Rekaman Anak-Anak III
“….Guru
itu pasti alien atau semacamnya. Aku sama sekali tidak mengerti apapun yang dia katakan.”
Setelah
mengecek sekelilingnya, Ayano berbisik kepadaku.
Cuaca di luar
sangatlah cerah.
Saat itu
adalah satu hari di musim panas, dimana jangrik berteriak menderu-deru di bawah
terik matahari.
Duduk dengan
santai di kursinya yang terletak di pojok kelas samping jendela, Ayano menatapku,
menungguku menjawabnya.
“Ahhh,
iya, mungkin.”
Mengetahui
kalau sesuatu yang menyebalkan akan dimulai lagi, aku hanya mengikutinya dan menjawab
asal-asalan, membuat bahu Ayano lemas dan membaringkan kepalanya di meja.
“Auu,
Shintaro, kamu hari ini juga dingin…”
“Itu
karena kau mengatakan hal yang membosankan. Apanya yang ‘alien’? Kau cuma tidak
mengerti pelajarannya, kan?”
“Y-yah,
memang sih, tapi...”
Saat membalik halaman dari
buku catatan, tidak ada sesuatu yang terlalu sulit tertulis disana.
Sebenarnya,
orang ini cuma terlalu bodoh. Kalau kau tidak mengerti pelajaran yang seperti
ini, bukannya seharusnya kaulah yang alien?
“Bukannya
mereka biasa mengatakan hanya orang bodoh saja yang
menyalahkan orang lain? Ngomong-ngomong, kau dapat nilai jelek di ulangan
kemarin, kan? Kalau begini terus kau harus ikut les tambahan di musim panas
kan? Memang sejak awal kau ini.....”
Biasanya
setelah dia dimarahi sampai seperti ini dia hanya akan menjawab dengan “Maaf
karena aku bodoh. Kumohon maafkanlah aku.” tapi sepertinya dia tidak
melakukannya hari ini.
Saat pikiran
itu melintas di otakku, Ayano telah duduk sigap kembali dan melotot ke arahku.
Karena
wajahnya sangat berbeda dengan sikapnya yang lembut seperti biasa, aku tidak
bisa menghentikan diriku tersentak.
“A-apa?
Kau marah?”
Kutanya
dengan perlahan, tapi Ayano tidak menjawab pertanyaanku, dan malah mulai
membicarakan suatu fakta.
“Biarpun
kamu mengatakan hal seperti itu padaku, Shintaro.... Aku tahu kamu itu seperti apa.
Karena Shintaro sudah pintar
sehingga tidak
perlu belajar, dan kamu malah menghabiskan waktumu untuk melihat situs-situs
kotor yang ada di internet. Kamu juga melakukannya kemarin, iya kan?”
Perkataan
Ayano yang sangat tidak terduga bagaikan sebuah batu raksasa yang teramat berat
menimpaku, membuat jantungku berdebar-debar.
Aku
mulai mencoba memikirkan berbagai alasan untuk mengelak, “Kenapa dia bisa tahu hal seperti itu? Tidak, tidak mungkin. Aku selalu
menghapus catatan browser-ku, dan selama tidak ada kamera pengintai....”
Aku heran
kemana perginya kemampuanku untuk berpikir cepat yang mendadak lenyap justru
disaat seperti ini.
Paling
tidak, otakku mulai membuat alasan bagus dalam waktu yang sangat cepat.
Mengikuti
perintah dari otakku, aku langsung menyiapkan alasan di balik tenggorokkanku, dan siap mengatakannya. Aku bisa melakukan ini. Alasan itu pasti sempurna!
“A-apa? A-a-apa yang kau bicarakan?! A-aku sama
sekali tidak melihat hal-hal
seperti itu! Aku bahkan tidak tertarik! Aku tidak pernah melihatnya seumur hidupku!”
Tetapi,
alasan yang sudah kusiapkan malah
terbuang sia-sia. Dan sebagai
gantinya, yang keluar dari mulutku
adalah alasan yang sangat
sangat mencurigakan.
Bahkan aku
sendiri bisa mengetahui seberapa palsunya jawaban itu, dan saat aku mulai
berkeringat dingin, jawaban “Hmm” yang kudapat makin mempercepat keluarnya keringatku.
Lalu,
Ayano menatapku dengan hina dan berdiri dengan gemerincing yang nyaring.
Kemudian, dia
memajukan badannya dan mendekatkan wajahnya padaku.
“Pembohong.
Aku sudah dengar semuanya tahu.”
Karena
jarak yang terlalu dekat diantara kami, aroma
shampo dari rambut coklat panjang Ayano bertahan di udara lebih lama dari yang
diperlukan.
Otakku
yang cemerlang sepertinya telah
mencium aromanya juga, dan langsung
melumpuhkan sistem saraf yang mendukung jalan pikiranku.
Tidak, tapi
kalau boleh jujur, tidak mungkin dia bisa mengetahuinya. Catatan browser-ku harusnya bersih. Aku tidak mungkin membuat kesalahan
disitu. Aku sangat
yakin akan hal itu.
“Me-memangnya
darimana kau mendengar itu!? Dan hei, kau terlalu dekat!”
Aku
berteriak mati-matian. Karena Ayano yang terlalu dekat, aku tidak bisa
menghadapinya selain meninggikan suara secukupnya.
“Siapa.....?”
Ayano
tersenyum dengan lebar, dan perlahan menggerakkan wajahnya dekat ke telingaku.
Aroma shampo yang pekat semakin
tercium dengan jelas hingga membuatku kaku dan tidak bisa bergerak.
Ini
tidak ada gunanya. Aku tidak bisa lagi mengerti apa yang ingin dia lakukan. Dengan tiada cara untuk keluar,
yang bisa kulakukan hanyalah menutup mata.
Dan
seperti ingin menghilangkan keteganganku, Ayano berbisik di telingaku:
“.....Apakah
kamu sudah lupa denganku, Master?”
“……Tunggu,
Ene!?”
.
.
.
Saat
aku membuka mata, bukanlah Ene ataupun Ayano yang kulihat.
Kelas
yang kulihat tadi juga sudah menghilang.
Sebagai
gantinya, aku melihat garis-garis lurus dari pipa yang saling menyilang di
langit-langit dengan sebuah bohlam lampu menggantung disitu, dan Kido yang
menatapku sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.
“Bukan
Ene, tapi Kido.”
Sepertinya
dia baru saja selesai mandi, Kido mengenakan kaos, dan aroma shampo dapat tercium darinya
bersamaan dengan dia berdiri dengan ekspresi sebal.
“.....I-iya.
Maaf.”
“Aku
tidak tahu mimpi seperti apa
yang kau lihat, tapi ini sudah pagi. Waktunya bangun.”
Dan
dengan itu, Kido berjalan menuju pintu masuk sambil tetap mengeringkan rambutnya.
Bersamaan
dengan aku menatap datar
langit-langit, aku bisa mendengar suara Kido dari arah
pintu masuk.
“Ayolah,
sudah pagi. Bangun. Memangnya kau
pikir dimana kau tidur?”
Saat
dia berjalan menuju ke pintu masuk,
aku pikir dia terlalu ceroboh untuk
keluar hanya dengan kaos dan
rambutnya masih basah, tapi sekarang sudah masuk akal untukku.
Lalu, kudengar suara
Konoha berkata, “Eh? Ah, ini dimana?”
dia harusnya juga tidur
di sofa, jadi bagaimana dia bisa disitu? Dia itu tukang tidur seperti apa sih?
Jam tiga pagi
adalah terakhir kali aku terlibat dengan orang-orang ini.
Saat
aku melihat jam dinding, waktu menunjukkan tepat pukul sembilan
pagi.
Biasanya
aku tidur selama empat
belas jam, tapi karena ini
rumah orang lain, tidak
sopan kalau aku
kembali tidur.
Tetapi,
pada saat aku mencoba mengumpulkan kekuatan untuk bangun, aku merasakan sakit
di kedua pahaku. Aku mengeluarkan suara “Ah.....” dan jatuh kembali ke sofa.
Aku
langsung mendengar Kido bertanya, “Suara aneh apa yang
kau buat.....?” tapi mengetahui kalau dia akan segera pergi, aku pura-pura tidak mendengarnya.
Kalau
kupikir lagi, masuk akal jika aku merasakan pegal di kaki. Semalam aku berjalan
cukup lama, bahkan bisa dibilang seharian.
Untuk
sesaat, aku mulai putus asa karena merasa tidak berdaya, tapi aku menyadari
tidak ada gunanya mengeluh.
Itu adalah saat dimana aku memikirkannya
sebagai “harga yang pantas kubayar untuk menggunakan kekuatan di luar batas
kemampuanku” seperti yang sering ada di manga.
Ya,
aku telah diberi latar belakang
menarik yang biasanya
hanya dimiliki karakter utama. Oh, ayolah, seseorang sepertiku ini terlalu
sempurna untuk memainkan pemeran utama. Hampir mustahil bagiku untuk menanggung
kenyataan itu.
Selagi
aku mengumpulkan pengetahuan dan informasi yang kudapatkan dari anime dan
manga, lalu membiarkan otakku mencernanya, seperti yang selalu kulakukan, entah
bagaimana ingatan akan mimpi yang baru saja kualami muncul.
Ayano.
Aku
telah melihatnya berkali-kali dalam mimpiku, tapi belakangan ini aku mulai
lebih sering melihatnya.
Apakah
cuaca panas yang menjadi
penyebabnya? Atau itu mungkin karena secara tidak sadar aku menolak menjadi
dekat dengan orang lain?
Kalau
kupikir-pikir lagi, hal yang sama juga terjadi ketika Ene datang.
Setelah
gadis cyber itu masuk ke kehidupanku,
aku mulai memimpikan Ayano setiap malamnya.
Pernah,
ketika aku kembali memimpikannya, Ene memaksaku untuk bangun, dan kami jadi
berkelahi karena hal itu.
Jelas
bahwa pertengkaran yang kami lakukan saat itu lebih dari sekedar debat konyol
yang biasa kami lakukan, melainkan pertengkaran sungguhan. Aku benar-benar
meneriaki dan berseru pada
gadis cyber itu yang juga meninggikan suaranya saat membalas ucapanku... Ahh... Petengkaran macam apa
yang sebenarnya kami lakukan saat itu?
Pertengkaran
itu berlangsung pada tengah malam dan aku masih sangat lelah, itu mungkin
penyebab mengapa aku tidak terlalu bisa mengingatnya.
Lagipula,
aku langsung meminta maaf sedalam-dalamnya kepada Ene karena rasa bersalah yang
menghinggapiku tepat setelah aku bangun.
Aku
masih ingat dengan jelas saat dia mengatakan ini seperti seorang bos, “Yah, menggoda seorang perawan itu percuma. Jadi, aku
akan memaafkanmu.”
Itulah
mengapa aku lebih memilih untuk melupakan kejadian itu, tapi... Aku sendiri merasa kagum akan betapa Masokisnya otakku
ini.
Bersamaan
dengan aku memikirkan hal
ini, aku tiba-tiba mendengar suara air yang mengalir dari dapur. Dan setelah
mendengar suara kulkas yang dibuka, baru kusadari kalau Kido sedang membuat
sarapan.
“Ahh,
kau membuatku merasa sungkan.
Biar kubantu.”
Kataku
sambil mencoba untuk bangkit lagi. Untuk menghindari memberikan tegangan di
tempat yang sakit tadi, aku bangun dengan hati-hati. Benar saja, nyeri otot
yang kualami lebih ringan dan tidak terlalu menyakitkan.
“Hm?
Shintaro, kau bisa memasak?”
Kido
bertanya sambil membilas peralatan makan. Kalau bisa aku ingin menjawab, “Ya,
tentu saja,” tapi harus kuakui, aku bahkan tidak pernah benar-benar mencoba
untuk memasak sesuatu.
Kalau
Momo sih, rasa masakannya bisa disamakan dengan sebuah racun mematikan, tapi
kalau dilihat dari pengalamannya, memang benar dia lebih banyak daripada aku.
Yang
namanya keterampilan memasak tidak tertulis dalam daftar kemampuanku.
“Ahh,
aku paham. Kau duduk saja.”
Dengan
tajam Kido mengucapkan kalimat itu, dan kembali melanjutkan kegiatan mencuci
piringnya.
Perlahan-lahan, perasaan menyesal akan menjadi sosok yang
tidak berguna mulai berputar dalam hatiku.
NEET
adalah makhluk rapuh yang akan mati jika mereka tidak terus berpikir bahwa
mereka dibutuhkan oleh seseorang.
Untungnya,
ruangan ini menjadi lebih nyaman karena
pemuda itu kembali tertidur tepat di pintu masuk.
Dan
sebaliknya, tidak ada orang lain yang terbangun. Jadi, tidak ada alasan yang mewajibkanku untuk bergerak.
Aku
merasa agak bersalah karena sudah dimanjakan dengan sikap keibuan Kido, tapi
aku memilih untuk bersantai sedikit lebih lama lagi.
Kira-kira
sarapannya apa ya?
Untuk
sekarang, aku ingin menyantap sarapan normal yang terdiri dari daging dan
telur, atau sosis.
Tapi
tunggu, bukannya ini merupakan sesuatu yang sulit dipercaya?
Tinggal
dengan seorang gadis di bawah atap yang sama, menghabiskan malam, dan kemudian
gadis itu membuatkan sarapan untukmu?
Hei,
hei, hei, ini... Oh, ya ampun. Apakah akhirnya waktuku untuk ‘itu’ telah tiba?
......
......
Tidak, aku harus berhenti. Biarpun
aku ingin menganggapnya seperti itu, bagaimana pun juga tidak akan bisa
terjadi.
Dan
jika aku tidak segera menyingkirkan angan-angan muluk yang membuat rusuh di
dadaku, sekadar nafsu untuk sarapan pun tidak akan menghampiriku.
Satu-satunya
yang berada disini adalah aku dan Kido.
Jika
aku ingin bertanya langsung padanya, maka sekaranglah waktu yang tepat bagiku
untuk bertanya.
Berdiri,
aku berjalan menuju dapur.
Di
sana, Kido berdiri memakai apron yang sama dengan apronnya kemarin dengan
rambut yang diikat ke belakang, dan baru saja menyalakan api untuk
penggorengan.
“Kau
punya sedikit waktu luang?” Tanyaku, dan Kido menjawab tanpa menoleh, “Apa? aku
sudah menyuruhmu duduk, kan?” sambil memecahkan telur ke dalam wajan dengan
tangannya yang kosong.
Memang
aku lebih memilih untuk tetap duduk, tapi hal seperti itu tidak bisa kupilih
sekarang.
Perlahan-lahan,
aku membuka mulutku.
“Kemarin,
pada tengah malam, aku merasa sepertinya Kano sudah pulang... Apa kau tahu itu?”
