“Pikir dulu sebelum melepas
headphone-mu.”
Kira-kira dari siapakah aku
mendengar peringatan ini?
Memori di dalam kepala Tsukasa tidak bisa memunculkan sosok yang telah
memberinya peringatan itu.
Biarkan dirinya menjelaskan, hal itu bukan berarti seketika dirinya
melepaskan headphone-nya maka masalah akan sekejap terjadi. Asalkan dia terus
berhati-hati akan hal-hal di sekitarnya maka dia akan baik-baik saja. Walau
begitu, terjaga setiap waktu membuatnya lelah, makanya dia lebih suka memakai
headphone-nya daripada tidak.
“Jagalah dirimu sendiri dan
bangunlah dinding kokoh di sekitarmu. Kamu harus memastikan dirimu tidak
medengar perkataan apapun. Jika tidak, maka sesuatu akan terjadi.”
Apa ‘sesuatu’ itu?
Memang benar dia lebih sering tertangkap bengong daripada tidak, tetapi itu
tidak mengartikan dirinya sama sekali tidak memiliki perhatian terhadap situasi
di sekelilingnya. Sebab itulah headphone adalah benda yang sangat dirinya
perlukan sepanjang waktu.
Agak terlambat untuk memperdulikan hal ini sekarang, tetapi mendadak sebuah
pikiran terbesit di benak Tsukasa; Kelihatannya
sekolah ini berusaha keras agar terlihat cerdas, tetapi menyerah di tengah
jalan. Saat dia sudah pindah ke sekolah ini dirinya baru sadar kalau
sekolah ini cukup terkenal.
Bukan berarti mengetahuinya sebelum dia pindah akan mengubah apapun.
Dengan hening, para murid yang terlihat kaya dan bangga akan kemurnian
jasmani dan rohani mereka berjalan bergerombol menuju sekolah.
Pemandangan yang tak berubah dari hari-hari tak berwarna... adalah yang
seharusnya terjadi. Namun, berbeda dari hari-hari biasanya, lebih banyak murid
yang masih ada di belakang gerbang sekolah.
Hal itu dikarenakan pada hari ini, kereta yang biasa mengangkut para murid
mengalami keterlambatan.
Walau begitu, sama seperti hari biasanya sang gadis yang menjabat sebagai
ketua komite kedisiplinan – prefek sekolah ini – melambaikan tangannya,
menandakan untuk pintu gerbang sekolah yang berat perlahan ditutup.
Tawa pahit keluar dari bibir Tsukasa. Bagi dirinya terlambat itu bukanlah
masalah besar, tetapi murid-murid lainnya yang bernasib sama dengan dirinya
pasti juga akan ditandai sebagai terlambat. Kasihan sekali.
Terkunci di luar gerbang, murid-murid itu mulai menimbulkan beberapa
kegaduhan. Pada saat itu, sang prefek, gadis yang selalu giat sedia menceramahinya
keluar dan berbicara, “Aku baru saja diberitahukan alasan mengapa kalian semua
datang tidak tepat waktu. Biarpun begitu, aku tidak akan membuka gerbangnya.
Sebagai seorang murid, kita harus belajar menanggulangi kejadian-kejadian tidak
terduga seperti ini.”
Benar-benar logika yang menggelikan.
“Nama-nama murid yang ada di sini akan kami tandai sebagai terlambat.
Setelah itu kalian akan diperbolehkan masuk sekolah melalui gerbang sebelah.”
Biarpun ada banyak murid yang mengolok untuk mengekspresikan
ketidaksenangan mereka, pada akhirnya mereka semua membentuk barisan rapi,
menunggu untuk ditandai.
Bagaimana bisa mereka berbaris
dengan tenang pada situasi seperti ini?
Inikah hasil dari ‘latihan’ yang biasa mereka lakukan sehari-harinya?
Mengikuti aturan tanpa basa-basi?
Tsukasa menjauhi barisan itu, bertingkah bagaikan dia tidak mendengar
perintah yang diberikan.
“Seperti biasanya, kamu sungguh...!”
Seorang gadis berjalan ke arahnya sambil menghentak-hentakkan kakinya
dengan amarah yang meledak-ledak, siapa lagi jika bukan ketua komite
kedisiplinan yang sangat suka mencampuri urusannya?
“Kenapa kamu tidak baris...”
“Mm?”
“Kenapa! Kamu! Tidak! Baris!!”
“Jadi yang terakhir bukan masalah besar untukku.”
“Tidak baik membuat kebiasaan dari membengkalaikan tugasmu sampai menit
terakhir! Menggunakan waktumu dengan bijak menunjukkan kebulatan tekadmu.”
Kebulatan tekad terhadap apa?
“Kamu tahu, yang lain berbaris – tidakkah kamu merasa kalau kamu tidak
sopan?”
Tidak sopan ke siapa?
“Dan lagi, berhenti berpura-pura kamu tidak mendengarku-“
Tangan kanan gadis itu terulur, berusaha meraih headphone Tsukasa.
Telinga kanan headphone-ku kah. Apa
kau menargetnya?
Bahkan jika gadis itu berhasil melepaskannya, itu takkan mengubah apapun.
Mau keluhan apapun yang ia lontarkan, asal dia tidak fokus mendengarnya dia
bisa tidak mengacuhkan semua perkataannya.
Selain itu, headphone yang dia punya kali ini sangat cocok di kepalanya,
lengan kurus gadis itu tidak akan melepaskannya dengan mudah. Namun...
“Ah—”
Tanpa ada aba-aba dari siapapun, gadis yang tadinya berusaha meraih
headphone-nya terpeleset. Bukan, bukan berusaha lagi, lebih tepatnya dia sudah
meraihnya. Sontak headphone-nya terselip dan terlepas dari telinganya.
“——M-Maaf, aku tidak bermaksud melakukan hal sekasar ini.”
Kecelakaan tadi terlalu tiba-tiba, Tsukasa sama sekali tidak siap untuk
itu.
Alhasil, kata-kata gadis prefek itu langsung menyerang indra pendengarnya.
Beberapa detik berlalu dengan keheningan, Tsukasa terlamun, keheranan akan apa
yang terjadi. Kini headphone miliknya tidak lagi di lehernya, melainkan
bergelantung di lehernya.
“Aku tidak bermaksud begitu, tetapi... ahem, aku keluar topik. Sebagai
seseorang yang masuk di sekolah ini, tolong ikuti peraturannya.”
Suara dari komite kedisiplinan mengalir sejernih kristal ke telinganya.
“...Aku mengerti, aku akan berbaris.”
Pada waktu itu, tenaga yang ada di
dalam diri Tsukasa hanya mampu untuk mengeluarkan kata-kata singkat. Dari
samping sudut pandangnya dirinya bisa melihat kelam kabut yang terasa suram
mulai berputar.
“Bagus. Yah, anu. Sebagai permintaan maaf atas tindakan kasarku, aku akan
mengabaikan semua pelanggaran yang kamu perbuat dulu. Namun, jika lain kali aku
menangkapmu melakukan hal yang salah, aku akan segera melaporkanmu ke staf.
“Lakukan apa yang kau mau. Dan lagi, aku akan berbaris.”
“Baiklah, asalkan kamu mengNg eE e
e Rr rT i I”
Tsukasa yang melihat sang prefek berjalan menjauhinya mengusapkan matanya
saat pemandangan di sekitarnya terlihat membengkok.
Kabut yang tadi dirinya lihat sekarang berkumpul ke suatu tempat,
memunculkan bayangan yang menyelimuti tanah.
Kelihatannya ini tidak baik.
Pada saat itu——
“kekeliruantanggungjawabperaturankewajibanlaranganmenahandiritatatertibseragamperaturan”
— sesuatu berkeluh.
“Siapa?”
“——hukuman” jawab lawan bicara Tsukasa, tetapi jelas sekali terlihat bahwa makhluk misterius itu tidak menyambutnya.
Dan lalu, sesuatu terbang menuju Tsukasa. Rantai-rantai merah dan hitam
yang terbuat dari kata-kata melaju ke dirinya. Rantai-rantai yang begitu banyaknya
terlihat terikat pada sesuatu yang
tak bisa digambarkan dengan jelas oleh Tsukasa, mereka menyebar bagaikan mereka
ingin mencoba mengubur semua hal yang berada di bawahnya.
Salah satu rantai yang menuju dirinya menghantam perutnya dengan kecepatan
yang berbahaya, mendorongnya jatuh sampai terduduk.
Suara mengesalkan dari rantai-rantai yang bergerak membisingkan telinganya.
Kabut yang mengambang-ambang malas di atmosfer digabung dengan
rantai-rantai yang terus bergerak membuat udara terlihat membengkok dan
berputar-putar.
Hanya di saat Tsukasa berbaliklah dia menyadari bahwa gerbang sekolahnya
tak terlihat lagi. Lenyap tak berbekas.
Semua murid berhenti berggerak. Tiada satupun yang membuka mulutnya untuk
berbicara.
Semuanya menatap ke atas.
Tsukasa mengikuti pandangan mereka untuk mengetahui apa yang mereka lihat.
Ada sesuatu yang berdiri tegak dari asal muasal rantai-rantai yang merayap
kemana-mana seperti ular.
Awalnya dirinya berpikir ini adalah semacam ilusi. Makhluk itu berbentuk
hampir mirip dengan boneka cuaca yang digantung di langit dengan seutas benang.
Namun, makhluk itu memiliki cakar yang terlihat mematikan. Dan sungguh
raksasa.
Bisa dibilang makhluk itu seperti boneka, ia memiliki sesuatu yang bisa
disebut wajah. Tsukasa tidak tahu apakah makhluk itu memiliki mata, namun
dirinya tahu kalau ia melihatnya.
Kau hampir bisa mengatakan kalau mata mereka telah bertemu.
Tidak, itu kurang benar. Lebih tepatnya makhluk itu telah menemukannya.
Tsukasa berpikir keras. Dan kemudian dia ingat. Dia ingat darimana monster
ini datang.
Aah. Ini semua memang salahku.
Apa yang seharusnya tidak terjadi jika dirinya berhati-hati seperti
biasanya, telah terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar