Rabu, 26 Maret 2014

Shinigami Record III


Shinigami Record III

Hari ke-1014

Hujan turun dengan derasnya tiap hari, sama sekali tidak menunjukkan pertanda akan reda, terus membasahi dedaunan dari pohon yang terlalu besar.

Dengan perubahan cuaca, temperatur mulai naik, tapi cuaca buruk terus memperburuk perasaanku.

Dengan tiap tetes air hujan yang jatuh di depan mataku, aroma rerumputan yang muncul memberikan bau musim panas.

“....seberapa banyak nyali yang dia miliki?”

Di hujan lebat ini, biarpun bentuknya masihbelum sesuai, pembangunan rumahku akhirnya bisa terlihat.

Seperti biasanya, hari ini, tanpa kenal lelah, aku terus mengikuti si pemuda penuh senyum itu, yang sekarang sedang memindahkan berbagai macam material dan peralatan.

“Dengan hujan sederas ini, bukannya normal untuk istirahat? Sebagai manusia lemah yang lukanya lambat sembuh, apa yang membuat dirinya sangat percaya diri?”

Gumamku sendiri di gubuk yang dibangun dengan buruk (dengan pemadian yang sudah dibangun), paling tidak itu cukup untuk menahan angin dan hujan. Letaknya tidak terlalu jauh dari tempat rumahku dibangun.

Membuka pintu, aku duduk bersila dan mengamatinya. Kegiatan ini mulai menjadi salah satu keseharianku.

Kalau begini terus, tidak lama lagi rumahku akan selesai.

Biarpun dulunya dia adalah anak kecil yang asalnya sama sekali tidak tahu bagaimana caranya membangun rumah, sekarang dia bisa mengerjakannya dengan baik. Entah kenapa aku merasa agak senang ketika menyadari itu.

Yah, tentu saja, dia bisa menjadi seperti itu berkat bantuanku selama ini.

Pada awalnya, cukup dengan kata-kata tajam seperti “Apa yang kau tahu tentang cara membangun sesuatu?” untuk membuatnya menangis. Karena merasa kasihan, kuajarkan dia semua yang kubisa.

Hanya itu penyebab kenapa sebuah rumah bisa dibangun dalam waktu yang terbilang singkat.

Biarpun begitu, dia juga terlalu bersemangat untuk seorang manusia. Dia memotong, mengangkat, dan memasang semua material ini sendirian saja.

Rumahnya sendiri masih jauh dari sempurna, tapi aku memutuskan untuk tidak mengkritik terlalu kejam.

Sudah tiga tahun sejak dia mulai membangunnya.

Biarpun untukku itu termasuk waktu yang singkat, mengingat kerjakerasnya, pasti dia merasa ini adalah tiga tahun yang panjang.

Yah, bukan berarti aku peduli dengannya.

Hanya saja, semua akan jadi sia-sia jika dia mati sebelum menyelesaikan rumah ini, apalagi setelah kutemukan seberguna apa dia itu. Cuma itu.

Intinya, dia orang yang sangat jujur dan selalu menepati perkataannya. Pasti dia akan pergi setelah menyelesaikan rumahnya, seperti yang telah dijanjikan.

Lalu, aku bisa hidup dengan tenang di rumah ini, sendirian saja. Itulah rencana brilian yang kupikirkan tiga tahun lalu.

Kulipat tanganku sembari memuji diriku sendiri, tepat saat kudengar gemuruh guntur.

Aku menyadari kalau hujan semakin deras.

Dilihat dari waktunya, matahari akan segera tenggelam. Sepertinya dia akan pulang sebentar lagi.

Seperti dugaanku, Tsukihiko muncul.

Dia berlumuran lumpur dari kepala sampai ke kaki, seperti yang telah kubayangkan. Seperti biasanya, aku menunjukkan kejijikanku.

“Aku membuat kemajuan yang besar hari ini. Harusnya sebentar lagi selesai. Jadi, bagaimana menurutmu? Apakah sesuai dengan apa yang kau inginkan....”

“Kotor. Mandilah.”

Aku menunjuk ke arah kamar mandi, dan Tsukihiko menjawab. “Ahahah, kau benar. Maaf, maaf.” sebelum melesat pergi untuk mandi.

Biarpun aku menyebutnya gubuk yang dibangun dengan buruk, gubuk ini cukup berguna.

Dari usul Tsukihiko, asalnya bangunan ini hanya sebuah atap  perlindungan yang dibuat dimana aku bisa melihat pembangunannya, tapi gubuk ini justru meluas menjadi seperti sekarang ini.

Awalnya aku marah saat dia membuat ruangan untuknyanya sendiri agar bisa tidur di sini, tapi menyadari kalau pembangunannya akan lebih cepat jika dia dekat dengan tempat pembangunan, agak enggan kuperbolehkan dia tinggal di sini kadang-kadang.

Yah, asalkan tidak ada kerugian apapun. Kecepatan pembangunannya memang meningkat, dan biarpun aku masih mempunyai keraguan, aku akan menahannya sampai rumahku selesai.

Ya, aku akan bersabar sampai rumah itu selesai.

Setelah itu selesai, akhirnya aku akan mendapat tempat dimana aku bisa menetap. Sampai pada waktu itu aku akan terus bersabar.

....Biarpun begitu, apa aku terlalu memanjakan Tsukihiko dengan membiarkannya mandi?

Akan jadi masalah kalau tiba-tiba dia pingsan, dan masalahnya akan lebih besar jika rumahku tidak terselesaikan.

Pikiran ini tenggelam saat suara cipratan air dan seruan terdengar dari kamar mandi.

“Terima kasih sudah memperbolehkanku mandi! Aku sangat senang!”


Hari ke-1032

Setelah hujan panjang, akhirnya tanda-tanda dari musim panas bisa dirasakan.

Aku menghindari sinar menyengat dari cahaya matahari dan merendam kakiku di dalam seember air yang Tsukihiko bawa.

“Hei, bagian sini agak janggal!”

Saat aku memanggilnya, Tsukihiko melambaikan tangannya.

Hari ini, seperti biasanya, dia dengan tenang membangun rumahku. Sepertinya hari ini  dia akan mengerjakan atapnya.

Biarpun diterik matahari yang sangatlah panas, kulit putihnya tidak pernah terbakar, membuatnya terlihat sangat berbeda dengan atap yang berwarna hitam.

Rambutnya  juga putih, biarpun dia masih muda. Mungkin itu dikarenakan oleh kelainan genetik. Benar-benar orang yang aneh.

Ngomong-ngomong, biarpun sebenarnya aku melambai untuk menunjukkan bagian atap yang agak aneh, sepertinya dia salah tanggap dan berpikir aku sedang menyemangatinya.

Dia hanya melambai balik kepadaku dan tersenyum. Dia sama sekali tidak menunjukkan niat untuk memperbaiki bagian yang kutunjuk tadi.

“Hei, bukan itu! Coba liat kakimu, kakimu!”

Tsukihiko akhirya sadar kalau aku mencoba memberitaukannya sesuatu. Dia menoleh  ke arahku dan memanggil balik. “Huh? Apa katamu!?”

Aku mulai sebal dengan pembicaraan tak nyambung ini. Kenapa si tolol itu tidak mendengarku saat pertama kali aku mengatakannya?

“Kubilang, lihat kakimu.....Ah!”

Saat aku mulai berteriak kepadanya, Tsukihiko tiba-tiba kehilangan keseimbangannya.

Lalu, tubuhnya jatuh karena gravitasi.

Aku hampir tidak bisa berpikir saat melihat pemandangan seperti ini, tapi otakku memaksa untuk menstabilisasi pikiranku sendiri.

Apa yang bisa kulakukan? Apa yang harus kulakukan pada saat seperti ini

Kemampuan apa yang bisa....Tidak, tidak ada gunanya. Aku tidak mempunyai kemampuan yang bisa menolong Tsukihiko pada situasi seperti ini.

Dalam sekejap, kepalaku dipenuhi dengan berbagai pikiran.

Tetapi aku tidak bisa memikirkan cara yang efektif untuk menyelamatkan Tsukihiko dari jarak sejauh ini.

Tubuh Tsukihiko tidak memperlihatkan perlawanan sama sekali, dan menghilang ke balik rumah, ke suatu tempat yang tidak bisa kulihat dari sini.

Hatiku serasa membeku.

Jika dia terjatuh dari tempat setinggi itu, dia pasti terluka parah.

Menjungkirkan ember yang berisi air, aku berlari ke tempat dimana kupikir Tsukihiko jatuh.
Seandainya saja dia jatuh dengan kakinya lebih dulu.....

Tetapi, kalau dipikir dari terakhir kalinya aku melihat Tsukihiko, yang mana gambaran itu telah terbakar di mataku, aku merasa dia tidak jatuh dengan cara seperti itu.

“Tsukihiko!”

Aku berbelok di ujung rumah dan memeriksa tanahnya.

Tetapi, aku tidak melihat Tsukihiko.

Sebelum aku bisa berpikir apa yang terjadi, aku mendengar suara dari atasku.

“Whew, hampir saja. Hm? Ada apa?”

Saat aku melirik ke atas, aku melihat Tsukihiko bergantung di ujung atap dengan satu tangan.

Melihat bocah itu tersenyum tidak karuan seperti biasanya, bukannya lega, perasaan marah malah muncul di diriku.

“Jangan bercanda, bodoh! Bagaimana bisa makhluk lemah sepertimu bisa seceroboh ini!”

Saat aku mengomelinya, Tsukihiko memucat dengan senyum masih menghias wajahnya.

“Huh?”

Sepertinya dia tidak mengerti kenapa dia diomeli.

Aku membuka mulutku agar bisa megeluarkan ombakan amarah, tapi karena aku sedang dibanjiri berbagai macam emosi, aku tidak bisa mengatakan apa yang kuinginkan.

Pada akhirnya, satu-satunya yang keluar dari mulutku ada perkataan yang sangat kekanak-kanakan. “Bodoh!”

Setelah itu, aku membalikkan diriku darinya.

“Isi ulang air yang ada di ember. Lalu....jangan panjat atap lagi untuk hari ini.”

Tsukihiko panik mendengar perkataanku dan menjawab. “Si-siap!”

Aku sama sekali tidak senang.

Tidak sedikit pun.

Aku malah sebal kepada diriku sendiri karena takut terhadap hal yang sangat tidak penting.

Tambah lagi, saat aku kembali, tidak akan ada ember yang berisikan air. Ini benar-benar menyebalkan.

Aku memutuskan untuk tidak berbicara dengannya hari ini. Pastinya dia akan berkecil hati karenanya.

Saat aku memikirkan ini, suasana hatiku membaik dan amarahku sedikit berkurang.


Hari ke-1058

 “Dia telat……!”

Sekarang matahari terbenam sedang menyinari diriku.

Angin segar yang berhembus, digabung dengan matahari yang terbenam, membuat suhu yang nyaman.

“Stok makanannya habis, jadi dia pergi untuk mengambilnya lagi dari rumahnya? Memang sejauh apa rumahnya sampai-sampai tidak datang selarut ini?”

Berkebalikan dengan pemandangan yang hidup di depanku, awan guntur begemuruh di dalam dadaku.

Dia pergi setelah mengatakan “Karena makanannya mau habis, aku akan pergi untuk mengambilnya lagi. Aku akan kembali sebelum siang hari.” Namun, bukankah sekarang sudah senja?

Tsukihiko selalu datang kemari dari rumahnya, dan perjalan pulang-perginya hanya menghabiskan waktu sekitar tiga jam.

Biarpun dia telat, dia selalu punya alasan yang jelas. Seperti hujan atau salju yang memperlambat perjalanannya kemari.

Tapi sekarang, dia tidak kembali biarpun matahari sudah terbenam.
Kemudian, senja pun dicelup wewarnaan biru laut.

Seperti mengejek diriku yang menunggu, matahari langsung tenggelam dalam kedipan mata. Bahkan setelah hari menjadi malam, Tsukihiko masih belum kembali.

“Apa yang mungkin dia pikirkan? Padahal kemarin dia dengan percaya diri mengatakan kalau rumahku akan selesai seminggu lagi.”

Aku bisa mendengar suara pelan serangga-serangga dari kejauhan, tapi seperti biasanya, tidak ada tanda kehidupan dimanapun di sekitar sini.

Satu-satunya yang bisa kudengar hanyalah suara dentuman jantungku yang nyaring di dalam dadaku.

Mungkin dia tidak akan kembali malam ini.

Kalau kupikirkan lagi, itu masuk akal. Biasanya seseorang akan menghindari berpergian ke dalam hutan saat malam hari.

Misalnya, jika kau memutuskan untuk pergi saat matahari terbenam, ditengah jalan nanti akan menjadi malam, dan membuatnya berbahaya. Karenanya, lebih masuk akal memulai perjalanannya pagi esoknya.

Atau bisa saja dia tidur siang di suatu tempat karena hari ini adalah hari yang sangat indah.......

Tidak, itu terlalu berbahaya.

Mungkin dia ketiduran setelah sampai dirumahnya.

Di tengah kegelapan, aku mengeluarkan berbagai kemungkinan kenapa Tsukihiko masih belum kembali.

“Yah, kurasa dia pasti akan kembali esok pagi.”
……
....
..
“Atau mungkin dia akan muncul jika aku menunggunya sedikit lebih lama lagi.”

....Nah, itu hanya angan-anganku belaka.

Tapi aku tidak bisa melenyapkan keinginanku agar hal itu terjadi.

Aku sudah mengeluarkan alasan yang lebih logis daripada ini, alasan yang lebih baik daripada yang lain.

Jadi kenapa aku mencoba menutupinya dengan mengeluarkan harapan palsu seperti ini?

Saat aku sadar akan hal tersebut,  akhirnya pikiran yang lebih realistis muncul diotakku.

“Mungkinkah dia  lari?”

Secara logis, itu masuk akal.

Pada awalnya, tidak masuk akal dia akan terus membangun rumah disini selama tiga tahun tampa komplain ataupun ganti rugi sedikit pun.

Sebenarnya, aku tidak mengerti kenapa dia terus tinggal disini.

Aku tidak lagi percaya kalau dia mencoba untuk menipuku, tapi aku masih tidak bisa mengerti apa maksud dari kelakuannya.

.....kalau dipikir-pikir, dia mengatakan sesuatu kepadaku saat kami pertama kali bertemu. Apa katanya lagi?

Saat aku mendengarnya, aku merasa agak terganggu. Biarpun sekarang aku tidak terlalu memperhatikan ketepatan perkataannya, jika aku mengingatnya dengan benar......

Aku memang berpikir andai aku bisa menatapmu lebih dekat.....”

Waktu aku mengingat kata-kata itu, aku merasa seperti hatiku mengepal dengan kuat.

Wajahku menjadi panas dan aku kesulitan bernapas.

Benar-benar hal yang memalukan untuk dikatakan....!

Bocah itu benar-benar bodoh!!

Tidak, sebenarnya, bagaimana jika dia.....

“.....jatuh cinta denganku?”

Sesaat aku megatakan itu dengan nyaring, pikiranku serasa tidak bisa kukendalikan.

Tidak, tidak mungkin. Dia manusia, spesies yang sangat berbeda dariku.

Tetapi, dia laki-laki, dan aku adalah....yah, kurasa, perempuan.

Jadi pasti maksudnya pada saat itu adalah bagaimana laki-laki ingin menatap seorang perempuan.

Bersamaan aku mulai kebingungan dengan konflik yang muncul ini, nada datar yang pasrah keluar dari mulutku.

Apakah ada lagi yang dia katakan?

Ingatlah. Dia pasti mengatakan sesuatu. Pasti.

Apakah yang dia katakan? Sesuatu yang lebih tidak masuk akal lagi.........

“Mulai sekarang aku bersedia mendengarkan apapun yang kau katakan.”

Tidak bisa menahannya lagi, aku melompat. Hatiku serasa akan meledak jika aku tidak melakukan itu.

Napasku memburu dan pusing melanda diriku.

Akulah sebenarnya yang bodoh.

Dari awal, dia telah dengan jelas mengatakan kepadaku alasan kenapa dia tinggal disini.

Aku baru menyadarinya.

Kalau dia jatuh cinta denganku.

“I-itu berarti, semua yang dia lakukan sampai sekarang.....”

Pada waktu aku menyadari ini, aku sangatlah mengerti sampai-sampai aku merasa sangat malu. Alasan sebenarnya dia tetap tinggal selama tiga tahun ini.

“Artinya, pada waktu itu, maksudnya adalah......? Saat dia melakukan itu juga!? Ahhhhhh.....bodohnya!”

Bukan, sebenarnya yang menjadi orang bodoh di sini adalah aku.

Alasannya bertahan di sini sangatlah simpel, dan pada waktu yang bersamaan, aku menyadari alasan kenapa aku berharap hal-hal yang tidak penting.

Sekarang, mengingat wajahnya untuk beberapa waktu saja telah cukup untuk membuat wajahku panas membara.

Setelah aku selesai mengingat, juga bersedih, aku akhirnya bisa kembali mendapatkan ketenanganku.

Aku menarik napas dalam-dalam untuk mentetapkan napasku kembali.

Menghirup udara yang dingin membuatku merasa isi badanku juga didinginkan.

“.....Cepatlah kembali, bodoh.”

Bahkan sebelum aku menyadarinya, aku merasa kesepian saat sendirian.

Saat si bodoh itu kembali, aku akan protes.

Aku rasa dia justru merasa senang, karena dia adalah makhluk yang aneh.


Hari ke-1059
Sudah sekian lama sejak aku menangis sekencang ini.

Bahkan setelah pagi datang, Tsukihiko masih belum kembali. Dan sekitar waktu itu, airmata mulai mengalir.

“Ayolah, jangan menangis lagi. Lihat, aku baik-baik saja kan?”

Tsukihiko mengatakan ini, mencoba menenangkan diriku yang menangis sambil memeluk kakiku, tapi airmataku tidak bisa berhenti.

Aku tidak pernah membayangkan dia akan kembali dipenuhi dengan luka. 

Orang yang telah kau tunggu-tunggu tiba-tiba muncul dan terlihat seperti hampir mati. Siapapun pasti akan menangis.

“Aku benar-benar minta maaf aku datang terlambat. Berbagai hal menjadi agak rumit.....”

Dia tersenyum sambil masih dipenuhi dengan luka. Si bodoh ini.

“....kenapa kau terluka?”

Aku menahan airmataku untuk menanyakan ini. Tsukihiko dengan jelas memperlihatkan ekspresi terkejut.

Dia cepat-cepat tersenyum kembali, tapi aku bisa melihat melewatinya.

“Apa? Sesuatu yang tidak bisa kau katakan kepadaku?”

“Ah, tidak! Bukan itu. Hanya saja.....”

Melihat sikap Tsukihiko yang bimbang, sambil masih terisak-isak aku mengatakan kepadanya dengan tajam. “Katakanlah.”

Dia memucat, seperti mengerti apa yang kumaksud, dan menghembuskan napas dengan pelan dan mulai berbicara.

“Umm, apakah kau ingat saat pertama kali kita bertemu? Kau tau, saat kau sedang berpikir dengan serius dan aku memanggilmu....Huh? Ada apa?”

Merasakan wajahku menjadi panas membara, aku mengubur wajahku di balik kakiku.

Aku baru saja mengingatnya kemarin. Tidak mungkin aku langsung melupakannya.

Dengan wajah masih bersembunyi di balik kaki, aku menyuruhnya untuk lanjut. “Teruskan.”

“O-oke. Umm. Pada waktu itu, aku sedang di tengah-tengah perjalanan pulang dari medan perang. Mereka mengatakan aku tidak bisa melakukan apa-apa.”

Kalau kupikir-pikir, saat kami pertama kali bertemu dia memang memakai pakaian seperti hendak berperang.

Tapi, kejam sekali menyebutnya tidak berguna....Yah, sebelumnya aku juga mengatakan hal yang mirip sih.

“Saat aku berjalan, aku melihatmu. Kupikir kau sangat cantik, jadi aku akhirnya mengikutimu.”

“Ti-tidak usah menjelaskan sedetail-detailnya.”

Biarpun aku mencoba menyembunyikannya saat aku berbicara, sebenarnya aku merasa akan mati karena malu.

Meskipun sebelumnya aku tidak terlalu memiliki perasaan apapun sampai sekarang, aku mulai menemukan berbagai perasaan ini.

“Ahahah, maaf. Tapi karena itulah saat kau menyuruhku untuk membangun rumah, walaupun kupikir itu permintaan yang mustahil, aku benar-benar senang. Kupikir aku bisa berguna untuk seseorang yang sangat cantik.”

“Ma-makasih...”

“Huh!? Kau bertingkah agak aneh hari ini.”

Yang benar saja, sebegitu tidak sensitifnyakah dia?

Sudah jelas kalau tingkahku yang biasanya hanyalah menggodanya dengan maksud jahat.

Namun, sekarang, aku merasa ketidakpekaannya adalah sesuatu yang kusuka.

....Apakah aku benar-benar cantik?

....begitu yah.

....ya, baguslah.

“Kembali ke topik. Kedua orangtuaku meninggal saat aku masih muda, tapi mereka meninggalkan sebidang tanah yang cukup luas, jadi aku tidak perlu khawatir untuk properti. Tapi kemarin....aku bertemu dengan orang-orang dari desa untuk pertamakalinya setelah beberapa lama.....”

Aku terdiam saat Tsukihiko mengatakan itu.

“Dan apa yang terjadi saat bertemu mereka? Bukannya kau juga bagian dari desa itu?”

“Memang sih....tapi, yah.....aku terlihat berbeda dari yang lain, jadi kami tidak terlalu bersahabat....”

Sesaat setelah Tsukihiko mengatakan ini, aku mengerti semuanya.

Dan pada waktu yang sama, perasaan benci mulai muncul dipikiranku.

“....itu sajakah?”

“Huh?”

“Apakah hanya itu alasan mereka melakukan ini kepadamu?”

Tsukihiko memiliki memar yang besar diwajahnya. Bajunya juga dilumuri lumpur.

Semua ini pasti dilakukan oleh orang-orang desa.

Aku tidak peduli sehelai rambut pun kepada perselisihan antar manusia, tapi karena Tsukihiko terlibat, aku sangatlah merasa terganggu pada hal ini.

Aku akan melakukan hal yang sama kepada siapapun yang memperlakukannya seperti ini....
Tidak, aku tidak akan merasa puas kecuali mereka merasakan hal yang lebih buruk.

Aku langsung berdiri, tapi Tsukihiko yang sepertinya telah menebak isi pikiranku merentangkankan tangannya dan bergumam.

“Jangan.”