“Kano?
Tidak, aku tidak tahu.”
Kido
menjawab sambil mulai mengaduk telur.
Telur
dadar, ya? Pikiranku mulai
teralihkan, tapi aku segera melanjutkan pembicaraan.
“Hei,
apakah dia... Uh, apakah
Kano..membenciku atau semacamnya? Apakah dia mengatakan sesuatu padamu?”
Apa
yang terjadi pada Kano kemarin malam terus-menerus
menggangguku.
Tiba-tiba
saja dia muncul dengan
penampilan persis seperti Momo untuk menipuku, dan yang paling mengejutkan, dia berubah menjadi Ayano sebelum menghilang entah kemana.
Aku
merasa lelah saat itu, jadi aku menganggap kejadian itu hanyalah mimpi yang
aneh.
Lagipula,
aku tidak pernah berbicara dengan siapa pun tentang Ayano, harusnya Kano
tidak tahu tentang dirinya, dan juga,
aku ingat kalau sebelumnya aku tertidur dengan posisi meringkuk di lantai, tapi
ketika bangun, aku justru mendapati diriku sedang tidur di sofa. Wajar saja kalau aku merasa bahwa kejadian itu tidak nyata.
Jika
kupikir ulang, rasanya hal itu terlalu menakutkan untuk sekedar dihitung sebagai mimpi. Semua itu terlalu nyata.
Aku
tidak merasa nyaman ketika membicarakan hal ini dengan Kido, tapi aku butuh
konfirmasi bahwa kejadian itu tidak lebih dari sekadar mimpi.
Ketika
mendengar pertanyaanku, Kido menghentikan kegiatannya mengaduk dengan sumpit
dan berpaling menghadapku.
“Apakah
dia mengatakan sesuatu padamu kemarin?”
Selagi
menanyakannya, Kido menggerakkan
tangannya ke belakang dan memutar tombol untuk mematikan api dari kompor
sebelum menyilangkan tangannya sambil tetap memegang sumpit.
Kido
sepertinya menebak dari nada bicara kalau aku tidaklah bertanya secara spontan tanpa alasan, dan sebuah ekspresi
agak cemas muncul di wajahnya.
“Ti-tidak,
tidak seperti itu kok. Mungkin saja itu adalah mimpi yang sangat nyata. Dan
lagi, bukan berarti
dia bisa membaca
pikiran orang, kan?”
“Ya,
Kano tidak bisa melakukan hal seperti itu. Yang jelas, sepertinya Kano cukup menyukaimu, jadi kupikir dia tidak akan menganggapmu menyebalkan
atau semacamnya…”
Kido
mengatakan rentetan kata itu dan menundukkan kepalanya, memasang ekspresi sedih.
Sepertinya
dia tidaklah berbohong.
Lagipula,
tidak mungkin Kano mempunyai kemampuan yang tidak diketahui oleh orang-orang
yang tinggal bersamanya, dan aku juga tidak bisa membayangkan orang sebodoh dia
melakukan hal seperti itu.
Pada
akhirnya, kejadian itu paling cuma salah satu mimpi yang sering kulihat
baru-baru ini. Hanya
dengan memikirkannya, beban yang kurasakan di hatiku lenyap dengan cepat.
“Se-seperti
itulah dirinya, jadi.....biarpun dia mungkin terkadang menyebalkan dan tidak
menyenangkan, dia itu sebenarnya orang baik. Aku senang jika kau tidak
memikirkan dia sebagai orang jahat.....”
“Tunggu,
bukan! Bukan itu
yang kumaksud.
Aku hanya sangat lelah kemarin dan bermimpi buruk, itu saja. Selain itu, dia bahkan menjaga adikku. Aku tidak bisa
membencinya atau semacamnya.”
Setelah
aku mengatakan itu, ekspresi Kido menjadi cerah, dan dia sedikit tertawa bersamaan dengan dia menjawab, “Be-begitu ya. Baguslah kalau begitu.”
Gabungan
dari apron, aroma telur dadar, dan senyumannya membuat hatiku sesak. Untuk
perawan sepertiku, kefeminimannya cukup untuk membuatku merasa melayang.
Dia
adalah orang yang
berbahaya.
“...Ya-yah,
maaf sudah mengganggumu. Ngomong-ngomong, aku serahkan urusan sarapan kepadamu.
Aku yang akan membersihkannya nanti.”
“Yup, serahkan saja kepadaku. Memasak adalah keahlianku.”
Setelah mengatakan
itu, Kido mulai memasak, dan serangan berturut-turut dari senyum kecil yang
dipaparkan dari pundaknya, ikat kuda, dan daya tariknya soal bisa memasak,
sudah cukup menggugah diriku yang perawan elit. Entah bagaimana caranya aku masih bisa bertahan.
Untuk
sekarang, aku akan kembali ke sofa dan menunggu sarapan.
Tapi
benar-benar deh, yang kulakukan hanyalah mencoba untuk mendiskusikan hal itu.
Kekhawatiran yang kupendam dalam diriku lenyap sebagian, dan sekarang aku mulai merasa lapar.
Sampai
Kido selesai memasak sarapan, kupikir lebih baik aku sedikit mengganggu Ene karena
tidak punya kerjaan.
Saat
mempertimbangkannya, yang
mana jarang sekali kulakukan, aku tiba di sofa, dan melihat sesuatu yang berbulu
putih seperti seekor domba berada disana.
Dia
memegang HPku di satu tangannya, dan mati-matian mengetuk HPku dengan tangannya
yang kosong.
“....Apa
yang kau lakukan, Marry?”
Marry
mendongak ke atas dan menghadap padaku.
Bola mata pink pucat dengan baju putih yang kontras,
serta menggunakan piyama yang
lembut, dan berenda halus, dia
benar-benar terlihat seperti boneka.
Dan
mungkin karena dia baru bangun, rambut putihnya yang lebat terlihat lebih tebal
dari biasanya.
Antara
dia sudah menganggapku temannya atau merendahkan diriku, Marry sepertinya tidak
bersikap waspada lagi. Kalau bisa, aku lebih suka berpikir bahwa alasannya
adalah karena dia menganggapku sebagai temannya sekarang.
“Shintaro.....gadis
biru itu tidak mau keluar.”
Sambil
mengatakan itu, Marry mulai memencet-mencet HPku dengan leluasa lagi.
“Ene?
Sini biar kulihat.”
Aku
mengambil HPku kembali dari Marry, tetapi seberapapun aku menekan tombol
dayanya, tidak ada reaksi.
“Ah.....kalau
dipikir-pikir, aku belum men-charge HP sejak kemarin.”
Kalau
dipikir lagi, HP ini terus bersamaku sepanjang hari karena keributan yang Ene
buat. Dia pasti telah menggunakan semua energinya, anak yang malang.
Biarpun
aku tidak membawa charger denganku,
fakta kalau baterai HPku telah terisi penuh kemarin pasti karena ada seseorang
disini yang mengisikannya untukku.
Orang
yang paling mungkin melakukan itu adalah Momo yang meminjam charger dari
seseorang.
“A-apakah
dia mati.....?”
Tanya
Marry dengan ketakutan, tapi kupikir Ene
tidak akan mati hanya karena kehabisan baterai.
“Tidak,
kurasa dia tidak akan mati hanya karena ini. Setelah di-charge, dia akan hidup
kembali.”
“Di-charge?”
“Huh?
Ah, maksudnya, ada konsep dimana jika tidak ada listrik di dalam benda ini,
maka dia tidak bisa bergerak.”
Setelah
aku menjelaskan, Marry menjawab, “Dia memakan hal yang
aneh~” dengan mata yang bersinar penuh dengan kekaguman.
Oi,
makhluk apa ini. Kelihatan sangat murni
dan tak berdosa. Tidak, aku tidak bisa. Bangunlah.
Menenangkan
hati busukku yang mesum dengan semangat tak terkalahkan, aku dengan sempurna mengabaikan kelakukan Marry dan bertanya kepadanya.
“Marry,
apakah kau tahu dimana tempat charger disimpan? Kido dan lainnya
selalu men-charge HP mereka kan?”
“Um... Ah, benda yang seperti benang itu?”
Marry
berpikir sebentar dan lalu sepertinya mulai ingat. Yah, benang dan charger jelas bedanya, bukan dua benda
yang sama, tapi paling tidak aku bisa menangkap maksudnya.
“Iya,
benda itu. Bisakah kau membawakannya kepadaku?”
“Oke,
aku mengerti!”
Usai
mengatakan itu, Marry berdiri dan menuju lemari di belakang sofa dengan langkah
ringan.
Lemari
yang didatanginya terlihat seperti salah satu yang sering muncul di buku lama. Berbagai keramik
mencurigakan dan perhiasan-perhiasan antik memenuhinya. Siapa sih yang
mempunyai hobi sampai membuatnya menjadi seperti itu?
Kalau
dari kesan yang kudapat dari lemari itu, kurasa Kido adalah pelakunya, tapi
bisa juga Kano yang menyukai hal seperti itu.
Ketika
rak yang terlihat mencurigakan itu bergoyang dan nampak berbahaya, Marry
mengacak-acak laci sambil bersenandung “Benang~ benang~”. Makhluk macam apa dia
sampai berhasil membuatku ingin melindunginya dari segala bahaya?
Manis
dan tak berdosa. Kata-kata itu sangat pantas untuk gadis ini.
Dibandingkan
adikku yang tukang ribut, dia lebih terlihat seperti gadis yang sebenarnya.
......Tidak,
aku tidak bisa. Sikapku terlalu mirip seperti
perawan. Sebusuk apa sih
diriku ini?
Karena
diriku yang amat sangat kekurangan
interaksi dengan perempuan, aku menjadi seorang lelaki yang ribut hanya karena hal-hal kecil.
Sebagai
perawan elit, ini sangatlah buruk.
Aku
harus kembali mempunyai hati yang bijak.
Ngomong-ngomong,
sepertinya Marry agak kesulitan. Jika sebelumnya dia menyenandungkan lagu tentang benang
dengan ceria, sekarang dia
sedang menggerutu pelan.
“Heeei,
kalau kau tidak bisa menemukannya, kau tidak perlu susah
payah mencarinya. Lagipula kalau Ene hidup lagi,
keadaan akan bertambah bising, jadi tidak apa-apa kalau seperti ini....”
Saat
aku mengatakan ini, Marry membalikkan badannya ke arahku dengan ekspresi terluka.
“Tidakkah
kamu merasa bersalah
ketika mengatakan hal
seperti itu!?”
Pundakku
gemetaran dengan menyedihkan saat
dikatai seperti itu. Berhasil
diintimidasi oleh seorang gadis kecil membuatku harus mengakui kalau aku ini
kekurangan keberanian.
Padahal, dulu Marry terlihat gugup saat bertemu denganku pertama
kalinya, tapi kemarin dan hari ini, dia bisa mengatakan hal yang ada
dipikirannya dengan mudah.
Apakah
dia telah sedikit terbuka denganku? Kalau dipikir dengan sudut pandang tertentu, hal seperti ini tidaklah buruk.
“Pasti sepi
kalau harus sendirian. Aku yakin dia juga merasakan hal yang sama.”
Menggembungkan
pipinya, Marry mulai mengubrak-abrik lacinya lagi.
Sepertinya
Ene diuntungkan disini. Biasanya aku bukanlah orang yang peduli, tapi jika
menyangkut masalah ini, rasanya tidak buruk juga.
Memang
dari awal, fakta mengenai
bagaimana tidak ada
yang terkejut saat melihat Ene sudah sangat aneh.
Orang
normal biasanya akan bertanya “Bagaimana dia bergerak?” atau “Siapa yang
berbicara itu?”
Aku juga yakin akan bereaksi seperti itu jika tiba-tiba melihat Ene.
Namun, mempertimbangkan
bagaimana mereka sendiri
juga sangat
misterius, dan jika hal itu dikesampingkan, mereka sangatlah
ramah.
Dengan
berpikir seperti itu, aku merasa situasi ini patut untuk disyukuri.
“Syukurlah.”
Aku
membisikkannya
dengan pelan, lalu mengelus layar HP yang mati dengan jariku.
Aku
tidak tahu dari mana asalnya,
tapi perasaan sayang pada Ene mulai tumbuh di diriku.
Mungkin saja aku telah terselamatkan oleh kemunculannya di ruangan itu, tempat dimana aku terus sendirian.
Di
sisi lain, bertemu dengan orang-orang ini, dan menjadi terbuka pada mereka, semua
berkat gadis cyber
itu.
“Shintaro,
aku menemukannya! Charger-nya ketemu! Tunggu sebentar, itu ada di belakang....”
Mendongak
ke atas, aku melihat tangan Marry mencapai ke dalam laci, dan sepertinya mau mengeluarkan charger yang dia temukan.
Karena
laci yang bergoyang, semua koleksi perhiasan kecilnya bergetar dan membuat
suara berisik.
“He-hei,
berhati-hatilah, Marry. Tidak usah buru-buru.”
“Mm.
Tidak apa, tidak apa....dapat.”
Bersamaan
Marry mengatakan ini, dia menarik tangannya dan memegang kabel charger-nya.
Aku
tidak tahu apa yang akan
kulakukan jika itu benar-benar hanyalah sebuah benang tua biasa, tapi apa yang
dibawa Marry memanglah charger.
“Ohh! Ya, itu dia. Makasih.”
Setelah
aku mengatakan ini, Marry tertawa kecil seperti ini “Ehehe.”
Ugh, imut banget.
Saat
Marry berbalik untuk memberikannya kepadaku, Kido keluar dari dapur membawa
makanan.
“Sarapan
siap~.....Hm? Ohh, Marry, kau bangun. Kerja bagus bisa bangun sendiri.”
“Ya!
Ah, Shintaro juga memujiku. Aku menemukan charger
untuknya.”
Marry
dengan senang mengulurkannya kepadaku, dan pada ujung kabelnya, yang mana tadi tidak terlihat karena terhalangi sofa, ada sesuatu
seperti ikat pinggang yang terjerat disekitarnya.
Asalnya,
aku tidak tahu apa itu. Tapi saat
aku menyadari apa itu sebenarnya, aku tersentak.
Pada
waktu yang sama, Kido mengeluarkan jeritan kecil. Namun saat aku berbalik untuk melihat Marry, Kido telah menghilang.
“Huh? Apa ini? Lengket.”
Marry
berkata bersamaan dengan dia mengambil sesuatu
seperti ikat pinggang itu dan menatapnya dengan kuat.
"Bu- bukankah itu kulit ular?! Kenapa benda seperti itu ada di sana?!"
"Huh,
kenapa ...... Aku heran kenapa. Aku pikir Kano membawanya dari suatu tempat
...... Ah, uwaah! Kido, ada apa? Apakah kau
menangis?"
