Jumat, 12 Februari 2016

Pencuri Kristal 1


Pencuri Kristal 1

English Translator by fly or touchturnfly
Terjemah Indonesia oleh Kaori Hikari


Aku tak bisa menerima cinta segitiga seperti ini.

1

Ini terjadi pada musim gugur tahun pertama aku sekolah di SMA.

Aku berdiri di depan pintu apartemen bernomor 205 dan menarik napas dalam-dalam.

Melihat dari luar, kamar gelap itu tertutup oleh tirai yang tebal.

Aku bunyikan intercom-nya. Tidak ada jawaban. Aku terus-terusan menekan tombolnya seakan-akan itu adalah bel kuis. Tanpa kuduga, aku menjadi kegirangan melakukan hal ini, namun tetap saja tidak ada jawaban. Aku tau dia mengurung dirinya di dalam kamarnya. Hei, keluarlah.

Setelah jauh-jauh datang ke tempat ini, aku jadi teringat akan legenda Amaterasu1 yang mengurung dirinya sendiri di dalam gua batu khayangan2. Faktanya adalah orang inilah yang menceritakan hal itu kepadaku.

”Sebenarnya...” Sudah pengetahuan umum bahwa Amaterasu adalah seorang Dewa perempuan, tetapi, selain daripada Genpei Seisuiki3, Dewa itu tampak androgini dalam Nichiiki Hongi. Memikirkan bagaimana pembicaraan itu meramalkan situisi ini sungguh –

Aku menyelipkan tanganku ke dalam kantong seragamku dan memutuskan untuk menggunakan ponselku.

Aku telah menelponnya lima kali dan panggilan keenam tidak menghasilkan apa-apa. Panggilannya beralih ke suara mesin bersamaan dengan rekaman panggilan. Pada saat ini aku mendengar suara yang terdengar seperti peluit datang dari dapur. Bersiul-siul. Apa ceret zaman sekarang membuat suara seperti itu saat airnya mendidih? Hmm. Sungguh? Aku merasakan kalau kompor gasnya dimatikan dan kemudian semua menjadi hening sehening kuburan.

Aku mengetuk pintunya dan menyatakan, “Aku masuk.”

Langkah kakiku bergema bersamaan aku masuk dengan berisik. Apa dia sedang terbirit-birit pada saat ini? Sudah terlambat. Aku membuka pintunya dengan kunci duplikat yang kupinjam dari orang tuanya. Aku terhenti oleh rantai pintunya.

Kemudian aku mengingat saran yang diberikan kepadaku ketika aku meminjam kunci ini. Seperti yang sudah diberitaukan kepadaku, aku mendorong rantainya dengan telunjukku melalui celah yang ada dan melepaskannya tanpa kesulitan apapun. Kontruksi kayu yang telah dibangun sekitaran 30 tahun yang lalu dan cukup matang untuk memerlukan rekontruksi ulang tidaklah terlalu kuat.

“Tak mungkin.”

Dengan suara yang amat menyedihkan, Haruta yang masih mengenakan piyamanya jatuh terduduk. Matanya begidik ketakutan. Dia sudah absen tanpa surat dari sekolah selama seminggu. Tidak, lebih tepat dikatakan kalau dia mengurung diri di kamar ini selama seminggu.

Walaupun sewanya hanya 12.000 yen dan orang tuanya membayar separuhnya, menyewa apartemen dengan kedudukan sosial seorang teman sekelas daripada tinggal di kamarnya sendiri adalah sesuatu yang tak bisa kutoleransi.

Pada kasus orang ini, keadaannya hanya sedikit lebih rumit, tapi...

Sosokku yang menakutkan membayanginya.

Sementara itu Haruta yang masih terduduk berusaha menjauh dari bayanganku dan kabur kembali ke dalam kamarnya.

Aku melepaskan sepatuku dan memasuki kamarnya. Setelah aku membuka tirai dan jendelanya dengan kedua tanganku, cahaya mentari dan angin yang segar masuk ke dalam.

Tak seperti yang kusangka, ruangan ini terlihat cukup rapi untuk tempat mengurung diri selama seminggu. Dia menyebutnya ruang belajar, jadi dari awal dia tidak meletakkan furnitur-furnitur apapun yang tidak diperlukan.

Ada ruang untuk dapur dengan bak cuci yang kecil dan kompor gas, tempat untuk kloset kecil, meja makan rendah yang diambil dari tempat pembuangan sampah, rak buku, komponen mini, kantong tidur yang dihangatkan oleh suhu tubuhnya hingga kedatanganku tadi.

Haruta yang telah kembali ke depan meja makannya yang rendah sambil merangkak menyisir rambut bangun tidurnya dan memandang ke arahku.

“Karena kamu sudah bersusah payah masuk tanpa izin ke kamarku, mari kita minum sesuatu.”

“Itu tidak diperlukan.”

Aku meletakkan botol teh diet yang kubeli pada toko serba ada di sekitar sini ke meja.

“Itu juga bisa. Aku jadi cukup haus sekarang.”

Haruta berdiri dan dengan riang membawa gelas dari dapur.

“Berikan aku setengahnya.”

Aku menuangkannya ke dalam gelas tanpa suara.

“Terima kasih,” kata Haruta, dia duduk dan mulai membasahi bibirnya sedikit demi sedikit.

Membicarakan soal rambut bangun tidurnya, aku hampir terpikat dengan rambut halusnya yang mengkilat dan penampilannya yang androginus. Biarpun dia mencemaskan dirinya yang pendek, dia memiliki tubuh yang langsing, kulit yang lembut, hidung yang mancung, bulu mata yang lentik, dan kelopak mata ganda sungguhan. Perempuan sepertiku akan dengan senang hati terlahir kembali dan mengganti bagian-bagian tak tertolong milikku dengan milik seorang lelaki bernama Haruta ini.

Terkadang ada juga waktu ketika aku yang sedang berdelusi memikirkan apa yang akan terjadi jika aku terjerat dan terjatuh dari tangga bersama orang ini seperti di dalam film “Murid Pindahan”4. Aku suka membayangkan hal-hal tersebut sebagai delusi sementara.

“Jadi?” kata Haruta. Pandangannya yang tertuju kepadaku dengan jujur menyampaikan ‘Untuk apa kamu ke sini?’.

Ada luar biasa banyak hal yang ingin kuberitaukan kepadanya. Aku mengambil buku-buku catatan yang berisi catatan-catatan pada papan tulis dari dalam tas sekolahku dan berbicara setenang yang kubisa.

“Sensei sangat khawatir.”

Haruta terkejut dan mengangguk dengan dalam.

“Dan juga, semua orang di kelas telah memikirkan perbuatan mereka.”

Haruta beralih untuk menatapku dengan mata yang ragu.

Pada mula-mula, penyebab Haruta menolak untuk pergi ke sekolah adalah : Haruta mempunyai cinta tak terbalas kepada seseorang di sekolah kami. Dia mengambil beberapa foto di ponselnya – tidak tidak – salah satu rutinitasnya sehari-hari ialah memandang foto-foto orang itu yang diam-diam dia ambil secara privat untuk kesenangannya pribadi. Biarpun biasanya dia menguncinya rapat-rapat dengan password, pada suatu kala dia lupa dan ditambah lagi dia kehilangan ponselnya di sekolah. Haruta berusaha keras mencarinya dengan mata merah yang kelelahan.

Sungguh nasib buruk yang menemukannya adalah anak lelaki dari kelas kami. Lumayan tertarik, dia curi-curi pandang pada album foto dan melihat foto-foto orang dengan cinta tak terbalas Haruta. Belum lagi ada cukup banyak foto orang itu di dalamnya. Aku pun dapat memahami kebingungannya. Aku yakin pasti rasanya seperti membuka kotak Pandora. Ruang kelas pun dipenuhi dengan keributan, sorak sorai, dan kebingungan. Tiba-tiba, Haruta dikerubungi oleh teman-teman kelas kami bagaikan dia telah tertangkap ke dalam mata angin puyuh.

“Aku telah membuat keputusanku. Aku akan keluar dari sekolah,” gumam Haruta dengan pandangan yang jauh di matanya.

"Haah?"

“Aku mengerti. Kamu tidak memahami perasaanku, Chika-chan. Jika aku berangkat ke sekolah dan menerima tatapan-tatapan dingin dari berbagai murid, aku harus bertahan diri lagi dan lagi.”

Dengan teguh kutatap teman kecil anehku ini yang masih saja memanggilku ‘Chika-chan’.

“Selama aku berhenti sekolah, aku terus bertanya-tanya akankah aku dapat menghindari tatapan-tatapan dingin dari teman-teman sekelas kita walau hanya sesaat. Tetapi itu tidak berguna. Sebelum aku bisa menjadi diriku sendiri, masih ada diriku yang lemah kepada bagaimana orang lain memperhatikanku. Dengan dunia yang menyisihkan orang-orang yang tidak mengikuti norma sosial, orang sepertiku yang agak melenceng akan terancam...”

