Sword Art Online - Alicization (Side Story)
"Distant Journey"
(Part 1)
"Distant Journey"
(Part 1)
Pengarang : Reki Kawahara
Ilustrator : abec
Raw : Celest
Penerjemah Inggris : Gsimenas
Penerjemah Indonesia : Kaori Hikari
Sinopsis:
Untuk bertemu kembali dengan teman semasa kecilnya,
Alice, Eugeo yang ditemani oleh Kirito pergi dari Desa Rulid menuju Ibu Kota
Pusat Centoria. Bersamaan dengan mendekatnya tanggal ujian masuk Akademi Ilmu
Berpedang Kekaisaran, mereka sampai pada tempat bernama [Penginapan Bilzen].
Sudah beberapa tahun berlalu sejak penginapan itu
tutup usaha dan sampai sekarang belum ada pemilik baru yang mengurusnya.
Mendengar soal hal ini, Kirito membujuk Eugeo yang enggan untuk bermalam di
sana. Ketika Kirito terbangun dari tidurnya di malam hari, dia melihat anak
gadis dengan tubuh yang transparan--! “Kakak… tidak takut… denganku?”
Part 1
Tujuh ratus dan lima puluh kilometer
Itulah
jarak di antara Rulid, desa yang terletak di dasar Gunung Penghujung di tepi
utara Kekaisaran Utara Norlangarth, dan Ibu Kota Pusat Centoria yang terletak
di tengah Kekaisaran Manusia.
Saat
aku mendengar kami harus menempuh tujuh ratus dan lima puluh kilol, penyebutan
satuan km di Underworld, awalnya aku tidak terlalu bisa menangkap seberapa jauh
tujuan kami. Namun, ketika aku mengingat kembali peta Jepang dalam pikiranku
dan menghitung bahwa jaraknya akan setara dengan perjalanan dari Tokyo ke
Hokkaido jika berjalan lurus, akhirnya aku sadar, “Waduh, jauh sekali tempat
tujuan kami!”
Karena
kami akan menempuh jarak itu dengan berjalan, aku sudah mempersiapkan diri ini
akan menjadi perjalanan yang sangat panjang, tetapi bahkan diriku tidak bisa
membayangkan kami butuh setahun penuh untuk menyelesaikannya.
Memang
kami menghabiskan beberapa waktu untuk tinggal dan bekerja di peternakan dan
penjaga di kota besar, tetapi itu tidak mengubah kesanku bahwa perjalanan kami
lebih terasa seperti menjelajah ke sisi lain bumi daripada hanya ke Hokkaido…
“Ah,
Kirito, lihat ada batu tanda di sana!”
Mendengar
perkataan Eugeo yang berada di sisiku, aku menyimpan kembali peta Kekaisaran
Utara yang kubuka dalam benakku, dan berkedip. Sama seperti apa yang partnerku
baru serukan, ada batu lancip berwarna abu-abu yang tampak seperti tugu berdiri
di pinggir kanan jalan.
“Bukannya
kita sudah melihat sepuluhan batu tanda seperti ini…”
Saat
aku membalasnya dengan senyum masam, Eugeo mengecutkan bibirnya kesal.
“Ini
bukan sekedar batu tanda biasa, yang ini batu yang besar!”
“Dan
ini juga bukan pertama kalinya kita melihat yang seperti itu.”
“Dasar
Kirito, hal yang bisa menarik perhatianmu hanyalah buah yang kelihatan bisa
dimakan… Aku akan jalan duluan!”
Partnerku
langsung berlari setelah mengatakan hal itu, jadi aku mengejarnya sembari aku
meminta maaf kepadanya.
“Maaf,
maaf, lain kali kalau aku menemukan buah Siral, aku pasti akan menyisakan
beberapa untukmu…”
“Aku
bukan marah karena itu!”
Sambil
mengobrol berdua, kami berlari sekitaran lima puluh meter sebelum berhenti di
hadapan tugu yang setinggi kami.
Pilar
batu yang aku percaya secara resmi disebut [Tugu Penanda] atau [Milestone] di dunia nyata dan disebut
batu tanda di Kekaisaran Manusia diletakkan di samping jalan utama tepat setiap
sepuluh kilometer. Aku tidak tau bagaimana seseorang bisa menghitung jarak
setepat itu di dunia di mana tidak ada GPS maupun laser pengukur jarak, tetapi
setidaknya sudah jelas bahwa Gereja Axiom lah yang bertanggung jawab atas
pemasangan prasarana ini.
Lambang
gereja yang berbentuk bulatan di atas salib bersinar keemasan di atas tugu;
angka [50] tertera di bawahnya. Tentu itu menunjukkan jarak menuju Ibu Kota
Pusat Centoria- di mana itu mengartikan bahwa perjalanan kami akan selesai lima
puluh kilometer lagi.
Eugeo
yang tampaknya berpikiran sama sepertiku menyipitkan matanya sembari bergumam.
“Kita
tinggal berjalan lima puluh kilol lagi… Jadi kita hanya perlu tiga atau dua
hari untuk mencapai ibu kota pusat…”
Sejauh
ini kami berjalan sepanjang dua puluh sampai tiga puluh kilometer sehari, jadi
memang kurang lebih kami perlu dua hari untuk mencapainya. Tanpa sadar aku
menjuruskan pandanganku ke selatan, tetapi apa yang aku bisa lihat di hadapanku
hanyalah bukit-bukit yang landai dan langit yang luas.
Langit
yang barusan kusebutkan sudah setengah tewarnai dengan warna merah padam.
Kelihatannya dua jam lagi malam akan tiba.
“Hei,
Eugeo, seberapa kilol lagi sampai kota atau desa selanjutnya?”
Ketika
aku menanyakan hal tersebut, partnerku yang berambut kuning jerami mengalihkan
pandangannya dari batu tanda untuk menatapku, sebelum memberiku senyum lelah.
“Kamu
tau, Kirito, aku yakin aku sudah memberitaumu ini ketika kita sarapan di Desa
Calda. Kita tidak bisa mencapai kota Fouchelle sebelum hari berakhir, jadi
malam ini kita akan berkemah di luar.”
“E…
Eeeh!? Tunggu, kau ada mengatakan itu…?”
“Ada
kok! Kamu kelihatan masih setengah nyawa tadi pagi, jadi aku bahkan
mengulanginya dua kali…”
“Anu,
kemungkinan aku masih di alam mimpi saat aku makan pagi. Aneh… sejauh ini
selalu ada kota atau desa atau setidaknya penginapan yang bisa dicapai dalam
waktu sehari dengan berjalan.”
“Iya,
aku juga merasa itu aneh, jadi aku menanyakan soal itu kepada nyonya pemilik
penginapan [Nagabibachi] di mana kita bermalam kemarin…”
Setelah
mengatakan itu, Eugeo meletakkan tangannya ke dalam tas perkakas di pinggang
kanannya dan menyisingkan perkamen di dalamnya. Perkamen yang ujungnya usang,
tampak seperti Life-nya akan habis kapan saja, berisikan peta yang kami beli dengan harga yang mahal
sebelum kami pergi dari kota Zakkaria.
Perkamen
yang sangat panjang dan ramping ini mencatat tujuh ratus dan lima puluh
kilometer panjangnya Jalan Raya Nomain yang terbentang dari utara sampai
selatan Kekaisaran Utara Norlangarth, dan juga kota, desa, penginapan, dan batu
tanda di pinggir jalan secara rinci.
Eugeo
dengan hati-hati membuka peta usang itu sepanjang tiga puluh sentimeteran.
Ujung perkamen yang dia pegang dengan tangan kirinya menunjukkan setengah dari
bundaran Ibu Kota Pusat Centoria, dengan jalan rayanya memanjang menuju tangan
kanannya.
Sebelumnya
kami harus membentangkan lebih dari satu meter peta ini setiap kali kami ingin
tahu di mana kami berada; fakta bahwa kami hanya perlu tiga puluh sentimeter
untuk melihatnya sekarang adalah tanda lainnya bahwa akhir perjalanan kami
tidaklah begitu lama.
Biarpun
peta perkamen ini memiliki daya tarik tersendiri, aku berharap kami mempunyai
fitur jendela peta mengingat kami sudah memiliki jendela status… itulah yang
terbesit di pikiranku saat aku menunjukkan telunjukku ke area di sekitar tengah-tengah
peta.
“Hmm,
jadi ini Desa Calda yang semalam kita tinggali… dan ini kota selanjutnya
Fouchelle…?”
Saat
jariku bergerak menuju arah Centoria, aku menghentikannya di tengah jalan.
“Huh,
ada simbol kecil di sini. Bukannya ini… penginapan? Kita sekarang di sini… di batu tanda lima puluh kilol, jadi kita
hanya berjarak tiga kilol dari penginapan ini.”
“Memang
benar, tetapi…”
Eugeo
mengangguk disertai mengangkat bahunya.
“Menurut
nyonya pemilik Penginapan Nagabibachi, [Penginapan Bilzen] yang tercatat di peta
ini sudah tutup tiga tahun lalu. Makanya petualang dan pedagang yang melewati
daerah ini biasanya menyewa kuda, berkemah di tengah jalan, berangkat ketika
pagi masih gelap dan memaksakan diri mereka agar sampai ke penginapan
selanjutnya dengan berjalan kaki, atau…”
Melihat
bagaimana dia mendadak menghentikan ucapannya, aku mengintip wajah partnerku.
Namun, Eugeo menggeleng kecil sebelum melanjutkan.
“Lupakan,
pilihan keempat tidak akan kita lakukan. Yah jadi, kamu harus memilih di antara
langkah-langkah yang barusan disebut kalau kamu ingin ke perhentian
selanjutnya, katanya.”
"Hmmm……"
Aku
berkeluh saat aku melihat Eugeo menggulung kembali petanya.
“Uang
untuk biaya perjalanan kita mulai menipis, jadi menyewa kuda sudah jelas tidak
mungkin. Kalau begitu, seharusnya kita bangun dan berangkat lebih a…”
Pada
saat itu, aku menyadari tatapan tajam partnerku. Kalau dipikir-pikir, dalam
setahun kami bersama sudah banyak kejadian di mana aku bangun telat dan
memerlukan Eugeo untuk membangkitkanku dari tidur nyenyakku, tetapi aku tidak
bisa mengingat kapan hal yang serupa juga terjadi kepadanya.
“Oh,
tapi sesekali berkemah juga seru kan, hahaha.”
Ketika
aku berusaha mengalihkan pembicaraannya dengan tertawa, Eugeo menghela nafas
sebelum bibirnya tersenyum lelah, bagaikan dia berpikir, ‘Dasar kamu itu.’
“Belakangan
ini cuacanya tidak terlalu dingin lagi. Biar begitu kita hanya memiliki satu
selimut, jadi kita harus berbagi.”
“Tentu,
tak masalah. Baiklah, sekarang ayo kita lanjutkan perjalanan kita sebelum malam
tiba.”
“Iya,
dan kumpulkan ranting-ranting kayu yang bisa kita gunakan untuk menyalakan api
selagi kita berjalan.”
Setelah
kami berdua mengangguk, kami melangkah pergi dari tugu dan kembali berjalan
melalui jalan raya.
Karena
Underworld dibentuk melalui [Mnemonic
Visual], kesadaran realita di sini sebanding dengan dunia nyata, walau
keindahan langit di sini mungkin sudah melampaui yang aslinya… atau begitulah
yang terpikir di benakku. Biarpun sudah setahun sejak aku terbangun di dunia ini,
pemandangan matahari terbenam di hari yang cerah masih bisa membuatku takjub
sampai hari ini.
Mengagumi
langit yang bergradasi warna dari warna biru bunga Rodgersia ke ungu terang
kemudian merah padam, sebelum akhirnya menjadi warna emas bunga Kerria yang
transparan… dan mendengar keluhan, “Berhenti terus-terusan memandang langit dan
kumpulkan kayu bakar,” dari Eugeo, aku sudah berjalan kira-kira sejam sejak itu terjadi.
Saat
angin sepoi-sepoi membelai pipiku, aku mengarahkan pandanganku ke sisi kiri
jalan raya tanpa pikir panjang. Setelah itu, kakiku mendadak berhenti.
Partnerku berjalan dua langkah sebelum berbalik dengan penuh tanya, dan aku
mengangkat tangan kananku tanpa suara dan menunjuk ke hal yang menarik
perhatianku.
Sekitaran
dua puluh meter dari jalan raya, ada dua pohon berdaun lebar berjajar bagaikan
sebuah gerbang, di belakangnya aku bisa melihat atap segitiga berwarna
kemerahan.
"Ah……"
Menggumamkan
itu, Eugeo melanjutkan ucapannya dengan wajah agak muram.
“…Mungkin
itu penginapan yang tadi kubilang sudah tutup. Jadi bangunannya masih berdiri…”
“Penginapan
Bilzen, bukan? Oh iya, dari awal kenapa penginapan ini tutup?”
“Kutak
tau… Bahkan nyonya itu tidak memberitauku banyak hal. Mungkin pemiliknya
meninggal karena sakit atau cedera, meninggalkan penginapan itu tanpa penerus,
atau semacamnya…”
"Hmm……"
Di
dunia nyata, setiap kali sebuah penginapan- maksudku hotel atau ryokan tutup,
biasanya itu karena menurunnya jumlah pengunjung yang menginap di sana, tetapi
hal seperti ini mustahil terjadi di Underworld, di mana pekerjaan penduduknya,
yaitu [Panggilan] mereka telah
diregulasikan dengan ketar oleh Gereja Axiom, secara praktis meredam kompetisi
antar usaha.
Sebenarnya,
Penginapan Bilzen adalah penginapan satu-satunya di daerah ini, jadi biarpun
orang Underworld tidak diperbolehkan mengabaikan Panggilan mereka menurut
Indeks Tabu, tidak mungkin penurunan kualitas pelayanan akan mengurangi
pengunjung mereka.
Pada
akhirnya, selain karena ketidak-adaannya penerus seperti apa kata Eugeo, aku
tidak bisa memikirkan alasan lain mengapa penginapan ini tutup. Bahkan di
Jepang di dunia nyata, hal seperti itu akan jadi perbincangan di kota. Aku tak
menduga hal seperti itu bisa terjadi di sini.
“…Biarpun
kasihan, tidak ada yang bisa kita lakukan. Sekarang, ayo kita berjalan lebih
jauh untuk mencari tempat di mana kita bisa berkemah.”
Bersamaan
dengan Eugeo menggelengkan kepalanya dan baru ingin mulai berjalan, aku menarik
rambut di belakang lehernya.
“Aduh…
ada apa sih, Kirito?”
“Kau
tau, aku barusan terpikir ide yang brilian.”
Tepat
pada detik itu, ekspresi skeptis muncul di wajah partnerku.
“Itulah
yang Kirito selalu katakan sebelum kenyataan berkata kebalikannya.”
“Kali
ini tidak apa. Kau lebih memilih tidur di bawah atap daripada tidur di luar,
bukan?”
“Di
mana kita bisa menemukan atap…”
Setelah
berdiri terperangah sejenak, Eugeo kembali memandang sisi timur jalan, kemudian
berpaling ke arahku.
“Uwa,
Kirito tidak bermaksud ingin kita menginap di bangunan itu, bukan?”
“Apalagi
yang bisa kumaksud selain itu. Kalau ditutupnya tiga tahun yang lalu, mungkin
masih ada ranjang yang belum hancur.”
“Dasar
kamu…”
Meski
dia sengaja menghela nafas, Eugeo tidak memberikan sangkalan lainnya. Berkat
perjalanan berkantong tipis kami yang berlangsung setahun penuh, pola pikir
kami berdua sudah terbiasa dengan satu sama lain… pikirku. Menepuk pundak
partnerku dengan kencang, aku menunjukkan senyum lebar.
“Baiklah,
karena ini sudah beres ayo kita segera bergegas ke sana.”
“Iya,
iya. Kamu juga tidak akan mendengarkanku sekali kamu sudah memutuskan sesuatu,
dasar…”
Eugeo
mulai berjalan walau terus menggerutu, cahaya senja yang larut sejenak bersinar
dirambut bergelombangnya sebelum menghilang.
Setelah
berjalan melalui jalan raya, kami menemukan sebuah jalan kecil di sisi kiri kami
dengan palang baja di sudutnya. Kemungkinan karena tidak diurus selama
bertahun-tahun permukaannya karatan, tetapi saat aku memeriksanya lebih dekat
aku bisa membaca tulisan [Penginapan Blizen – Mulai dari Seratus Shears per
Malam]
Jalan
sempit itu sudah tertutupi oleh rerumputan yang rindang, dan biarpun jika
dibiarkan tumbuh rerumputan ini bisa menutupi seluruh jalannya, untuk sekarang
lebatnya tidak cukup untuk menghalangi jalan masuk ke bangunan tersebut.
Setelah
kami melewati pohon berdaun lebar yang menjadi gerbangnya dan menelusuri lebih
jauh ke dalam, kami akhirnya menemukan bangunan beratap merah di depan kami.
Bangunan megah bertingkat dua dengan atap pelana yang curam dan dinding bercat,
yang mana bisa disebut gaya arsitektur Tudor kalau kita berada di dunia nyata,
terkesan sudah kehilangan begitu banyak Life-nya sekarang, sama seperti palang
besi yang berada di jalan kecil di depan.
Dindingnya
agak kotor dan catnya sudah mengelupas di mana-mana, selain itu tanaman rambat tumbuh tinggi di
sisi-sisi dindingnya. Atapnya yang merahpun sudah jelas peot dan separuh bagian
atas cerobong asap sudah runtuh.
Setelah
tatap-tatapan dengan Eugeo, aku menghampiri bangunan tersebut dan menulis
simbol [S] dengan telunjuk tanganku, kemudian aku mengetuk dindingnya. Melihat
[Jendela Stacia] yang muncul di saat itu, aku mendapat informasi bahwa bangunan
ini hanya memiliki Life dua puluh persen dari maksimumnya.
Sama
seperti di dunia nyata, jika kau tidak melakukan perbaikan berkala pada
bangunan di Underworld, perlahan bangunan itu akan rusak, dan akhirnya Life
bangunan tersebut akan terus berkurang dan runtuh dalam beberapa tahun jika
dibiarkan begitu saja.
“…Yah,
biar begitu kelihatannya tempat ini masih bisa ditinggali.”
Baru
saja aku memindahkan kayu-kayu bakar yang dirangkul tangan kiriku dan ingin
berjalan menuju ke pintu masuknya, Eugeo menarik lengan bajuku.
“Tunggu
dulu, biarpun sudah tidak beroperasi selama tiga tahun, bangunan ini dulunya
sebuah penginapan. Kalau kamu masuk begitu saja, bukannya itu akan melanggar
klausa tabu [Engkau tidak diperbolehkan memasuki bangunan yang dimiliki orang
lain tanpa alasan tertentu]?”
Sudah
menebak Eugeo akan mengatakan itu, aku menunjuk ke Jendela Stacia yang masih
terbuka.
Di
sebelah kiri dari objek ID yang berada di ujung atas kiri jendela ungu itu,
akan ada simbol [P] jika objek tersebut dimiliki oleh orang yang membuka
jendela ini, dan simbol [O], sejarang-jarangnya itu terjadi, jika jendela itu
terbuka untuk objek yang dimiliki oleh orang lain. Namun, jendela untuk penginapan
ini tidak ada simbol apapun.
“Huh,
jadi bangunan ini… tidak mempunyai pemilik? Kenapa bisa begitu…”
“Kenapa
katamu… bukannya Eugeo sendiri sudah bilang. Kalau pemilik penginapan ini sudah
meninggal dan tidak memiliki penerus, hak kepemilikan bangunan ini akan di-reset…. Maksudku tidak mengejutkan kalau
izinnya dicabut, bukan? Dari awal, kenapa kau pikir bangunan terlantar seperti
ini ada pemiliknya?”
Mendengar
pertanyaanku, ekspresi yang cukup rumit muncul di wajah Eugeo.
“Hmm,
secara teori apa yang Kirito katakan benar… tetapi dalam kasus kepemilikan
bangunan, tidak sesederhana itu. Biarpun hanya perlu tiga hari untuk hak
kepemilikan objek dilepas setelah benda tersebut meninggalkan tanganmu,
bangunan tetap di darat memerlukan tiga bulanan untuk hak kepemilikan mereka
tidak lagi berlaku.”
“Heeh…
-Hmm? Tunggu, bukannya hak kepemilikan berpindah setelah dua puluh empat jam?”
“Itu
jika seseorang memberikan suatu benda ke orang lain. Hak kepemilikan objek yang
ditinggalkan di luar rumah siapapun masih bisa bertahan selama tiga hari,
sedangkan untuk bangunan periode ini diperpanjang selama tiga bulan.”
“Hmmh…
Artinya, setiap kali pemiliknya pergi dari rumah lebih dari tiga bulan, hak
kepemilikan bangunan mereka akan dicabut. Kalau begitu kau tidak bisa begitu
saja jalan-jalan keliling dunia tanpa peduli apapun, ya.”
Eugeo
tertawa terbahak-bahak saat mendengar komentarku.
“Ahaha,
bahkan kaisar Norlangarth sendiri tidak bisa semena-mena pergi menjelajahi
Kekaisaran Manusia. Seperti biasa, lelucon-lelucon yang Kirito katakan tidak
masuk akal.”
“B-Begitu
ya. Jadi… pada akhirnya, apa yang membuatmu berpikir bangunan ini ada
pemiliknya?”
“Oh,
soal itu.”
Setelah
menahan tawanya, Eugeo menatap ke arah penginapan yang sudah cukup lapuk.
“…Seperti
yang aku katakan sebelumnya, hak kepemilikan bangunan terjaga lebih lama
daripada untuk benda… Tapi tidak sesulit itu untuk menjaga kepemilikan bangunan
yang tidak kamu tinggali. Soalnya kamu hanya perlu mengunjunginya sekali dalam
tiga bulan dan hak kepemilikanmu tidak akan dicabut.”
"Hmmhmm."
“Jadi
ada yang menggunakan peraturan ini untuk mengambil alih kepemilikan bangunan
yang kosong. Bahkan dulu di Desa Rulid, Balbossa-san membuat kekacauan setelah
mengambil alih gudang perkakas milik Ridack-san yang tidak sengaja kehilangan
hak kepemilikannya.”
“Heeeh…”
Ridack
dan Balbossa adalah nama keluarga petani besar yang bertanding dengan satu sama
lain untuk posisi pertama dan kedua di Rulid. Aku hanya mengenal mereka dari
nama saja, yang mana aku tidak sengaja dengar sebelum kami berangkat pergi dari
desa. Namun, mendengar cerita ini sekarang aku lega aku tidak berurusan dengan
mereka.
“…Itu
berarti biasanya akan ada seseorang yang sudah mendapat hak kepemilikan
bangunan ini sekarang… apa itu yang Eugeo pikir akan terjadi?”
“Iya.
Walau jika almarhum pemilik tidak memiliki pewaris, bukan berarti dia sama
sekali tidak memiliki saudara, dan harusnya tempat ini juga memiliki beberapa
pekerja. Bangunan ini sepaket dengan lahan di sekitarnya, jadi tidak ada
kerugian apapun jika kamu ingin memilikinya.”
“Begitu
toh…”
Di
dunia nyata, di Jepang, kau harus mengurus biaya pemeliharaan dan pajak
properti, jadi tidak terlalu banyak orang yang ingin mempunyai properti kosong
tanpa ingin menjualnya. Biarpun kau perlu mengunjungi tempat ini setiap tiga
bulan sekali untuk refresh hak
kepemilikanmu, kalau kau tinggal di kota dekat sini itu tidak terlalu
merepotkan.
Akhirnya,
bahkan diriku paham setidak lazim apa bangunan yang ditinggalkan begitu saja,
tetapi hal itu tidak menjadi sebuah masalah untuk kami sekarang. Sebaliknya,
aku bisa bilang itu adalah hal menguntungkan untuk kami.
“Yah,
alasan apapun itu sudah jelas bangunan ini tidak ada pemiliknya. Kalau begitu
kita tidak akan melanggar Indeks Tabu kalau kita tinggal sebentar di sini,
kan?”
“Kamu
benar juga sih…”
Mengangguk
dengan tampang yang sudah menyerah, Eugeo menatapku dengan mengadah sebelum
lanjut berkata.
“Tapi
kalau begitu Kirito duluan yang masuk.”
“Huh?
Kenapa?”
“Seandai-andainya
kita tinggal di bangunan ini lebih dari dua puluh empat jam, siapapun yang
pertama menginjakkan kakinya ke dalam akan tercatat namanya di Jendela Stacia.
Dan aku tidak ada niat untuk terlibat dalam masalah aneh apapun.”
“Aku
juga ingin menghindari hal seperti itu… Ayo kita berangkat pagi-pagi esok.”
“Sahut
orang yang nantinya akan ketiduran lagi.”
Menyapu
bersih pernyataan persuasif partnerku dengan tawa, aku berjalan menuju pintu
masuk penginapan itu.
Walau
pintu depan raksasanya menderit dengan keras, kami masih bisa memasukinya tanpa
masalah. Tentu, tidak ada lampu yang menyala, tetapi cahaya dari matahari yang
hampir terbenam menembus jendela yang kotor, cukup menerangi interior bangunan
ini. Di dalam lobi yang luas, ada konter di depan dengan tangga menuju lantai
dua di samping kanannya, dan pintu besar di kirinya.
“H…
Halo~?”
Aku
memberi salam kalau-kalau ada seseorang di sini, tetapi tidak ada yang
menjawab. “Ayo, cepatlah masuk,” kata Eugeo yang menyikut punggungku dari
belakang, dan akupun melangkah ke dalam dengan ragu-ragu setelah memindahkan
posisi kayu-kayu bakarku.
Kondisi
interior bangunan ini lebih baik daripada yang aku kira, tampaknya lantai papan
kayu tidak akan runtuh begitu saja, biarpun ada debu putih yang terkumpulkan
selama tiga tahun di konter, dan jaring laba-laba yang bergelantungan di
langit-langit.
Andai
ini game RPG biasanya tempat ini pasti dihantui monster-monster tipe astral,
tetapi hal seperti itu tidak ada di Kekaisaran Manusia… atau setidaknya kuharap
begitu. Jika benar ada hantu keluar dari sini, Objek Agung [Pedang Mawar Biru]
yang tergantung di pinggang kiri Eugeo harusnya akan efektif melawan undead, berdasarkan dari warna dan
desainnya… itulah yang aku pikirkan.
Eugeo
yang baru saja kusebut akhirnya memasuki lobi sebelum mengeluarkan teriakan
jijik.
“Uwaah,
debu di mana-mana… Kirito, apa kamu sungguh ingin menginap di sini?”
Mendengar
itu, aku ingin sekali menjawab, “Kau tau, lebih baik kita berkemah di luar,”
tetapi aku menahannya. Karena aku yang terlebih dahulu menyarankan ini, aku
tidak bisa mundur secepat itu sekarang.
“T-Tentu
dong, ehmm… Jadi, pintu yang ada di kanan mengarah ke kamar penginapan,
sedangkan pintu yang di kiri mengarah ke kafetaria dan ruang tamu. Ayo kita ke
kafetaria dulu.”
“Supaya
kamu tau saja, aku yakin tidak ada makanan yang tersisa di sana.”
“Tidak
juga kok, jujur aku merasa kita mungkin bisa menemukan satu atau dua botol
makanan tergeletak di sana.”
“Andai
ini di game RPG sih,” adalah hal yang bisa kuucapkan, kemudian aku melewati
lobi menuju ke pintu sebelah kiri. Mencengkram knop pintu yang karatan,
pelan-pelan kutarik pintunya terbuka, dan cahaya matahari senja dari jendela
rusak di hadapanku menyinari mataku. Setelah berkedip beberapa kali, aku
memeriksa ruangan tersebut.
Kafetarinya
sebesar restoran kecil. Ada enam meja untuk empat orang dan beberapa kursi
konter di dinding timur. Di balik konter ada pintu masuk melengkung yang
kemungkinan mengarah ke dapur. Aku bisa melihat tungku perapian besar di ujung
utara dinding dengan sofa yang lebar di hadapannya.
“…Tidak
ada yang dirampok, huh…”
Ketika
aku menggumamkan hal ini, Eugeo menatapku ganjil.
“Dirampok
oleh apa, hewan? Aku rasa tidak ada binatang buas di sekitar sini yang
mempunyai kemampuan memasuki bangunan.”
“K-Kau
benar. Kalau dilihat dari kondisinya, mungkin masih ada makanan yang tersisa?”
Aku
kembali disadarkan fakta bahwa di Kekaisaran Manusia tidak ada maling maupun
perampok. Aku meletakkan tas di punggungku dan kayu-kayu bakarku di meja
terdekat, sebelum mengitari konternya untuk ke dapur. Aku mencoba melihat ke
dalam, tetapi penerangannya cukup redup karena cahaya matahari tidak mencapai
tempat ini.
"System
call. Generate luminous element." [1]
Setelah
merapalkan ritual Sacred Art, aku membuat satu elemen cahaya dan
mengambangkannya ke udara. Disinari oleh cahaya pudar, kitchen ini terlihat cukup rapi, membuatku berpikir ada alasan tak
terduga yang membuat penginapan ini tutup. Mungkin ada pelanggan yang kabur di
larut malam atau ada wabah penyakit. Apapun itu, kosongnya bangunan ini
membantu kami.
“Kelihatannya
kita masih bisa menggunakan panci dan tungkunya, tapi… sudah kuduga, tidak ada
makanan yang tertinggal.
Sesudah
memeriksa rak di dekat dinding, Eugeo mengangkat bahunya.
“Kalau
dipikir-pikir, itu sudah bisa ditebak. Ditinggalkan begitu saja di rumah tak
bertuan selama tiga tahun lamanya, bahkan botol yang ditutup rapat dengan getah
tidak akan bisa mempertahankan Life mereka.”
“Atau
makanannya sudah dibereskan sebelum seseorang meninggalkan tempat ini. Yah, mau
bagaimana lagi, sepertinya menu malam ini adalah daging dan buah kering lagi,
Eugeo-kun.”
“Kapan
aku pernah mengeluh soal makan daging kering!”
Bersamaan
partnerku protes dengan menggembungkan pipinya, aku mendorongnya untuk kembali
ke kafetaria. Kembali ke meja tempat aku meletakkan barang-barangku, kami
berdua duduk dengan berhati-hati setelah Eugeo meletakkan pedang panjang yang
tergantung di pinggang kirinya.
Kursi
ini seharusnya sudah kehilangan banyak Life-nya, tetapi mungkin karena asalnya
dibuat dengan baik, kursi ini masih bisa menerima bebanku dengan deritan kecil.
Berbaring di sandarannya, aku menghembuskan nafas panjang.
Langit
yang bisa terlihat dari jendela di arah barat masih berwarna merah, tetapi
beberapa menit lagi Solus akan terbenam ke balik hutan. Setelah sejenak
memandang matahari yang terbenam dari balik jendela yang kotor, Eugeo berbalik
ke arahku sambil tersenyum.
“Sekarang,
ayo kita mulai memasak. Aku akan mengambil air dari sumur di luar, jadi tugas
Kirito adalah menyalakan api di tungku.”
Kembali
ke dalam kitchen, aku menjejal sepertigaan
kayu bakar yang aku kumpulkan di perjalanan ke dalam tungku bata bata. Untuk
menyalakan api di dunia nyata, kau akan memerlukan lighter atau korek api, tetapi kau bisa menggunakan cara yang bisa
dibilang lebih malas di sini.
"System
call. Generate thermal element."[2]
Memunculkan
dua elemen panas sekarang, aku menggerakkannya ke dalam tungku.
“Burst element”[3]
adalah apa yang ingin kukatakan selanjutnya, tetapi menggunakan ritual tersebut
akan mengakibatkan ledakan kecil, jadi aku dengan sabar menyelimuti kayu-kayu
bakar ini dengan elemen panas.
Akhirnya,
kayu-kayu kering itu menyala dengan gemericik api. Jika sudah sampai sini,
elemen panas yang kumunculkan akan lenyap dengan sendirinya walau aku
tinggalkan, jadi aku berhenti fokus kepada mereka dan berdiri. Kemudian aku
mengambil panci berjelaga dari rak di dinding dan melihat ke dalamnya. Biarpun
aku tidak bisa menyebutnya bersih mencilang, panci ini tidak terlalu berdebu.
Mungkin itu karena panci ini disimpan di dalam lemari.
Saat
aku mengelap bagian dalam pancinya dengan selembar kain yang ada di kantongku,
Eugeo kembali sambil berlari kecil. Sebuah kantong air berbahan kulit
tergantung di tangan kanannya dan karung goni di kirinya.
“Kerja
bagus, apa kau bisa mendapatkan air?”
“Iya,
walau aku cukup kesulitan karena embernya rusak.”
Mengatakan
itu, dia mengangkat kantong yang dipenuhi air. Setelah dia mengisi setengah
panciku dengan air dan meletakkannya di tungku perapian, dia mengeluarkan empat
potong daging kering yang ramping dan panjang dari karung goninya dan memasukkannya
ke dalam panci.
Ada
berbagai macam jenis daging kering yang dijual di toko bahan pangan pada
Kekaisaran Manusia. Walau daging yang berkualitas tinggi cukup lembut, mirip
dengan beef jerky dari dunia nyata,
apa yang bisa kami beli hanyalah daging keras yang murah.
Bagus
sih Life-nya bertahan lama, tetapi mengunyah mereka tanpa memasaknya sangat
sulit. Makanya kalau kami bisa mendapat cukup banyak air, kami akan memasak
daging itu menjadi sup agar lebih mudah memakannya.
Saat
akhirnya airnya mendidih, Eugeo memasukkan sepercik garam dan beberapa rempah
kering ke dalam panci. Bersamaan dia mengaduk isi pancinya dengan sendok kayu
yang kami temukan di dapur, aroma yang mirip lada dan kemangi yang
membangkitkan nafsu makan melayang di udara.
“Kau
sudah melampauiku dalam memasak.”
Ketika
aku mengungkapkan sentimenku sambil menatap ke dalam panci, Eugeo memberiku
senyum masam.
“Aku
hanya merebus dan menambahkan bumbu ke daging kering. Kalau aku menyebut ini
[memasak], aku hanya akan ditertawakan oleh Alice.”
Tepat
setelah dia mengatakan nama teman masa kecilnya yang pandai memasak, wajah
partnerku berubah menjadi sendu. Aku menepuk pundak kirinya setelah aku
terhenti sejenak karena ragu.
Setahun
yang lalu, aku dan Eugeo berangkat dari Desa Rulid bersama untuk bersekolah di
[Akademi Ilmu Berpedang Kekaisaran] yang berada di Ibu Kota Pusat Centoria.
Namun, tujuan akhir kami berbeda.
Aku
berniat untuk mencapai markas utama Gereja Axiom, menara tinggi di
tengah-tengah Centoria- yaitu, di tengah Underworld, untuk mencari cara
menghubungi dunia nyata. Sedangkan tujuan Eugeo adalah menyelamatkan teman masa
kecilnya Alice, gadis yang ditangkap oleh salah satu Ksatria Integritas Gereja
Axiom tujuh tahun yang lalu.
Jauh
dalam benaknya, Eugeo pasti ingin bergegas berlari melalui jalan raya pagi dan
malam tanpa istirahat agar bisa mencapai ibu kota pusat sesegera mungkin.
Dorongan itu bisa dia jaga dengan akal sehatnya yang memberitaunya dia tidak
bisa bertemu Alice secepat itu walau dia melakukannya.
“…Alice
tidak akan mentertawakanmu. Setelah kau menyelamatkannya dari Gereja Axiom,
berikan dia sup daging kering spesialmu. Aku yakin dia akan menyukainya.”
Ketika
aku mengutarakan itu sambil mencengram bahunya, Eugeo berbalik ke arahku dan
tersenyum kecil.
“Menurutmu
begitu ya…. –Yah, aku yakin masakanku lebih baik daripada campuran amburadul
yang Kirito biasa buat.”
“Dasar
kau ini!”
Setelah
menyikut ringan pundak kirinya, aku kembali ke rak di belakangku. Di antara
beberapa peralatan makan yang tertinggal di sana, aku menemukan mangkuk yang
masih bagus yang kemudian aku membawanya ke Eugeo.
Memang
kami mempunyai cangkir kaleng di tas kami, tetapi makanan kami pasti akan
terasa lebih enak kalau dimakan di mangkuk keramik daripada cangkir tua kami
yang sudah usang karena terus dipakai dalam setahun.
Dengan
Eugeo membawa panci dan aku membawa mangkuk, kami kembali ke kafetaria dan
memulai makan malam kami yang sederhana. Biarpun menu makanan kami hanyalah
buah kering dan sup daging kering, fakta kami bisa makan-makanan yang panas
setelah terus-terusan berkemah membuat makan malam ini terasa seperti
perjamuan.
Setelah
mengobrol ini dan itu sembari kami melahap makanan kami dan lalu berdoa kepada
Dewi Terraria atas berkahnya, kami menggunakan air yang tersisa untuk mencuci
panci dan peralatan makan kami dan mengembalikannya ke dalam rak di dapur.
Kami
masih memiliki beberapa kayu bakar, jadi aku menyalakan api di perapian pada
kafetaria. Aku duduk pada sofa di hadapannya dan meregangkan tubuhku.
“Mmmh…
Eugeo, apa kita sudah kehabisan daun teh cofeel?”
“Kita
sudah lama kehabisan stoknya. Dan ini ketiga kalinya kamu menanyakan itu
kepadaku.”
“Andai
aku terus-menerus menanyakannya, mungkin dewa teh akan mengasihaniku dan
memberikan kita daun teh.”
Partnerku
menghembuskan nafas panjang saat mendengar pernyataanku.
“Belakangan
ini akhirnya aku bisa membedakan kapan kamu serius dan kapan kamu becanda,
Kirito.”
“Ho-hoh.
Omong-omong, tadi aku serius loh.”
“Supaya
kamu tau saja, dewa teh itu tidak ada.”
Saat
helaan nafasnya berubah menjadi menguap, Eugeo meregangkan tubuhnya di sofa.
Dia berkedip beberapa kali bersamaan dia memandang api yang berkobar di
perapian, sampai akhirnya kelopak matanya tertutup dengan rapat.
Karena
rencananya tadi kami akan tidur di ranjang kamar tamu, aku baru ingin
mengulurkan tangan kiriku untuk membangunkan partnerku, tetapi aku mengurungkan
niatku. Seperti furnitur lainnya yang berada di sini, biarpun sudah tua sofa
ini berkualitas tinggi, jadi harusnya kenyamanannya tidak lebih rendah daripada
kasur.
Berhati-hati
agar tidak membangunkan Eugeo yang terlelap, aku pelan-pelan berdiri dan pergi
mengambil selimut dari tas kami. Setelah menyelimuti Eugeo dari satu sisi, aku
menyelimuti diriku sendiri dengan sisi lainnya di sofa.
Selimut
yang ditenun dari benang wol yang tebal ini diberikan kepada kami sebagai
hadiah perpisahan oleh kepala pemilik Peternakan Walde dan istrinya ketika kami
pergi dari kota Zakkaria. Di antara barang-barang yang kami miliki, selimut ini
paling berharga- tentu, itu tidak menghitung Pedang Mawar Biru milik Eugeo dan
ranting Gigas Cedar-ku. Jika bukan karena selimut ini, kami pasti akan sering
terkena demam dalam perjalanan kami.
Aku
menggeliat-geliut di sofa sampai aku
menemukan posisi yang nyam, sebelum akhirnya aku menghela nafas. Padahal belum
sampai jam delapan malam, tetapi mungkin karena berjalan dengan kaki bisa
dibilang melelahkan, aku langsung ngantuk setelah makan malam. Padahal tubuhku
di dunia nyata pasti tidak ada bergerak sama sekali di saat itu.
“…Selamat
tidur.”
Berbisik
kepada partnerku yang tertidur nyenyak, akupun menutup kelopak mataku.
.
.
.
Mendadak,
aku merasakan seseorang menarik jambulku.
Aku
sayup-sayup membuka mata kananmu. Kayu bakar di perapian sudah padam, tetapi
berkat cahaya bulan yang bersinar melalui jendela tempat ini tidak sepenuhnya
gelap. Menolehkan kepalaku ke sisi kiri sofa, aku melihat Eugeo yang meringkuk,
tertidur dengan lelapnya. Tidak ada tanda-tanda ada orang lain selain itu.
Walau
sudah setahun sejak aku terjebak di dalam Underworld, aku masih saja kebiasaan
mengecek jam berapa ini dengan memandang ujung kiri atasku, tempat aku biasa
meletakkan jam, atau mencari-cari handphoneku setiap kali aku terbangun seperti
ini.
Namun,
selain Jendela Stacia, tidak ada antarmuka pengguna lainnya di sini. Tidak ada
jam alaram apalagi telepon. Satu-satunya cara untuk mengetahui waktu di sini
ini adalah dengan mendengar lonceng gereja di kota yang berbunyi setiap sejam
dan setengah jam sekali.
Meski
begitu, diriku yang sudah tinggal di sini setahunan sudah belajar mengira-ngira
jam berapa ini melalui arah cahaya rembulan dan seberapa gelapnya sekitarku.
Memperkirakan ini sekitaran tengah malam, aku baru ingin kembali hanyut ke
dalam mimpiku saat…
Jambulku
kembali terasa seperti ada yang menarik-nariknya, membuatku mengerutkan
keningku. Entah bagaimana aku bisa mengangkat kelopak mataku yang berat, aku
kembali memeriksa sekelilingku. Kafetaria yang terselimuti kegelapan berwarna
biru cefat terlihat agak menyeramkan, tetapi tidak ada yang aneh dari itu.
Di
Kekaisaran Manusia tidak ada rampok maupun monster mengerikan yang akan muncul
mendadak. Jadi jika ada yang menyelinap ke sini, paling-paling hanyalah
binatang, tetapi hewan liar tidak akan menarik-narik rambut orang yang tertidur
seperti itu.
“Apaan
sih, ugh…”
Sadar
bahwa aku kehausan saat menggumamkan ini, diam-diam aku turun ke lantai.
Berhati-hati agar tidak membangunkan Eugeo, aku berjingkat-jingkat menuju tempat
di mana kami meletakkan kantong air kami. Saat aku baru saja akan meraihnya,
aku tiba-tiba menyadari sesuatu.
Harusnya
cahaya rembulan bersinar dari jendela selatan, yaitu yang ada tepat di hadapanku.
Namun, aku ada cahaya yang redup bersinar dari sisi kiri pandanganku.
Cahaya
putih kebiruan yang bersinar di luar pintu masuk di samping konter, dari ujung kitchen. Menyebutnya berkilauan… terlalu
berlebihan. Sinar pendar yang lemah, tampak lebih pudar daripada satu buah
elemen cahaya.
-Apa
ada lumut bercahaya yang tumbuh di dinding atau sejenisnya? Walau aku belum
pernah melihat hal seperti itu di Underworld sebelumnya.
Berpikiran
seperti itu, aku memasuki kitchen
dengan rasa takut. Merapatkan punggungku kepada dinding di sebelah lengkungan
pintu masuk, aku mengintip ke dalam. Aku tidak bisa menelaah apa yang bersinar
di sana. Menyentuh pinggulku dengan tangan kiriku, aku teringat bahwa kami
meletakkan pedangnya di atas meja. “Ah, tak apalah,” kataku dan aku lanjut
masuk ke dapur.
Berbaris
di dinding kiri kitchen ada perapian,
meja masak, wastafel, dan kendi air. Rak yang menjangkau sampai langit-langit
ditempatkan di dinding kiri. Cahaya pendar berwarna putih kebiruan kelihatannya
muncul dari ruang di antara dinding dan kendi air. Setelah perlahan
menghampirinya dengan merayap melalui rak di sebelah kiri, aku mengintip ke
ruang tersebut dan melihat——
"~~~~~~~~!!"
Aku
hampir tidak berhasil menghentikan suara jeritan yang ingin keluar dari mulutku
yang terbuka lebar. Alasan mengapa aku menahan teriakanku bukan karena aku
takut Eugeo akan terbangun, tetapi aku takut makhluk di hadapanku akan
menerkamku kalau aku bereaksi macam-macam.
Apa
yang bercahaya di antara kendi air yang besar dan dinding batu bata bukanlah
kunang-kunang maupun lumut bercahaya ataupun ikan gergaji Panama, tetapi
seorang gadis kecil yang duduk sambil memeluk lututnya.
Sudah
jelas sekali dia bukan penghuni Kekaisaran Manusia yang memiliki raga, melihat bagaimana
ujung rok dan anggota badannya agak transparan. Bagaimanapun aku memandangnya,
dia adalah tipe astral… dan berarti, seorang hantu. Aku tak bisa melihat
wajahnya yang menunduk, tetapi rambutnya dianyam.
Menahan
nafasku, kepala gadis kecil itu bergerak ketika aku menatapnya. Segera
memutuskan aku akan mengeluarkan teriakan sekencang-kencang kali ini jika
wajahnya berubah menjadi tengkorak, aku terus memandang gadis yang perlahan
mendongakkan kepalanya.
Dan
tengkorak- bukanlah yang menyambut penglihatanku. Andai bukan karena cahaya
yang putih kebiruan, dahi mulus dan pipi tembemnya terlihat segar bugar. Meski
begitu, tepat saat mata perak tak berpupilnya menatapku, seluruh tubuhku
merinding. Ketika bibir kecilnya mulai bergerak, suara yang terdengar gaib
keluar dari mulutnya dengan sebuah bisikan.
“Kakak…
tidak takut… denganku?”
+++
CATATAN PENERJEMAH
Si
kakak itu barusan mau berteriak sekuat tenaga saking takutnya nak.
Ada
banyak yang mau saya fan girlingin, tetapi menyenangkan bisa melihat keseharian
Kirito bersama Eugeo sebelum semuanya berubah…
Eugeo is so done with
Kirito antic haha.
[1] Panggil Sistem. Munculkan Elemen
Cahaya
[2] Panggil Sistem. Munculkan Elemen
Panas
[3] Elemen Ledakan
Thanks banget terjemahannya. Dari dulu pengen baca versi Light Novel nya, yg terjemahan bahasa Indonesia. 🤩👍
BalasHapus