Marry
tiba-tiba berbalik,
menghadap ke arah udara kosong
dan mulai berbicara. Oh, begitu. Jadi Marry masih bisa
melihat Kido.
Kemampuan
‘Mata Penyembunyi’ Kido adalah
kemampuan berguna yang memungkinkan dia untuk menurunkan
batas penglihatan orang lain pada dirinya dengan sesuka hati.
Namun, syaratnya adalah pada saat dia menghilang, orang yang ingin dia
gunakan kemampuannya itu harus tidak melihat dirinya. Marry, yang tidak mengalihkan pandangannya dari Kido, sepertinya masih bisa melihatnya sama
seperti sebelumnya.
"M-maaf, Kido, kamu baik-baik saja...? Apakah perutmu sakit? "
Marry mengkhawatirkan Kido saat dia masih
memegang kulit ular dengan tenangnya.
Karena
aku masih tidak bisa menemukan Kido sampai sekarang, aku tidak terlalu bisa
mengerti apa yang terjadi sebenarnya.
"M-Marry,
mungkin saja Kido
bersembunyi karena dia tidak menyukai kulit ular itu atau semacamnya?"
"Ini?
Hmm, apakah begitu Kido? ....Aku mengerti. Oke. Aku akan menyingkirkannya."
Marry kembali
ke lemari lagi, dan menyembunyikan kulit ular di belakang model mobil besar beroda tiga.
Kido pasti menyuruhnya untuk melakukan itu. Marry tampaknya tidak mengerti, dan hanya bergumam pelan, "Aneh."
"Hei, Kido,
kau baik-baik saja?"
Aku memanggilnya di udara hampa, tapi tidak ada jawaban. Dia
mungkin tidak ingin terlihat sedang
gemetaran dengan mata
berkaca-kaca.
Setelah menyingkirkan kulit ular, Marry kembali ke sisiku dan menyampaikan kepadaku, "Kido bilang,
sebentar lagi."
Sama seperti
di rumah hantu kemarin, Kido adalah seorang penakut akut sampai-sampai aku bingung mengapa dia menjadi ketua.
Aku
yakin bahwa aku juga cukup penakut, tapi Kido mungkin pada tingkat yang lebih
tinggi dariku. Seperti seorang penakut kelas
atas.
Tapi apa
boleh buat, jadi untuk saat ini, aku
mengambil charger dari Marry
dan mulai men-charge handphone-ku sambil menunggu kembalinya Kido.
Setelah duduk dengan Marry selama beberapa
menit, Kido muncul dari udara.
Pasti gara-gara kemampuannya
itu matanya menjadi agak merah.
"M-maaf menunggumu. Ayo
kita sarapan."
Meskipun Kido dengan
kikuknya berupaya untuk tersenyum saat dia mengatakan hal ini, kupikir reaksinya
tadi tidak bisa kulupakan, tapi karena aku merasa tidak enak untuk membicarakan
itu, aku hanya menjawab dengan "Ya, mari kita makan."
Setelah perjalanan bolak-balik tadi, sarapan akhirnya telah ditata di atas meja.
Ada telur dadar,
salmon panggang, (1)nori panggang,
(2)natto, dan berbagai macam hidangan yang membuatnya menjadi rangkaian lengkap yang sempurna untuk sarapan.
"Makanan ini sangat normal, bagaikan diturunkan oleh dewa......"
"Hm? Kami selalu makan makanan seperti ini."
Kata Kido saat ia menyuguhkan nasi dari penanak
nasi yang ditempatkan di ujung meja makan.
Di markas yang seperti ini, mereka memakan sarapan normal setiap
hari?
Membayangkannya saja
sudah membuatku merasa aneh.
Aku mulai berpikir tentang bagaimana aku
lebih suka
sarapan gaya barat,
tapi aroma sup miso buatan
Kido menggerakan nafsu makanku, membuat keluhan kecil tadi terbang bagai ditiup angin.
Aku menjadi terdorong untuk mulai makan secepat mungkin, tapi
kemudian aku melihat bahwa hanya ada empat mangkuk nasi yang diletakkan
di meja.
Itu hanya cukup untuk empat orang yang berada disini sekarang.
Tidak ada apapun untuk Seto, Momo, dan Hibiya yang belum datang ke ruang tamu.
"Huh. Apakah tidak apa-apa tidak membangunkan yang lain ? Aku merasa tidak enak
untuk memulai sarapan tanpa mereka hanya karena mereka masih tidur......"
"Ahh, maksudmu Momo dan yang lain? Mereka sudah keluar."
Bersamaan dengan dia mengatakannya,
Kido meletakkan mangkuk nasinya,
merogoh sakunya untuk mengambil secarik
kertas yang dilipat dua, dan memberikannya
kepadaku.
Kebingungan apa itu, aku membuka kertasnya, dan melihat hal-hal yang menyerupai hieroglif yang biasanya digunakan di masa lalu.
Pada awalnya aku berpikir
itu semacam kode, tapi setelah melihat tanda tangan di bagian paling bawah tertulis "Momo" Aku menyadari bahwa pesan menakutkan ini ditulis oleh tangan adikku.
"Tulisannya
begitu berantakan......"
Seperti diberi
aba-aba, Kido meneruskan komentarku, "Aku setuju kalau itu tampak sangat
buruk, tapi... Mari kita
menafsirkannya sebagai artistik."
Setelah menyadari bahwa itu adalah tulisan
Momo, aku bisa membacanya sangat cepat.
Benda ini kira-kira mengatakan sesuatu
seperti, "Aku akan keluar untuk mencari seorang gadis bernama Hiyori
dengan Hibiya-kun. Kami akan menghubungimu
jika sesuatu terjadi, tapi kami pasti kembali untuk makan malam."
"Apakah Hiyori itu gadis yang
disebutkan Hibiya? Ngomong-ngomong, mereka
pergi pagi sekali...... "
"Mereka tidur lebih cepat kemarin hanya untuk ini. Dan juga, Seto yang
sudah merawat Hibiya juga keluar jadi dia mungkin tidak bisa ditinggalkan sendirian."
Jelas Kido, dan kemudian berdiri untuk berjalan
menuju pintu masuk. Aku berharap bahwa dia akan melakukan sesuatu tentang pria itu yang masih bermalas-malasan.
"Hei, berapa lama kau akan terus tidur? Bangun."
"Ya.... Ya, baiklah......"
Dinilai dari jawaban
Konoha yang grogi dan malas,
itu adalah ciri
khas perilaku seseorang yang sangat sulit berurusan
dengan pagi hari.
Daripada tidak bangun sama sekali,
orang-orang yang berbicara omong kosong sementara masih tertidur jauh lebih
buruk.
Aku merasa ini akan menjadi
menyusahkan, tapi ketika aku melihat ke arah pintu masuk, Kido hanya berkata "Sudah
waktunya untuk makan." dan langsung membangunkan Konoha.
"Selamat pagi.”
"Ya, selamat pagi. Ayo duduk. Kita makan sekarang."
Setelah mengatakan ini, Kido kembali bersama Konoha. Kido dan Marry duduk di samping
satu sama lain, sementara Konoha duduk di sampingku.
"Seto juga tidak ada disini, ya?"
"Sepertinya dia sedang kerja paruh waktu. Aku mendapat pesan darinya."
"Jadi itu berarti ini sudah semuanya,
kan?"
"Ya, itu benar."
Aku sudah berada pada batasku dengan menahan perut keronconganku. Mengambil sumpit, aku menepukkan kedua tanganku.
"Selamat makan!"
Kami berempat
mengatakannya bersamaan, dan kemudian mulai makan dengan gaya masing-masing. Adapun Konoha, meski baru saja terbangun, ia melahap nasinya dengan kecepatan yang luar biasa.
Meskipun ini hanyalah hidangan sederhana seperti ikan, telur,
dan sup miso, alasan mereka tidak terasa hambar pasti karena keahlian memasak
Kido.
Cara bagaimana dia
menggunakan bumbu-bumbunya dengan rumit benar-benar mencerminkan dirinya.
"Bolehkan aku minta tambah?"
Kata Konoha sambil mengulurkan mangkuk nasi ke Kido. Tidak ada sebutir nasi pun yang tersisa di mangkuknya.
Aku tidak mempecayai
mataku, karena fakta bahwa bahkan tidak satu menit pun telah berlalu sejak kami
memulai sarapan. Sistem pencernaan seperti apa yang orang ini miliki?
"Oh, yah, tentu saja. Makan sebanyak apapun yang kau
inginkan."
Kido tampak senang mengambil mangkuk nasi darinya
dan mengisinya dengan hampir dua kali jumlah dari sebelumnya.
"Ini.
Apakah ini cukup untukmu?"
Tawa Kido menantang
saat dia mengembalikan mangkuk penuh ke Konoha.
Di depan porsi besar nasi seperti itu,
bahkan Konoha, yang biasanya berwajah
tanpa ekspresi, membuat wajah terpesona. Itu tampak seperti sebuah adegan dari
sebuah komik perempuan.
Yah, meskipun biasanya sarapan seperti ini sangat berisik, memakan sarapan dengan banyak orang seperti ini tidaklah
terlalu buruk.
Menu sehat mungkin telah menjadi bagian
dari hal itu, tapi ini
adalah pagi yang sangat menyenangkan.
Saat aku memikirkan ini sambil menyeruput sup miso, aku menyadari kalau Marry sedang mengupas kulit salmon miliknya.
Memang benar biasanya bagian itu tidak dimakan, tapi ...... Ah, tapi Momo selalu makan
semuanya. Kalau begitu, seharusnya kita tidak memakannya dong.
Marry benar-benar
berhati-hati saat mengelupasi kulit ikan itu.
Karena dia
mengulitinya dengan sangat serius, aku jadi malah memperhatikannya melakukan
itu, kebingungan dengan apa yang sebenarnya dia lakukan. Saat akhirnya dia
mengelupas kulit ikan itu dengan bersih, Marry dengan bangga mengambil kulit
itu di sumpitnya dan menunjukkannya kepadaku.
“Shintaro, coba lihat!
Ini jadi seperti kulit ular yang tadi.”
Karena ucapan Marry
yang tiba-tiba, Kido yang tadinya melahap nasinya, merintih penuh derita.
Dibandingkan dengan
pengalaman buruk yang terjadi tadi, yang seperti ini sih tidak
seberapa. Dan Marry juga sepertinya
tidak bermaksud menakut-nakuti.
“He-hei, Marry. Kau
tidak boleh melakukan hal-hal seperti itu saat sedang makan.....”
Aku tidak tahu lagi apa yang harus kukatakan, tapi untuk sekarang, aku
berusaha dengan lembut menganjurkannya menghentikan itu. Kido mengangguk dengan
semangat, setuju dengan perkataanku.
“Uu~ Padahal aku sudah
susah payah mengelupasinya dengan baik...”
Sambil mengatakan ini Marry
mengembalikan kulit ikan salmon
itu ke piringnya,
menurunkan sumpitnya, dan menundukkan kepalanya dengan sedih.
Kalau dipikir-pikir,
reptil adalah makhluk yang sepertinya akan
membuat seseorang pingsan saat melihatnya, tapi gadis ini sepertinya cukup
berani disekitar mereka.
Biarpun mungkin itu
karena dia kekanak-kanakan, reptil bukanlah sesuatu yang umumnya disukai
gadis-gadis...... Ah, tapi Momo juga pernah bilang, “Bolehkah aku memelihara
bunglon?”. Kalau begitu, hanya gadis normal saja yang tidak menyukai reptil.
“Sepertinya Marry
tidak terlalu takut dengan hal-hal seperti itu, ya? Biarpun dia adalah perempuan.”
Kataku, dan Kido
bergumam sambil mengaduk natto-nya, “Yah, itu sudah pasti...” dan lalu melanjutkan
dengan suara yang lebih nyaring.
“Sebelum dia tinggal
disini, Marry hidup di dalam gunung sendirian. Sesuatu seperti ular bukanlah apa-apa baginya.”
Kido mengatakannya
seperti hal itu bukanlah sesuatu yang terlalu aneh, tapi bagiku itu tidaklah
normal.
“Marry tinggal di
gunung sendirian!? Bagaimana bisa? Bagaimana dengan orang tuanya....”
Pada waktu aku
mengatakan ini, pundak Marry bergetar, dan dia mengepalkan tangannya yang
berada dipangkuannya.
Apakah itu adalah
sesuatu yang harusnya tidak kupertanyakan? Aku merasa mulutku telah
mengeluarkan kata-kata
yang lancang.
Baru saja aku ingin
meminta maaf karena perasaan menyesalan yang muncul
di dadaku, perlahan Marry mulai berbicara.
“Saat aku masih kecil,
ayahku meninggal. Dan sejak saat itu,
tinggal aku dan ibuku saja. Tapi saat aku mengabaikan peringatan ibuku dan
pergi keluar, aku bertemu dengan orang-orang yang mengerikan, dan kupikir
mereka membawa ibuku ke suatu tempat.”
“A-apa yang kau maksud
dengan itu....?”
“Um, aku dan ibuku
berbeda dengan ayahku. Kami mempunyai mata merah sejak lahir, dan dia
mengatakan kami ini adalah Medusa yang biasanya muncul di buku cerita bergambar.
Dia juga mengatakan kalau orang-orang diluar takut pada kami karena berbeda dari mereka. Itulah penyebab kenapa dia tidak memperbolehkanku keluar, tapi
aku masih.....”
Cerita Marry membuat
semua yang berada di dalam ruangan ini terdiam. Bahkan Konoha, yang tadinya
melahap makanannya seperti hewan buas, berhenti untuk mendengarkan apa yang Marry
katakan.
Apakah itu yang Kido
maksud tentang Marry yang tinggal sendirian?
Setelah mendengarkan
ceritanya, sepertinya keluarga Marry telah ditindas oleh orang-orang disekitar
mereka.
Mungkin karena itulah mereka disebut ‘Medusa’.
Saat aku bertanya
kepada Kido tentang itu, dia menjelaskan kalau kemampuan Marry bisa
menghentikan pergerakan orang-orang yang membuat kontak mata dengannya untuk
sementara.
Itu bukanlah suatu
kemampuan yang dimiliki oleh manusia biasa, dan kalau masyarakat sampai
mengetahui ini, aku bisa mengerti bagaimana mereka bisa takut padanya.
“Marry.... Ini pertama kalinya kau benar-benar menceritakan hal ini,
bukan?”
Yang mengatakan ini
adalah Kido.
Sepertinya bukan aku
saja yang terkejut mendengar cerita Marry.
“I-iya. Aku mempunyai
banyak teman sekarang, jadi mungkin aku merasa lebih aman. Aku tidak lagi
merasakan ketakutan untuk menceritakan ini.”
Kata Marry sambil
tersenyum kecil.
Begitu toh. Kudengar Marry
belum terlalu lama tinggal disini, tapi kalau dilihat bagaimana keadaannya,
sepertinya dia tidak terlalu membicarakan tentang dirinya sampai sekarang.
“Aku mengerti.
Ngomong-ngomong ibumu itu, apakah tidak ada......laporan orang hilang untuknya?
Sialan....”
Kata Kido, ekpresi
marah muncul dari wajahnya. Dia pasti memikirkan sesuatu yang sama denganku.
Marry mengatakan kalau
ibunya juga bermata merah, itu berarti dia juga pasti memiliki suatu kemampuan.
Fakta bahwa dia telah
diculik saat Marry pergi keluar, dan fakta bahwa Marry berada disini sekarang,
berarti dia telah melindungi
Marry dari
orang-orang luar. Dengan kata lain, masuk akal juga aku berpikir kalau dia telah menjadi pengganti untuk Marry.
Masalahnya adalah,
kalau ibunya hanya dibunuh itu tidak apa-apa, tapi karena dia telah dibawa
pergi, bisa dipertimbangkan kalau orang-orang itu tidaklah bertindak untuk
melindungi diri sendiri.
Hal yang tidak normal
biasanya akan membuat orang-orang penasaran.
Mungkin ini adalah
kecurigaan yang tidak adil, tapi ini bisa berarti ibu Marry telah dibawa oleh
orang-orang berotak keji untuk mendapatkan suatu keuntungan.
Memikirkannya seperti
itu membuat perasaan muak berputar-putar dari dalam perutku.
Keluarga Marry telah
mencoba melindungi kebahagiaan mereka, dan hanya hidup berdua saja.
Biarpun mereka
harusnya ditolong pada situasi seperti ini, kebahagiaan mereka malah dicuri;
ini tidak bisa dimaafkan.
“Bagaimana bisa mereka
melakukan hal sekejam itu....”
Perkataan yang
kukatakan itu menjelaskan perasaanku pada saat ini.
Bagaimana pun aku
memikirkannya, aku tidak bisa mengerti apa yang terjadi. Sebelum kemari, Marry
telah tinggal seorang diri, tidak bisa bergantung pada siapa pun.
Kata-kata yang diucapkan Marry tadi saat
memikirkan Ene, “Pasti sepi kalau harus sendirian.” seberapa besar arti
yang berada dibalik perkataan itu?
Perasaan yang tidak
mempunyai tempat untuk pergi mengerat dalam dadaku.
Biarpun aku mencoba
berpikir bagaimana cara
untuk membantunya, aku hanya
bisa merasa ditekan oleh ketidakberdayaanku.
“Apakah kau mengingat
seperti apa orang-orang yang membawa ibumu? Sesuatu yang bisa membedakan mereka
saja sudah cukup.”
“.....Aku tidak terlalu bisa mengingatnya. Itu sudah lama
sekali, dan karena aku dipukuli sampai hampir pingsan, aku tidak terlalu bisa
melihat wajah mereka. Dan saat aku sadar kembali, ibuku dan juga orang-orang
itu telah menghilang....”
Marry mengatakan ini
dengan wajah yang kesusahan dan penuh sesal. Jika dia telah dianiaya, dan itu
adalah sesuatu yang terjadi saat dia masih kecil, bisa dipahami bagaimana dia
tidak terlalu mengingat rincian dari kejadian itu.
“Begitu ya.... Paling tidak, apakah kau mengingat berapa tahun yang lalu
itu terjadi?”
“Umm....aku menghitung
sebanyak seratus musim panas yang telah berlalu, jadi mungkin seratus tahun
yang lalu. Setelah itu aku lupa menghitungnya, jadi mungkin lebih banyak
lagi....”
Maru menjawab sambil
mengangguk-ngangguk setelah mengingat semua itu kembali.
Begitu toh, kalau itu terjadi seratus tahun yang lalu, tidak mengherankan
kalau susah diingat. Seandainya saja terjadi beberapa tahun yang lalu.
Tunggu.......
.
.
.
“SERATUS TAHUN!?”
.
.
.
Kido dan aku
menyerukannya pada waktu yang sama.
Seratus tahun?
Tidak, itu tidak
mungkin.
Andai gadis imut di depanku mengatakan dirinya berumur seratus tahun, seratus
dari seratus orang akan mentertawakannya dan mengatakan, “Itu lucu!”
Karena ucapan kami
yang tiba-tiba, Marry berteriak, “Eek! Maaf!” dan menyentakkan pundaknya.
“Ka-kau bercanda, kan?
Kau sama sekali tidak terlihat seperti berumur seratus tahunan......”
“I-itu benar kok! Aku
sudah diajari bagaimana caranya berhitung! Ah, tapi setiap kali aku menanyakan
kepada ibuku berapa umurku, dia selalu marah dan mengatakan kepadaku untuk
tidak membicarakannya, jadinya dia tidak pernah mengatakan berapa umurku......”
Biarpun Marry
menegaskannya dengan sungguh-sungguh, itu bukanlah sesuatu
yang mudah dipercaya.
Namun, karena fakta
ada orang yang benar-benar bisa menghilang tepat di sampingku, aku tidak bisa menyangkalnya begitu saja.
Kido mulai menggaruk
kepalanya, “Apakah kemampuan seperti itu memang ada....”
Kemampuan untuk hidup
lebih dari seratus tahun. Apakah kemampuan Marry adalah ‘keabadian’?
Tidak, itu tidak masuk
akal.
Kemampuan seperti itu
tidak mungkin ada.
Aku tiba-tiba teringat cerita yang Kido katakan kemarin, tentang bagaimana
dia mendapatkan kemampuannya.
Kano, Seto, dan Momo, semuanya mendapatkan kemampuan mereka setelah mengalami
kejadian hampir mati.
Namun, Marry sajalah
yang mempunyai kemampuan sejak lahir.
Jelas sekali bahwa dia
mendapatkan kemampuannyadengan
cara beda dari yang
lainnya.
“Hei, Marry. Apakah
kau sudah mempunyai kemampuan itu sejak kau lahir?”
“Eh? Iya, kau benar.
Tapi, sejak kecil ibuku selalu mengatakan kepadaku agar tidak menggunakannya.”
Semua ini terlalu
misterius.
Kemarin, kira-kira aku
telah mengungkapkan bagaimana caranya kemampuan didapatkan, tetapi karena hanya
Marry sajalah yang berbeda, aku menjadi sangat kebingungan.
Dia mempunyai
kemampuan sejak awal, tanpa harus pergi ke ‘dunia itu.’
Dan ibunya juga
seorang pemilik kemampuan.
Medusa yang telah
hidup lebih dari seratus tahun....
Ini benar-benar
seperti cerita fantasi, tapi ada banyak hal misterius yang berada di dunia ini.
Bersamaan dengan
insiden Kido, aku jadi berpikir semua ini ada hubungannya dengan ‘kejadian’ yang terjadi ratusan tahun yang lalu.
Jika begitu jadinya,
kami bisa melangkah maju menuju jawaban sebenarnya dengan memecahkan misteri dari cerita Marry.
Namun, biarpun kami
mencoba untuk mencari ibu Marry, tidak mungkin kami pergi ke polisi dan
mengatakan sesuatu seperti, “Kami mencoba mencari ibu gadis ini yang menghilang
seratus tahun yang lalu.”.
Dan biarpun kami bergantung pada ingatan Marry, terlalu banyak bagian
yang tidak jelas. Apa yang bisa kami lakukan?
“Umm....aku punya
ide.”
Selagi aku
mempertimbangkan berbagai hal tanpa akhir, Konoha tiba-tiba mengangkat
tangannya.
“Uh, oke. Apa?”
Kido sepertinya agak
terkejut mendengar hal itu dari orang yang tidak terduga.
Dengan ekspresi tidak
terbaca seperti biasanya, Konoha
perlahan mulai memberikan pendapatnya.
“Mungkin ini tidak
penting, tapi bisakah kita mencoba untuk pergi ke rumahnya?”
“Eh?”
Aku dan Kido
tercengang.
“Ah, kubilang, bisakah
kita mencoba untuk pergi ke rumahnya? Ah, yang
kumaksud dengan rumahnya bukanlah yang ini, tapi dimana dia dulunya tinggal,
umm, maksudku....”
“Itu dia!”
Seperti memotong perkataan Konoha yang mulai melantur kesana kemari,
aku dan Kido kembali berbicara pada waktu yang sama.
Kalau kami
memikirkannya baik-baik, benar juga.
Kalau ibu Marry menyebut
diri mereka ‘Medusa’, itu berarti dia memiliki kesadaran tentang
kemampuan mereka.
Bahkan jika kami tidak
mendapatkan jawaban apapun, paling tidak kami bisa mendapatkan sedikit
informasi tentang kemampuan ini di rumah Marry.
“Sepertinya itu ide
yang bagus. Bagaimana menurutmu, Shintaro?”
“Sebenarnya aku merasa
hanya inilah cara satu-satunya. Mungkin kita bisa menemukan jawaban dari serangkaian kejadian ini.”
Setelah aku mengatakan hal ini, Konoha
sedikit tersentak, "A-apakah itu berarti kita bisa menemukan cara untuk menyelamatkan
Hiyori?"
"Aku tidak bisa menjamin apa-apa,
tapi...paling tidak, kita
mungkin akan menemukan semacam
petunjuk."
Mendengar ini, wajah Konoha menjadi penuh tekad.
Kalau dipikir-pikir, dia sudah dimarahi dengan kasar oleh Hibiya kemarin.
Hibiya mengatakan
bahwa dia tidak mampu menyelamatkan seorang gadis bernama Hiyori, tetapi dengan
bagaimana Konoha tidak menunjukkan rasa sedih di wajahnya, dia telah bertekad
untuk berusaha menyelamatkan Hiyori.
"Jika kita akan pergi, ayo kita
keluar. Marry, tidak apa-apakah kami melihat-lihat seisi rumahmu? "
Kido mengatakannya bersamaan dia berdiri.
"Kalau dengan kalian semua, kurasa
tidak apa-apa," Jawab Marry sambil tersenyum.
"Baiklah. Karena masalah ini sudah
beres, lebih baik kita
bersih-bersih. Aku merasa tidak enak Kido melakukan semua pekerjaannya, jadi aku akan ...... "
Aku mengatakan ini dan mulai berdiri, tapi
aku benar-benar lupa tentang sakit otot di kakiku.
Aku bergerak dalam posisi merangkak untuk menghindari rasa sakitnya bertambah buruk.
Kido sepertinya menyadarinya dan tersenyum
sinis.
"Baiklah kalau begitu, aku akan
bersiap-siap. Aku mengandalkanmu,
Shintaro." katanya,
dan pergi ke kamarnya.
Tunggu sebentar.
Kami merencanakan ini secara tiba-tiba, tetapi aku telah melupakan sesuatu yang sangat penting.
Kekhawatiran kecil itu segera berubah menjadi sebuah kesadaran yang sangat serius.
"H-Hei, Marry. Coba ulangi, dimana
rumahmu...?”
Aku menanyakan
ini dengan sangat lambat, dan Marry menjawab dengan bahagia, “Di belakang hutan, tidak jauh dari sini!
Kalau kita berjalan dari stasiun, kupikir akan memakan waktu perjalanan sekitar
2 jam?"
Mendengarnya, aku roboh ke lantai.
Dua jam!?
Oh tidak, tidak, tidak, itu gila.
Selain tidak memiliki
tenaga, bagaimana bisa aku diharapkan untuk berjalan selama berhari-hari
berturut-turut?
Batalkan.
Ya, kami harus membatalkannya.
Aku akan segera memberitahu Kido, dan
......
"Sepertinya kita juga akan berpergian hari ini! Aku mengandalkanmu,
Shintaro. Ah, Kido ikut juga, kan? Aku tidak bisa menunggu!"
Marry mengatakan ini dengan senyuman yang lebar.
Tidak ada orang di dunia ini yang bisa
mengatakan mereka ingin membatalkannya
setelah melihat senyum itu.
"Y-ya, aku juga..."
Aku mengatakannya dengan ekspresi terluka, dan untuk sementara ini, duduk di sofa.
Setelah mendengar Marry mengatakan
demikian, aku teringat kalau aku telah men-charger HPku.
Ketika aku melepaskan charger dari ponselku yang diletakkan
di sofa, aku melihat bahwa HPku
hampir terisi penuh. Namun, aku segera menyadari ada sesuatu yang aneh.
" ......Huh?"
Aku tidak bisa melihat Ene di layar.
Aku mencoba menggoyangkan ponsel dan
memanggilnya, tapi dia masih tidak muncul.
Mungkin dia pergi ke HP Momo.
Bahkan saat komputerku
hancur, dia tidak lenyap begitu saja, jadi tidak mungkin dia menghilang hanya
karena kehabisan baterai.
Aku meyakinkan diriku dan memasukkan HPku ke dalam saku.
Sambil mendesah, aku melihat meja di
depanku.
Ngomong-ngomong, pertama-tama aku harus membersihkan ini. Kemudian agenda
utama berikutnya untuk hari ini adalah hiking, ya? Aku memiliki banyak kekhawatiran
tentang apa yang akan terjadi, tapi mengeluh tentang hal itu tidak akan ada
gunanya.
Meskipun begitu, peristiwa yang terjadi beberapa hari ini
seperti semacam rencana seseorang untuk menjadikanku manusia yang layak.
Tidak, serius deh,
bagaimana kalau ini beneran rencana dari seseorang?
Seseorang yang memiliki kekuatan untuk
memanipulasi nasib......
Saat aku memikirkan hal itu, aku tak bisa
menahan tertawa.
Jika aku tidak mengalaminya sendiri, aku
tidak akan hanya menertawakannya; tidak mungkin cerita segila ini benar-benar terjadi.
Tapi, aku di sini sekarang karena aku diam-diam memiliki
keinginan untuk menyelesaikan masalah
ini.
Demi seseorang.
Mungkin ini
semacam penebusan.
Meski begitu, jika ada sesuatu yang aku
bisa lakukan sekarang, maka aku harus mencoba melakukannya.
Bersamaan aku memikirkan hal-hal tersebut, aku mulai
membersihkan sarapan yang sudah habis dimakan.
---
Translator Note
Nori : Sejenis makanan dari rumput laut. Berbentuk lembaran yang dikeringkan.
Natto : Kedelai yang dipermentasikan.
Sarapan gaya barat(kalo gak tau) : Roti, telur, susu
Hierogliph : Tulisan-tulisan yang biasa dipakai pada zaman mesir kuno.
Yo.. Yo.. Saya nungguin kelanjutannya lho ^w^
BalasHapusWii, akhirnya nemu blog penuh dengan masterpost Kagepro dan Shuuen no Shiori dengan bahasa Indonesia~ (/;w;)/ *telatbanget*
BalasHapusDitunggu lanjutannya ya~ (/;u;)/