Aku mengeratkan cengkramanku pada tutup botol dan melemparkannya kepada Haruta. Aku tidak memberinya waktu untuk menghindar.

“Maafkan aku,” Haruta menyusutkan dirinya dan meminta maaf. Sungguh kebiasaan yang buruk. Untuk menghindari perasaan sesungguhnya dipahami oleh orang lain, dia membingungkan mereka dengan pembicaraan yang sangat kritis.

“Bagaimanapun juga,” Kataku. “Jika ini mengenai hal itu, tidak ada yang perlu dicemaskan lagi.”

“Apa maksudmu?”

“Aku memperdaya semua orang di kelas dalam minggu-minggu ini. Aku mengatakan kepada mereka ada seorang gadis yang kau sukai dan foto-foto yang ada di ponselmu adalah sesuatu yang diminta oleh temanku kepada Haruta yang berhati lembut.”

"Chika-chan..."

Untuk seketika, aku berpikir dia akan berterima kasih, tapi kenyataan berkata lain.

"Aku tidak ingat aku pernah memintamu berbohong untukku."

Kuhantam tanganku ke meja dan mecengkram kerah Haruta

“—Lihat? Kau membuat temanmu khawatir sampai-sampai dia akan berbohong untukmu.”

Haruta menganggukkan kepalanya dengan keras.

“Harinya juga sudah dekat dengan festival budaya. Apa kau mengerti apa yang kumaksud?”

Haruta mengangguk dengan dalam. Dia terlihat kalut. Aku melepaskannya karena dia terlihat akan melukai kepalanya sebentar lagi. Haruta duduk bagaikan sudah kehilangan keberanian, dan akhirnya mimik mukanya terlihat seperti menyesal.

“...Sekarang kamu mengatakannya, Chika-chan. Kamu anggota dari komite eksekutif festival budaya, bukan?”

“Percaya atau tidak, tapi aku sibuk. Ah, sibuk sekali, sibuk sekali. Yah, apa kau akan kembali sekolah? Apa kau tidak akan kembali sekolah? Yang mana?”

Haruta menundukkan kepalanya dan terus diam.

“Akan ada banyak hal yang membuatmu malu saat kau masih remaja.”

Saat aku mengatakan ini kepada Haruta yang tak bisa apa-apa, dia mengangkat kepalanya dengan ekspresi terkalahkan.

“Kamu terlalu blak-blakan.”

“Ada masalah dengan itu?”

Haruta ingin mengatakan sesuatu, tetapi dia menutup mulutnya. Kalau dipikir-pikir, aku mengasihaninya. Jika aku berada di situasinya, aku takkan tau akankah aku bisa pergi ke sekolah lagi atau tidak.

“Akan kuberi kau kesempatan untuk pulih dengan hormat.”

"Pulih dengan hormat?"

"Kesempatan untuk menaikkan reputasimu."

Dia menatapku dengan mata yang penuh keraguan, kemudian aku memperbaiki cara duduk dan melanjutkan dengan serius.

“Sepertinya festival budaya akan dibatalkan.”

“Huh,” Haruta menatapku dengan hampa. “Dan mengapa begitu?”

“Seseorang menempelkan surat ancaman di papan buletin.”

Haruta tidak terlihat gelisah. “Menurut seorang senpai, sepertinya ini selalu terjadi setiap tahun, bukan?”

“Sejak tahun sebelum yang terakhir. Cara dia bekerja selalu sama. Dia memotong huruf-huruf di kertas koran, mengkopi dan memperbesar hurufnya, dan menempelnya di kertas kasar. Tulisannya, ‘Jika kau tidak mengabulkan permintaannya, aku akan meracuni makanan di kios-kios’.”

“Kalau tidak salah ingat tahun lalu yang –“

“Krep.”

"Tahun sebelumnya?"

"Takoyaki."

"Tahun ini?"

"Yakisoba."

Aku bertahan diri dari suara kikihan Haruta.

 “Yah, aku akan mendengarkan ceritamu, tapi apa permintaan untuk tahun ini?”

“Wig wakil kepala sekolah. Ruang staff telah diselimuti dengan suasana tegang yang belum pernah terjadi sebelumnya oleh tabu tertinggi dalam sejarah sekolah kita.”

Singkatnya, ini adalah kejahilan sejenis itu.

“...Chika-chan. Orang dungu tak terselamatkan selalu ada di tiap sekolah. Orang-orang dungu itu akan melakukan hal bodoh dan menikmatinya. Orang yang memikirkan lelucon mengirim surat ancaman setiap tahun juga orang dungu. Tidak, dia sungguh orang dungu yang luar biasa.”

“Tapi kau tau, setiap tahun tidak ada yang terjadi dan tidak diketahui siapa yang melakukannya,” kuteruskan, menyela kegirangan Haruta. “Orang bego tak tertolong sungguh ada di dunia ini. Ada beberapa telepon dan surat yang dikirim berisi sesuatu seperti ‘Jika kau tidak membatalkan festival budaya atau festival olahraga, aku akan bunuh diri atau membunuh seorang murid.’ Mayoritas dari sekolah yang diberikan pemberitahuan terlebih dahulu akan membatalkan atau mengundur festivalnya. Aku pikir seluruh murid dari sekolah itu merasa frustasi. Orang bego yang mengirim surat ancaman setiap tahun ke festival budaya kita juga hal yang sama dengan derajat yang berbeda. Biarpun aku tau dia hanya sedang jahil dan bercanda, para guru dan kami berusaha bertahan diri, memahami situasinya, dan menanggulanginya. Kami melakukan hal yang terbaik agar festival budaya tidak ditiadakan.”

“Namun.”

Aku baru saja ingin mengisyaratkan kata-kata kalau Haruta tidak mengikutiku dan membuktikan bahwa dia salah. Namun, dia tidak mengatakan apapun lagi setelah itu. Mungkin dikarenakan dia menatap langsung ke wajahku. Tanpa sadar, air mata yang pahit mulai terggenang di mataku.

“...Hm. Jadi tahun ini sungguhan?”

Aku menjawab dengan anggukan. “Yah. Apa kau ingat? Pameran Klub Kimia yang kita lihat pada persiapan festival budaya. Katamu kau ingin melihat Batu Levitasi5. Bukankah mereka punya kristal yang didambakan?”

Batu Levitasi muncul pada film animasi berjudul “Laputa – Kastil di Angkasa” yang disukai Haruta; itu adalah permata yang mempunyai kemampuan untuk mengapung di angkasa. Kristal biru yang indah dan transparan juga terkenal dikalangan Klub Kimia dan setiap tahun mereka mencoba membuat kristal yang besar. Bisa dibilang sudah praktik yang ditentukan untuk memamerkan benda itu.

“Apa ada masalah dengan itu?”

“Rupanya mereka kehilangan itu.”

“Merela kehilangan itu? Apa kamu yakin?”

“Itu kristal sulfat tembaga6.”

Haruta terkejut.

“Itu racun yang kuat.”

Aku menundukkan mataku dan mengangguk. “Kemarin sepulang sekolah, murid yang bertanggung jawab menjaganya keluar dari ruang IPA untuk beberapa saat dan itu lenyap selagi tak ada orang yang menjaga selama lima menit. Sekarang ini, semua orang dari komite eksekutif berusaha keras untuk mencarinya.” Aku meneguk ludahku dan melanjutkan, “...Kami tidak memberitaukan ini kepada para guru.”

“Kalau itu pencuri racun berbahaya, kamu harus segera menghubungi kepolisian.”

Aku menunjukkan senyum lemah di mulutku.

“Haha. Kalau kami melakukan itu, bukankah mereka akan membatalkan festival budaya?”

“Apa kamu waras? Chika-chan!”

“Maafkan aku.” Aku menundukkan kepalaku bagaikan bunga yang layu. “Aku dan yang lain mencoba menanggulangi hal ini. Ini sangat menakutkan. Kami tidah tau hal apa yang harus kami lakukan dan kami terdorong ke dalam situasi dimana kami tidak bisa melakukan apa-apa.”

Aku menatap Haruta yang kaku dan kehilangan kata-kata, kemudian aku berbicara dengan suara yang pelan.

“...Ayolah. Bantu kami, Haruta.”




CATATAN PENERJEMAH

1.   Amaterasu Oomikami adalah Dewi Matahari dari mitologi Jepang.
2.   Ama no Iwato adalah Gua Batu Khayangan.
3.   Genpei Seisuiki dan juga Nichiiki Hongi adalah dokumen bersejarah Jepang.
4.   Tenkousei (Murid Pindahan) adalah film dimana karakter perempuan dan laki-laki bertukar tubuh setelah terjatuh pada tangga kuil.
5.   Batu Levitasi muncul pada Laputa - Kastil di Angkasa, film Ghibli oleh Hayao Miyazaki.
6.   Kristal Sulfat Tembaga: Lihat Wikipedia untuk rinciannya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar