‘ibu kandungku’ meninggal.

Pada masa-masa gelap itu, kupikir aku hanya akan menghabiskan sisa hidupku dengan kekosongan tiada arti, tanpa tujuan, dan kehilangan arah. Tidak ada sama sekali aku memikirkan diriku akan mendapatkan ‘kebahagiaan’ atau semacamnya.

Namun kemudian, apa yang terjadi? Aku dicintai orang tua baruku, disayangi kakaku, dan menghabiskan hari-hari selanjutnya dengan senyuman. Hal itu hampir tidak bisa dipercaya. Dunia bagai mengatakan “berbahagialah” kepadaku setelah hal-hal yang telah kulalui. Sampai sebulan yang lalu.

Sampai waktu dimana Ayaka-san, ibu yang merawatku, meninggal.

Sampai waktu itulah aku baru menyadari seberapa bodohnya aku dengan pemikiranku mengenai dunia ini.

“.....kenapa hal seperti ini bisa terjadi?” keluhan yang sudah lama ingin kubunyikan akhirnya keluar dari mulutku. Seandainya dunia memiliki telinga, aku akan mengeluh seperti ini dari dulu.

.....tidak, aku tidak akan melakukannya. Seandainya dunia memiliki telinga, aku tidak akan mengeluh. Mungkin aku akan terlebih dahulu menghancurkan telinga itu menjadi debu.

Seandainya dunia bisa ‘berpikir’, mungkin aku akan memeras semua cairan otaknya dan menginjak-nginjaknya sekarang.

Semakin kupikirkan, amarahku semakin membara. Aku merasa aku bisa mengeluarkan semburan api saking marahnya aku sekarang.

Apa salah kami? Kami telah menerima semua kekejaman dunia, menahan air mata kami terhadap ketidakadilan, menelan keluhan kami kepada ketidakmasukakalan, dan saat akhirnya kami berpikir kami mendapatkan kebahagiaan kami......hal seperti ini malah terjadi.

Kenapa segala hal yang berharga bisa diambil dengan sangat mudah?

Bagaimana bisa ‘dunia ini’ melarang kami merasakan kebahagian yang kecil ini? Siapa....? Siapa sih yang telah menciptakan dunia tak tergantikan yang mengerikan ini....?

“....apa yang membuat muram?”

Mendengar suara yang tiba-tiba muncul, aku meloncat terkejut. Terlihat Kido yang mengenakan pakaian atletis sedang menunduk, menatapku.

“Se-sejak kapan kau di sini?” Aku menjadi tidak yakin sudah seberapa lama Kido melihat kondisiku karena kemampuannya yang menyusahkan.

“Kenapa? Kau terlihat lesu.”

Raut wajahnya yang datar tidak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya kepadaku. Saat aku menyadari ini, aku bergegas menempelkan sebuah ‘senyuman’ di wajahku.

“Lesu? Apa yang kau bicarakan~? Aku sama sekali gak muram atau pun lesu kok! Kebalikannya, aku malah sedang sangat bersemangat dan segar~ Ah, apakah kau khawatir karena aku mendekam sendirian di kamar ? Kido unyu banget~......Ow!”

Aku berbicara dengan senyum jahil menghias mimikku, tapi mendadak wajahku kembali berkenalan dengan kepalan tangan Kido.

“.....aku tau kau sedang menangis. Pembohong.”

Perkataan Kido menyadarkanku. Kesakitan yang telah kurasakan membatalkan kemampuan menipuku dan ‘senyuman’ku pun robek.

“Uu…”

Sesungguhnya, ekspresi seperti apakah gerangan yang berada di balik topengku? Mendadak dibuka seperti ini, aku refleks menundukkan kepalaku.

“E-enggak kok, bukan begitu! Aku gak nangis! Gak mungkin, maksudku...”

Benar-benar kemampuan yang tidak bisa diandalkan.....masa hanya dengan kesakitan sesedikit ini kemampuanku bisa langsung dihentikan.

Biarpun aku bergegas menyapu airmataku yang tidak bisa berhenti, hal itu tidaklah berguna. Raut wajah sedihku sudah terlihat olehnya.

Dengan hembusan napas panjang, Kido menyuarakan, “Bego,” sebelum merangkan ke sampingku.

“Be-bego......?” sementara diriku tidak bisa mengeluarkan respon yang baik, Kido menegurku dengan tegas.

“Kau tidak perlu memaksakan diri. Itu tidak baik.”

Kido benar. Dengan bertingkah seperti ini, aku malah seperti memberikan kode “kumohon khawatirkan aku”

“.......Maaf. Salahku,” Aku tidak bisa memikirkan apapun untuk dikatakan selain meminta maaf dengan jujur.

Selama bulan dimana Ibu meninggal, Kido pun pasti sangat menderita. Sebenarnya, aku juga sering melihatnya menangis.

Seharusnya aku tidak boleh membuatnya lebih kesusahan lagi, tapi pada akhirnya aku malah membuatnya khawatir. Dasar aku bego.

“Yah, karena kau bego, tidak ada yang bisa kulakukan selain memaafkanmu,” kata Kido sambil mencebil kecil, tapi kata-katanya membuatku sedikit nyaman.

“Bahkan di masa depan pun, aku akan terus menghajarmu.”

.....dan ketidaknyamananku kembali dengan cepat. Aku memang tidak memiliki umur panjang, huh?

“Ahahaha.....omong-omong, kenapa kau ke sini? Kau perlu sesuatu?”

“Oh, iya. Onee-chan bilang makan malam sudah siap. Otou-san dan Seto sudah menunggu,” saat ia berbicara, Kido menunjuk ke pintu.

“Huh, semuanya sudah pulang!? Uwah, maaf, aku akan bergegas ke ruang makan!” kataku, segera berdiri. Kido hanya mendengkur kecil dan ikut berdiri, “dasar nyusahin” bisiknya.

Aku setuju dengannya. Bahkan diriku sendiri pun merasa aku ini orang yang menyusahkan. Namun, biarpun perkataan Kido agak kasar, aku merasakan kelembutan dari ucapannya.

Ah......kesalahpahaman apa yang selama ini kupikirkan? Aku masih dikelilingi dengan kebahagiaan.

Sekarang berbeda dengan dahulu. Aku tidak lagi sendirian, tanpa ada siapa pun menemaniku. Bukankah aku masih mempunyai keluarga sekarang? Keluarga yang baik kepadaku dan akan menghantamku seandainya aku kehilangan diriku sendiri?

Aku harus terus hidup. Aku harus tetap bahagia. Seandainya aku sedih, itu akan membuat orang-orang di keluargaku juga sedih.

……Benar juga. Bagaimana bisa aku membiarkan dunia yang kejam ini mengatur segalanya? Aku harus bertahan, harus terus hidup, dan mentertawakan dunia yang tidak adil ini dengan kebahagiaanku.

“Makan malam hari ini bakal seperti apa yah~? Aku harap makanannya tidak seaneh kemaren.”

“Sepertinya makanannya tidak terlalu buruk. Tapi baunya agak sedikit aneh sih.”

“Be-benarkah….? Aah, biarpun aku tidak punya hak untuk mengeluh karena aku sendiri tidak bisa memasak, kenapa tidak kau saja yang memasak sesekali? Soalnya Kido kan pintar sekali memasak~. Ah, aku cuma bercanda….”

“Bukannya aku menolaknya atau semacamnya, tapi itu tidak berguna. Onee-chan bilang dia ingin membuatnya sendiri, dan dia bahkan tidak mendengarkanku sama sekali.”

Bersamaan kami berbincang-bincang, kami menuju meja makan dimana keluarga kami telah menanti.

….seperti yang sudah diduga, makanan yang dibuat kaka memiliki rasa yang perlu dipertanyakan, tapi hari itu juga merupakan kali pertamanya aku bisa tertawa kembali bersama anggota keluargaku setelah sekian lama

***

Pada suatu hari di musim semi, aku datang ke taman kecil di dekat rumahku. Pagi ini, kaka memintaku untuk datang ke sini untuk mendiskusikan sesuatu dengannya.

Di antara semua mainan yang berhamburan di taman ini, aku memilih ayunan untuk kududuki. Kutadahkan kepalaku, memandang ke langit dengan tatapan yang tidak fokus kemana pun.

Yah, aku sudah terbiasa dengan tingkah aneh yang tiba-tiba dari kaka. Yah.....sebenarnya, lebih melegakan saat kaka memberitauku apa yang ingin dia lakukan terlebih dahulu.

Habis sih, dia dulu pernah mengatakan, “ayo kita lakukan sesuatu yang menarik!” dan selanjutnya kami malah pergi keluar di tengah-tengah malam hanya untuk menangkap serangga.

Dibandingkan dengan kejadian itu, “berbicara di taman” adalah tugas yang lebih mudah. Tentu saja hal itu bisa dikatakan jika diskusi ini hanya akan berakhir sebatas diskusi saja.

Tetapi......sebenarnya apakah yang ingin kaka diskusikan sampai-sampai dia harus memanggilku ke taman? Pasti yang ingin dia diskusikan adalah sesuatu yang tidak bisa dibicarakan ke siapapun.

Omong-omong, akhir-akhir ini kaka sering terlihat lesu.

Biasanya, kaka adalah gadis yang bisa dikatakan kelebihan ceria. Seandainya ada sesuatu yang bisa membuatnya selesu itu, pasti itu adalah topik yang ingin dia diskusikan denganku.

Semenjak kaka masuk SMA sepertinya tugas sekolahnya makin sulit. Mungkinkah itu yang ingin dia bicarakan....?

....tidak. Jika yang ingin kaka bicarakan adalah tugas sekolah, ia tidak perlu berbicara denganku. Ayah akan lebih berguna untuk hal semacam itu.

Kalau begitu, pasti yang ingin kaka bicarakan adalah sesuatu yang berhubungan dengan sekolah, tapi tidak berhubungan dengan tugas. Misalnya......

“....percintaan...?”

Ucapan yang keluar dari bibirku sendiri malah membuatku merasa kesal.

Tidak, tidak, tidak mungkin untuk kaka. Soalnya, kaka adalah gadis yang dibesarkan dengan komik cowo dan berbagai cerita pahlawan berkostum. Dia tidak akan mungkin merasakan sesuatu segirlish itu. Tidak, tidak mungkin. Ya. Itu sangat mustahil.....

“Mustahil, kan!?”

Tiba-tiba aku berdiri dari ayunannya, membuat tempat duduk dan rantainya berbunyi keras.

Tidak, maksudku, apa yang ingin kaka lakukan adalah pilihannya, dan aku tau aku tidak berhak mencampuri urusannya...tapi, seandainya dia benar-benar memiliki orang yang dia sukai....apa yang harus kulakukan?

Dan lagi, bagaimana jika orang itu adalah lelaki mencurigakan yang mempunyai motif yang perlu dipertanyakan?

.......darah akan becucuran.

Tidak perlu diragukan lagi, kami sekeluarga akan pergi dan menghajarnya sampai dia tidak bisa dikenali lagi.

Apalagi seandainya Ayah mengetahuinya, aku sudah bisa membayangkan ‘neraka’ yang akan terjadi.

Setelah Ayah selesai dengannya, mungkin tidak akan ada lagi bekas keberadaannya di dunia ini. Tentu saja, aku juga akan membantu.

Tapi seandainya....seandainya kaka benar-benar memiliki orang yang dia sukai dan ingin membicarakannya dengan seseorang.....

Seandainya dia berbicara kepada Seto, dia pasti hanya akan merona, tergagap-gagap, dan tidak akan membantu. Kido pun mungkin tidak akan tau apa yang harus dia katakan.

Ayah sudah tidak mungkin, dan itu berarti di antara anggota keluarganya.....

“...hanya tinggal aku yang mungkin. Hmm.....”

Biarpun ini hanya imajinasi yang muncul tiba-tiba, entah mengapa kemungkinan hal ini terjadi adalah sangat tinggi

Kudengar zaman sekarang biasa saja untuk gadis SMA memiliki pacar satu atau dua....tunggu, ini bukanlah sesuatu yang sepele. Satu atau dua? Aku tidak akan pernah memperbolehkannya.

Tapi bagaimana pun juga, tidak dapat disangkal; seandainya kaka mendadak mengatakan “Aku sedang jatuh cinta”, aku tidak akan terlalu terkejut.

Ngomong-ngomong, dia memang pernah mengatakan kalau dia mempunyai sahabat baik.

Seandainya aku benar mengingatnya, sahabat baiknya itu mendampinginya ke festival budaya tahun lalu, yang ada stan tembak-menembak yang aneh.

Lebih dari itu, sepertinya mereka berdua di tempatkan di kelas yang sama setelah masuk SMA.

Dan itu berarti.....

“....jadi laki-laki itu, huh?”

Biarpun dia hanyalah musuh yang kuimajinasikan sendiri, pandanganku langsung menyipit karena kesal.

Seandainya dia mencoba menyentuh kaka, aku akan....

“Maaf yah~ aku telat~”

Dengan suara yang penuh semangat, kaka berlari ke arahku mengenakan seragam sekolah musim dingin. Biarpun dia masih melilitkan selendang merah seperti saat kami kecil di lehernya, dia telah tumbuh besar menjadi anak SMA tanpa kami sadari.

Aku mengunci teori-teori yang tadinya kupikirkan jauh ke dalam diriku dan kemudian menjawabnya.

“Ada apa sih, nee-chan? Tidak perlu buru-buru kok.”

“Nah~ aku hanya merasa tidak enak telah membuatmu menungguku dengan lama.”

Dia mengeluarkan tawa lembut sambil tersipu malu.

Biarpun kepolosannya masih belum berubah dengan waktu yang berlalu, dia telah tumbuh cukup pesat sejak masuk SMA. Mungkin ini terlalu bias jika aku yang merupakan keluarganya mengatakan ini, tapi aku jujur berpikir gadis sebagus dia jarang bisa didapat sekarang.

“Omong-omong, aku minta maaf telah mendadak memanggilmu seperti ini~”

“Tidak apa kok. Soalnya nee-chan sudah sering melakukan hal seperti ini. Jadi, ada apa?”

"Ah, um. Er…"

Biarpun aku bertanya, dia seperti kesulitan untuk menjawabnya. Aku menunggunya dengan sabar, tapi dia masih belum kunjung bicara, sebaliknya dia malah terlihat sangat sedih.

“A-ada masalah apa?”

“Ti-tidak ada, hanya saja......ini adalah hal yang cukup sulit untuk diungkapkan. Harus mulai darimana dulu aku~?”

Biarpun dia mencoba menutup-nutupinya, sepertinya masalah yang ingin dia katakan adalah sesuatu yang sangat mengganggunya.

Hipotesisku yang sebelumnya kupikirkan mulai muncul kembali.

“A-apakah hal yang ingin kita bicarakan seserius itu.....?”

Dengan penuh kegelisahan, aku bertanya-tanya dalam diriku apakah masalah yang memberatkan kaka adalah masalah percintaan. Kaka pun akhirknya memantapkan keyakinannya dan perlahan berbicara.

“......Bukan, ini....ini tentang....Ibu.....dan penyebab kenapa dia meninggal.”

"Huh?"

Menemui topik yang sangat berbeda dari apa yang kupikirkan, kusuarakan rasa terkejutku.

“Kamu tau kan kalau mereka mengatakan Ibu terbunuh karena tanah longsor?” tanya kaka yang menundukkan kepalanya.
Ibu baruku.....Ayaka-san.....dia adalah seorang arkeologis yang mempelajari berbagai macam kebudayaan.

Karena pekerjaannya yang agak tidak lazim tersebut, dia jarang ada di rumah. Biasanya dia pergi ke sana kemari.

Bahkan pada hari itu, dia dan Ayah juga sedang pergi bersama untuk....

“....pada hari itu mereka pergi untuk melakukan suatu penyelidikan, bukan? Itu yang kudengar, tapi.....”

“Mm, kamu benar kok....ah, bagaimana kalau kita duduk dulu? Aku masih belum terbiasa dengan sepatu ini,” kata kaka sambil menghantupkan ujung sepatu sekolahnya dengan lembut.

Kami berdua duduk di bangku taman terdekat ketika dia lanjut berbicara, “Ini....” katanya, dan mengeluarkan sebuah buku catatan dari tasnya.

Buku itu tidak terlihat terlalu tua, tetapi mungkin karena sering ditulisi dan dibuka, ujungnya agak sedikit kusut.

Di depannya tertera tulisan tangan rapi; ‘Catatan Penyelidikan Mengenai –Monster-‘

“ ‘Monster’ apa yang dimaksud di sini?....Omong-omong, bukannya ini milik okaa-san? Kenapa kaka.....”

Aku menjulurkan tanganku untuk mengambilnya, tapi kaka mendadak menarik kembali buku catatan itu ke dirinya.

“Uwah.....! Ke-kenapa? Aku tidak boleh melihatnya yah?”

“Tu-tunggu sebentar! Maaf....aku....”

Kaka memeluk buku catatan itu ke dadanya. Melihatnya dengan jeli, kaka sedikit gemetaran dan airmata pun mulai berkumpul di pelupuk matanya. Dari mana pun kau melihatnya, sudah pasti ada yang salah.

“Ada apa? Apakah nee-chan tidak enak badan....?”

Aku mengelus-ngelus punggungnya, tapi dia hanya bisa mengeluarkan permintaan maaf yang lirih.

“Aku baik-baik saja.....hanya saja...aku agak sedikit ketakutan...”

Pikiranku langsung buyar melihat sikap kaka yang ragu-ragu. Mungkinkah ada sesuatu yang sangat menakutkan tertulis di dalam buku catatan itu.

Kemungkinan ini sangat tinggi.....jika kau melihat judulnya ‘—Mengenai –Monster-‘ yang terlihat sangat serius

Kaka menghirup napas dalam-dalam sebanyak tiga kali untuk menenangkan diri sebelum melanjutkan.

“Maaf sudah membuatmu khawatir. Aku....juga ingin Shuuya melihat apa yang berada dalam buku catatan ini...tapi sebelum itu, bisakah kamu mendengarkanku?”

Dia menatap tepat ke mataku saat dia mengatakan itu, aku bisa merasakan ketekadtan diri yang kuat dan tidak tergoyahkan di balik pandangannya.

“Tentu saja! Aku akan mendengarkan apapun yang ingin nee-chan katakan.”

Mendengar perkataanku, kaka menggumamkan kata terimakasih dengan ekspresi yang sedih, sebelum lanjut ke topik utama.

“Shuuya, apakah kamu ingat? Tentang permainan organisasi rahasia yang sering kita mainkan dulu saat kita kecil?”

“Aku masih ingat. Permainan dimana kita main kejar-kejaran sambil mengenakan tudung itu, kan? Rasanya dulu itu kita menamakannya....”

"…’Mekakushi Dan’."

“Sebelum aku bisa memikirkannya kembali, nama itu telah lebih dahulu keluar dari bibir kaka.

Benar juga. Dulu setiap kali kami bermain pura-pura menjadi sesuatu, kami akan selalu bermain ‘Organisasi Rahasia: Mekakushi Dan.

’Kemampuan mata’ kalian merupakan rahasia di antara kita berempat, bukan? Organisasi yang menyembunyikan mata......kalau aku memikirkannya kembali, nama itu cukup memalukan.”

Kaka terlihat agak malu. Mungkin itu benar. Bagaimana pun kau melihatnya, nama itu tidak bisa dikatakan sebagai nama yang keren.

....tapi....aku menyukai nama itu.

Aku tidak pernah memikirkannya sampai sekarang, tapi lewat permainan itu, melalu ‘organisasi rahasia’ yang telah kaka buat, kaka ingin membantu kami menyembunyikan ‘mata’ kami yang menjadi sumber ketakutan dan kebencian orang-orang di sekitar kami.

Memanggil dirinya sendiri sebagai ketua, memberikan kami tudung yang bisa kami gunakan untuk menyembunyikan ‘mata’ kami, membantu kami tersenyum...semuanya adalah perbuatannya.

Tapi, kenapa dia ingin membicarakan itu sekarang? Aku masih belum bisa melihat apa inti dari diskusi ini.

"……Mm-hm."

Kaka kembali menghirup napas dalam-dalam, dan perlahan mulai berbicara.

“Okaa-san....dari awal dia sudah tau tentang ‘kemampuan mata’ kalian. Bahkan dia tau seberapa banyak masalah yang diberikan kemampuan itu kepada kalian.”

“Huh!? Se-serius nih? Padahal kita sudah bersusah payah untuk menyembunyikannya supaya mereka tidak mengusir kami....!”

“Aku tau, aku tau. Tapi....fakta bahwa okaa-san ingin menyelamatkan semuanya dari ‘kekuatan para ular’.....aku...aku tidak tau mengenai itu.....”

Airmata perlahan mengalir turun ke pipinya, membasahi tanah yang kering. Kaka tidak mengusap air matanya, dia hanya mecengkram erat-erat buku catatan itu ke dadanya, tersedu-sedu.

“Berbagai macam hal menjadi sangat buruk....apa yang harus kulakukan....kalian semua mungkin akan mati....!”

Aku....sama sekali tak berdaya.

Aku tidak bisa mengatakan apapun kepada kakaku yang terisak.

Aku bahkan tidak bisa memahami kebenaran yang tiba-tiba diletakkan tepat di depan mataku.

Benar. Aku sama sekali tidak mengetahui apapun.

Makhluk menyedihkan yang dipanggil dengan ‘monster’, ‘kutukan’ yang berada di dalam tubuh kami, dan apa yang berada di dalam Ayah....

Sejak saat itu, ‘kebahagiaan’ yang mengelilingi kami perlahan mulai hancur.

***
“...sepertinya ‘Ular Bermata-Penjelas’  yang merasuki otou-san benar-benar ingin mengabulkan harapannya.”

“Harapannya...”

“Ya. Otou-san berharap untuk ‘melihat okaa-san sekali lagi’.”

“Me-memangnya hal seperti itu bisa dilakukan?”

“Seandainya sebuah monster bisa diciptakan di ‘dunia ini’, hal itu mungkin terjadi. Kita akan bisa menemui orang-orang yang ditelan oleh ‘dunia satunya’....”

“Ka-kalau begitu bukannya itu bagus? Kita juga harus membantunya...!”

“Tidak!!”

“Huh?”

“...untuk membuat monster itu, semua ular yang menjadi ‘pengganti nyawa’ harus dikumpulkan. Untuk mengumpulkan ular-ular tersebut, mereka harus berkumpul menjadi satu....dan itu berarti....”

“Itu berarti kami....?”

“Aku juga ingin melihat okaa-san sekali lagi....tapi jika itu berarti semuanya harus mati, apa yang harus kupilih tidak perlu dipikirkan lagi....!”

"Nee-chan…

“Karena okaa-san...memikirkan nasib semuanya sampai akhir hayatnya. Aku tidak bisa membiarkan semuanya mati, setelah tau tentang itu....!”

***
“Senpainya nee-chan....maksudmu orang-orang itu?”

“Ya, Shuuya pernah bertemu dengan mereka di sekolah, bukan? Takane-san dan Haruka-san...ular itu ingin memasukkan ular-ular tersisa yang berada di dunia satunya ke dalam tubuh mereka. Mungkin, dia ingin mereka ditelan oleh dunia satunya.”

“Bukannya itu pembunuhan!?....Da-darimana pun juga, polisi tidak akan memperbolehkan itu, kan?”

“Di waktu dimana kamu pergi ke sekolah sebagai diriku, aku telah melakukan penyelidikan. Ular itu menggunakan tubuh otou-san untuk melakukan berbagai macam hal yang buruk....dan lebih dari itu, dia mempunya pendanaan yang sangat besar. Bahkan rumah sakit, sekolah, polisi,.....dan orang-orang jahat yang lebih hebat membantu ular itu...”

“Ba-bagaimana ini bisa....”

“Katakanlah, Shuuya.....aku berpikir untuk mencoba berkomunikasi dengan ular itu. Mungkin, tidak ada cara lain...”

“Huh!? Mustahil, mustahil kita bisa melakukan itu! Ular itu terdengar seperti ular yang akan membunuh siapapun yang dia inginkan!? Bagaimana bisa ular seperti itu mau bernegosiasi dengan kita....!”

“Begitu kah? Tapi, kau tau aku ini oon, mungkin saja dia akan menurunkan pertahanannya sedikit dan mau berbicara denganku?”

“Jangan bergurau seperti itu! Seandainya nee-chan lenyap, kami akan....”

“Apa yang kamu bicarakan? Tentu saja kita akan selaluuuu bersama, kan? Jadi jangan menangis, oke?”

“Aku tidak ingin...aku tidak ingin....dunia tanpa nee-chan di sana....!”

“Aku bilang semuanya akan baik-baik saja, Shuuya. Jangan lupa, aku danchou dari Mekakushi Dan! Musuh yang seperti itu sama sekali tidak ada tandinganya denganku! Jadi Shuuya....jangan benci dunia ini, oke? Aku yakin....semuanya akan bisa bahagia.”
***
"Nee-chan, jangan!!"

Kudorong pintunya terbuka dan berlari.

Siluit kaka yang dilatari aura oranye yang terang terlihat hampir tidak nyata, dia bagai akan terhisap ke udara.

"Shuuya…!"

Dia memanggil namaku, wajahnya terhias dengan ketakuran.

“Ja-jangan mengatakan hal aneh seperti itu....kau berjanji kau akan....bukankah nee-chan sudah berjanji kalau kita akan selalu bersama?!”

Mendengar perkataanku, ekspresinya berubah menjadi rasa bersalah, tapi ia tidak mengangguk.

“....aku tau rencana ini tidak akan berhasil.....tidak ada artinya jika ini berlanjut. Untuk senpai, untuk keluargaku.....tidak ada gunanya jika mereka semua akan terbunuh, bukan?” katanya, berbalik menuju langit yang diterangi dengan cahaya matahari terbenam.

Seandainya dia berjalan selangkah maju, badannya sudah pasti akan jatuh ke tanah tanpa ada yang menahannya.

“Hentikan itu! Nee-chan!!”

Aku berteriak dengan seluruh suaraku, tapi kaka tidak berbalik, bahkan tidak melihat ke belakang.

“Ini....ini akan menangkap siapapun yang mati ke dalamnya, bukan?”

Bersamaan dia berhenti berbicara, sesuatu seperti kabut hitam yang besar bagai berkelip di balik pandangannya.

Aku sudah pernah melihat ini sebelumnya. ‘Keputusasaan’ terbesar di dunia ini.

Tepat pada saat ini aku merasa akan menjadi gila.

Aku berdoa dari dalam lubuk hatiku agar kelanjutan dari ini tidak akan pernah datang. Aku memohon kepada dunia hina ini untuk berhenti.

Siapapun, kumohon tolong kami. Tolong kaka dan selamatkan aku.

“Maafkan aku, Shuuya. Pada akhirnya, aku sama sekali tidak hebat. Aku.....agak takut....”

Pada akhirnya, dia mengatakan ini dengan airmata membasahi wajahnya.

Biarpun aku berlari sekuat tenagaku, aku tidak akan sempat.

Tubuh kaka terbang tanpa daya ke langit dan dia menghilang tanpa jejak dari penglihatanku.

Terdengar suara sesuatu yang pecah dari dalam hatiku.
***
“.....Heh, aku tidak pernah menyangka ini akan menjadi seperti ini. Semakin aku memikirkannya, semakin aku merasakan.....bahwa aku sangat terkejut dengan hal ini.”

“.....aku akan membunuhmu.”

“Hei, seharusnya kau sudah tau benar siapa yang membiarkan bapak tua tersayangmu ini hidup. Jadi mari berhenti membicarakan membunuh atau semacamnya...omong-omong, rencanaku gagal karena gadis itu. Seandainya semua ular tidak bisa dikumpulkan ke dunia ini, aku tidak bisa membawa kembali istri orang ini kembali. Apa yang harus kulakukan....”

“Kalau begitu jangan lakukan apapun....! Paling tidak....paling tidak kembalikan ayahku....!”

“Bodoh. Seandainya rencana ini gagal, aku bisa mengulangnya kembali. Memulainya kembali dari awal....ah iya, kau, bagaimana kalau kau pura-pura menjadi ‘mayat’nya? Kau pintar dalam hal seperti ini, bukan? Pastikan kau ditemukan oleh seseorang. Aku tidak peduli siapa, siapapun yang mempunyai koneksi denganku akan menganggap itu bunuh diri. Karena akan menyusahkan jika dia dianggap sebagai orang hilang.”

“.....Memangnya menurutmu apa yang kau katakan...?!”

“Jangan salah sangka. Kau, keluargamu.....kalian semua bisa hidup hanya karena aku memperbolehkannya. Kecuali kau ingin keluargamu terbaring di atas darah mereka sendiri? Kau tidak menginginkannya bukan?”

“Uu...aku...”

“Kemampuanmu cukup berguna. Asalkan kau mendengarkanku, aku tidak akan berbuat apapun yang terlalu buruk kepadamu....tapi dengarkan baik-baik. Apapun yang kau lakukan, takdir tidak akan pernah berubah. Kecuali kau ingin keluargamu dibantai, perlakukanlah masalah ini dengan sangat hati-hati.”

“Sial.....sialan!”

“Kalian semua hidup di atas kepalan tanganku. Jangan pernah lupakan itu, bocah.”

14 komentar:

  1. arigatou Gozaimasu

    BalasHapus
  2. Faktanya, seberapapun kau berharap, waktu tidak akan berjalan mundur atau pun berjalan lebih cepat sesuai kehendakmu.penderitaan kano

    BalasHapus
  3. trimakasih banyak kaorihikari. Gk sbr nunggu chapter "Kyou to iu Hi no Rojou ni te [Hari di jalan yang disebut hari ini]"

    BalasHapus
  4. kakak mu Oon. wkwkkwkkwkwk
    arigatou udh TL kaori

    BalasHapus
  5. terimakasih udh translate kaori :D, Izin baca

    BalasHapus
  6. ad beberapa yang typo kaori, tp cuma dikit kok.Arigatous kaori -

    BalasHapus
  7. WAH.!! udh di lanjutkan
    Arigatou laori

    BalasHapus
  8. Arigatou Gozaimasu izin bca

    BalasHapus
  9. Lanjutkan min
    trimakasih banyak

    BalasHapus
  10. terimakasih banyak kaori,udah mentranslate.ditunggu kelanjutannya kaori

    BalasHapus
  11. zin baca min makasih

    BalasHapus
  12. Arigatou Kaori,saya tunggu kelanjutannya :)

    BalasHapus
  13. Ditunggu Yobanashi Deceive VI nya

    BalasHapus