“Kenapa? Kau diperlakukan dengan sangat buruk, bukan? Kau tidak bisa komplain jika orang-orang di desa merasakan apa yang kau rasakan.”

“Tidak usah, tidak apa-apa kok. Karena itulah hari ini aku kembali lagi kesini.”

Tsukihiko masih tersenyum.

Walaupun aku telah berpikir untuk membalaskan dendamnya, saat aku dihentikan oleh Tsukihiko sendiri, hatiku entah mengapa menjadi sakit, dan merasa kalau apa yang akan kulakukan adalah sesuatu yang buruk.

“....Kenapa? Bukannya kau marah kepada mereka?”

“Hm? Yah, tentu saja aku merasa apa yang mereka lakukan bukanlah hal yang benar, tapi itulah sebabnya kenapa aku tidak ingin kau melakukan hal yang sama.”

Saat aku mendengar ini, aku tidak bisa menjawab apa-apa.

Aku tidak ingin disamakan dengan makhluk seperti mereka.

Tetapi saat aku memikirkan bagaimana Tsukihiko akan hidup bertahun-tahun dengan orang seperti mereka, aku merasa tidak nyaman.

....apakah dia benar-benar tidak apa-apa dengan ini?

Dikelilingi orang-orang yang membencimu, setiap harinya diperlakukan seperti makhluk rendahan, dan disakiti setiap kali mereka merasa ingin melakukannya.

“Jangan pernah kembali ke desa itu lagi.”

Ucapku tanpa keraguan.

Ya, tidak perlu lagi kembali. Dia cukup tinggal disini selamanya.

Jika dia melakukan itu, dia tidak akan diperlakukan seperti ini lagi.

Tetapi, tidak ada jawaban dari apa yang kukatakan tadi.

Saat aku mendongak, Tsukihiko mengepalkan tangannya dan berdiri di sana dengan wajah yang lembut.

Melihat ini membuatku mengingat kembali janji yang kubuat dengannya.

Saat aku mengatakan kepadanya. “Bangun sebuah rumah di sini” aku juga mengatakan. “Dan langsung setelah kau membangunnya, lenyaplah.

Dari awal, sudah ditentukan kalau hubungan kami hanyalah sampai rumah ini selesai.

Biarpun begitu, kenapa aku mengatakan itu?

Pasti itulah mengapa dia berwajah seperti itu sekarang. Selama tiga tahun ini, aku sangat mengerti, bahwa dia adalah manusia yang menepati janjinya, sampai terasa sangat menyakitkan.

“...Maaf, lupakan itu.”

Bersamaan aku mengatakan ini, aku merasakan airmata mulai kembali keluar dari mataku.

Kesepian.

Aku kesepian, karena itulah aku tidak bisa menahan airmata ini.

Aku tidak ingin kami berpisah.

Ahh, kenapa aku mengatakan hal seperti itu dulunya? Aku bodoh, benar-benar bodoh.

“....maafkan aku.”

Gumam Tsukihiko, seperti memaksakan kata-kata itu keluar.

Aku sudah tahu dari awal. Tidak ada yang aneh dari itu, sangatlah jelas, sudah menjadi ketentuan.

.....tetapi, aku merasa sangat malu telah berharap sesuatu dari itu.

Jadi sekarang aku akan menyuruhnya mempercepat pembangunan rumahku.

Dan lalu setelah dia menghilang, aku akan sendirian....

“Maukah kau jadi istriku?”

“Iya.”

Dia memelukku

Ini adalah pertama kalinya aku merasakan kehangatan orang lain-kehangatan Tsukihiko.

Mereka seperti menghilangkan semua kekhawatiranku, semuanya.

Sepertinya, airmata tidak hanya jatuh pada waktu kesakitan ataupun sedih.

Mereka juga jatuh pada saat seperti ini.

“Maafkan aku. Aku tidak menepati janjiku.”

Mendengar perkataan jujur dan terus-terang, aku bergumam seperti biasanya.

“Bodoh.”

Hari ke-1072

Pertengahan musim panas.

Pada cuaca yang membuatmu merasa malas.

Langit biru yang sejernih kristal, dan angin yang berhembus menghamburkan awan-awan putih.

“Akhirnya. Aku sudah mulai lelah menunggu.”

Saat aku mengatakan ini, Tsukihiko menggaruk kepalanya dan menjawab. “Ah, maaf yah.”

Rumahku yang akhirnya selesai, biarpun ada beberapa tempat yang bentuknya tidak pas, sudah agak membuatku puas.

Ini pasti bisa tahan cuaca yang tidak terlalu buruk.

Karena ini telah dibuat dengan bimbinganku. Jika ini sampai hancur, itu semua salah Tsukihiko.

“Ada banyak yang ingin kukomentari, tapi paling tidak aku memujimu telah menyelesaikan ini.”

“Ahaha. Terima kasih. Tapi kau tau? Rasanya aku menjadi terharumemikirkan kalau aku bisa membuat hal seperti ini….”

Mengatakan ini, Tsukihiko menatap tampilan luar rumahnya dan sepertinya terbenam di dalam perasaannya.

Ini adalah hasil pekerjaannya selama tiga tahun yang mengesankan. Dia benar-benar polos kalau dia bisa sesenang itu untuk hal seperti ini.

Tetapi, dari ukurannya yang cukup besar, ada sesuatu yang membuatku penasaran.

“....hei, Tsukihiko.”

“Hm? Ada apa?”

Tsukihiko berbalik ke diriku dengan riang.

“Rumah ini.....bukannya ini lebih besar daripada apa yang kuminta pada awalnya?”

Gemetaran, Tsukihiko memucat dengan senyum masih menghias wajahnya.

“U-ummm…maaf. Sebenarnya, aku mempunyai sedikit harapan saat membuatnya……” Kata Tsukihiko dengan tidak nyaman.

Dasar....jadi dari awal dia sudah mempunyai keinginan untuk tidak pergi?

Aku sebal kejadian-kejadian ini menjadi seperti apa yang dia inginkan,  tapi pada waktu yang sama aku juga merasa malu.

“....Aku tidak pernah bilang kalau aku menentangnya.”

Pada saat aku mengatakan ini, ekspresi Tsukihiko langsung menjadi cerah.

“Oh, syukurlah! Ahh, kupikir kau akan menyuruhku untuk membuat satu lagi.”

“Me-memangnya kau pikir aku ini apa!?.....Ayo kita masuk saja sekarang.”

Bersamaan aku meninggalkan Tsukihiko dan menuju pintu masuk, aku menyadari ada sebuah bunga yang mekar dibalik dinding terluar rumah, di dalam rumput yang dipotong dengan rapi.

Aku heran kenapa hanya bunga ini saja yang mekar, aku mendekati bunga itu, dan Tsukihiko langsung menjelaskan. “Ahh, bunga itu. Kupikir itu imut, jadi kutinggalkan itu disitu.”

Mengatakan kalau sebuah bunga itu imut, dia benar-benar orang yang manis.

Aku berharap dia bisa sedikit lebih jantan, tapi karena perilakunya yang seperti ini lebih cocok, aku tidak terlalu menentang itu.

Bunga pink gelap, biarpun hanya satu, ia mekar sempurna dengan indah.

“....Ini bunga jenis apa?”

Membungkuk untuk melihat bunga, Tsukihiko merundukkan dirinya disampingku.

“Ka-kau tidak tau? Jarang sekali kau tidak mengetahui sesuatu....”

“Ja-jangan mengatakan sesuatu yang tidak benar. Aku hanya tidak bisa mengingatnya sekarang... cepat katakan apa namanya!”

Tsukihiko dengan lembut menertawakan reaksiku dan dia dengan halus mengelus bunga itu sambil menjawab.

“Nama bunga ini adalah.....”

2 komentar: