Rabu, 13 Maret 2019

Distant Journey (Part 1)

Sword Art Online - Alicization (Side Story)
"Distant Journey"
(Part 1)

Pengarang : Reki Kawahara
Ilustrator : abec
Raw : Celest
Penerjemah Inggris : Gsimenas
Penerjemah Indonesia : Kaori Hikari

Sinopsis:
Untuk bertemu kembali dengan teman semasa kecilnya, Alice, Eugeo yang ditemani oleh Kirito pergi dari Desa Rulid menuju Ibu Kota Pusat Centoria. Bersamaan dengan mendekatnya tanggal ujian masuk Akademi Ilmu Berpedang Kekaisaran, mereka sampai pada tempat bernama [Penginapan Bilzen].

Sudah beberapa tahun berlalu sejak penginapan itu tutup usaha dan sampai sekarang belum ada pemilik baru yang mengurusnya. Mendengar soal hal ini, Kirito membujuk Eugeo yang enggan untuk bermalam di sana. Ketika Kirito terbangun dari tidurnya di malam hari, dia melihat anak gadis dengan tubuh yang transparan--! “Kakak… tidak takut… denganku?”

Siapakah [hantu] yang mendadak muncul di hadapan Kirito dan Eugeo?


Part 1

Tujuh ratus dan lima puluh kilometer

Itulah jarak di antara Rulid, desa yang terletak di dasar Gunung Penghujung di tepi utara Kekaisaran Utara Norlangarth, dan Ibu Kota Pusat Centoria yang terletak di tengah Kekaisaran Manusia.

Saat aku mendengar kami harus menempuh tujuh ratus dan lima puluh kilol, penyebutan satuan km di Underworld, awalnya aku tidak terlalu bisa menangkap seberapa jauh tujuan kami. Namun, ketika aku mengingat kembali peta Jepang dalam pikiranku dan menghitung bahwa jaraknya akan setara dengan perjalanan dari Tokyo ke Hokkaido jika berjalan lurus, akhirnya aku sadar, “Waduh, jauh sekali tempat tujuan kami!”

Karena kami akan menempuh jarak itu dengan berjalan, aku sudah mempersiapkan diri ini akan menjadi perjalanan yang sangat panjang, tetapi bahkan diriku tidak bisa membayangkan kami butuh setahun penuh untuk menyelesaikannya.

Memang kami menghabiskan beberapa waktu untuk tinggal dan bekerja di peternakan dan penjaga di kota besar, tetapi itu tidak mengubah kesanku bahwa perjalanan kami lebih terasa seperti menjelajah ke sisi lain bumi daripada hanya ke Hokkaido…

“Ah, Kirito, lihat ada batu tanda di sana!”

Mendengar perkataan Eugeo yang berada di sisiku, aku menyimpan kembali peta Kekaisaran Utara yang kubuka dalam benakku, dan berkedip. Sama seperti apa yang partnerku baru serukan, ada batu lancip berwarna abu-abu yang tampak seperti tugu berdiri di pinggir kanan jalan.

“Bukannya kita sudah melihat sepuluhan batu tanda seperti ini…”

Saat aku membalasnya dengan senyum masam, Eugeo mengecutkan bibirnya kesal.

“Ini bukan sekedar batu tanda biasa, yang ini batu yang besar!”

“Dan ini juga bukan pertama kalinya kita melihat yang seperti itu.”

“Dasar Kirito, hal yang bisa menarik perhatianmu hanyalah buah yang kelihatan bisa dimakan… Aku akan jalan duluan!”

Partnerku langsung berlari setelah mengatakan hal itu, jadi aku mengejarnya sembari aku meminta maaf kepadanya.

“Maaf, maaf, lain kali kalau aku menemukan buah Siral, aku pasti akan menyisakan beberapa untukmu…”

“Aku bukan marah karena itu!”

Sambil mengobrol berdua, kami berlari sekitaran lima puluh meter sebelum berhenti di hadapan tugu yang setinggi kami.

Pilar batu yang aku percaya secara resmi disebut [Tugu Penanda] atau [Milestone] di dunia nyata dan disebut batu tanda di Kekaisaran Manusia diletakkan di samping jalan utama tepat setiap sepuluh kilometer. Aku tidak tau bagaimana seseorang bisa menghitung jarak setepat itu di dunia di mana tidak ada GPS maupun laser pengukur jarak, tetapi setidaknya sudah jelas bahwa Gereja Axiom lah yang bertanggung jawab atas pemasangan prasarana ini.

Lambang gereja yang berbentuk bulatan di atas salib bersinar keemasan di atas tugu; angka [50] tertera di bawahnya. Tentu itu menunjukkan jarak menuju Ibu Kota Pusat Centoria- di mana itu mengartikan bahwa perjalanan kami akan selesai lima puluh kilometer lagi.

Eugeo yang tampaknya berpikiran sama sepertiku menyipitkan matanya sembari bergumam.

“Kita tinggal berjalan lima puluh kilol lagi… Jadi kita hanya perlu tiga atau dua hari  untuk mencapai ibu kota pusat…”

Sejauh ini kami berjalan sepanjang dua puluh sampai tiga puluh kilometer sehari, jadi memang kurang lebih kami perlu dua hari untuk mencapainya. Tanpa sadar aku menjuruskan pandanganku ke selatan, tetapi apa yang aku bisa lihat di hadapanku hanyalah bukit-bukit yang landai dan langit yang luas.

Langit yang barusan kusebutkan sudah setengah tewarnai dengan warna merah padam. Kelihatannya dua jam lagi malam akan tiba.

“Hei, Eugeo, seberapa kilol lagi sampai kota atau desa selanjutnya?”

Ketika aku menanyakan hal tersebut, partnerku yang berambut kuning jerami mengalihkan pandangannya dari batu tanda untuk menatapku, sebelum memberiku senyum lelah.

“Kamu tau, Kirito, aku yakin aku sudah memberitaumu ini ketika kita sarapan di Desa Calda. Kita tidak bisa mencapai kota Fouchelle sebelum hari berakhir, jadi malam ini kita akan berkemah di luar.”

“E… Eeeh!? Tunggu, kau ada mengatakan itu…?”

“Ada kok! Kamu kelihatan masih setengah nyawa tadi pagi, jadi aku bahkan mengulanginya dua kali…”

“Anu, kemungkinan aku masih di alam mimpi saat aku makan pagi. Aneh… sejauh ini selalu ada kota atau desa atau setidaknya penginapan yang bisa dicapai dalam waktu sehari dengan berjalan.”

“Iya, aku juga merasa itu aneh, jadi aku menanyakan soal itu kepada nyonya pemilik penginapan [Nagabibachi] di mana kita bermalam kemarin…”

Setelah mengatakan itu, Eugeo meletakkan tangannya ke dalam tas perkakas di pinggang kanannya dan menyisingkan perkamen di dalamnya. Perkamen yang ujungnya usang, tampak seperti Life-nya akan habis kapan saja, berisikan peta  yang kami beli dengan harga yang mahal sebelum kami pergi dari kota Zakkaria.

Perkamen yang sangat panjang dan ramping ini mencatat tujuh ratus dan lima puluh kilometer panjangnya Jalan Raya Nomain yang terbentang dari utara sampai selatan Kekaisaran Utara Norlangarth, dan juga kota, desa, penginapan, dan batu tanda di pinggir jalan secara rinci.

Eugeo dengan hati-hati membuka peta usang itu sepanjang tiga puluh sentimeteran. Ujung perkamen yang dia pegang dengan tangan kirinya menunjukkan setengah dari bundaran Ibu Kota Pusat Centoria, dengan jalan rayanya memanjang menuju tangan kanannya.

Sebelumnya kami harus membentangkan lebih dari satu meter peta ini setiap kali kami ingin tahu di mana kami berada; fakta bahwa kami hanya perlu tiga puluh sentimeter untuk melihatnya sekarang adalah tanda lainnya bahwa akhir perjalanan kami tidaklah begitu lama.

Biarpun peta perkamen ini memiliki daya tarik tersendiri, aku berharap kami mempunyai fitur jendela peta mengingat kami sudah memiliki jendela status… itulah yang terbesit di pikiranku saat aku menunjukkan telunjukku ke area di sekitar tengah-tengah peta.

“Hmm, jadi ini Desa Calda yang semalam kita tinggali… dan ini kota selanjutnya Fouchelle…?”

Saat jariku bergerak menuju arah Centoria, aku menghentikannya di tengah jalan.

“Huh, ada simbol kecil di sini. Bukannya ini… penginapan? Kita sekarang di sini…  di batu tanda lima puluh kilol, jadi kita hanya berjarak tiga kilol dari penginapan ini.”

“Memang benar, tetapi…”

Eugeo mengangguk disertai mengangkat bahunya.

“Menurut nyonya pemilik Penginapan Nagabibachi, [Penginapan Bilzen] yang tercatat di peta ini sudah tutup tiga tahun lalu. Makanya petualang dan pedagang yang melewati daerah ini biasanya menyewa kuda, berkemah di tengah jalan, berangkat ketika pagi masih gelap dan memaksakan diri mereka agar sampai ke penginapan selanjutnya dengan berjalan kaki, atau…”

Melihat bagaimana dia mendadak menghentikan ucapannya, aku mengintip wajah partnerku. Namun, Eugeo menggeleng kecil sebelum melanjutkan.

“Lupakan, pilihan keempat tidak akan kita lakukan. Yah jadi, kamu harus memilih di antara langkah-langkah yang barusan disebut kalau kamu ingin ke perhentian selanjutnya, katanya.”

"Hmmm……"

Aku berkeluh saat aku melihat Eugeo menggulung kembali petanya.

“Uang untuk biaya perjalanan kita mulai menipis, jadi menyewa kuda sudah jelas tidak mungkin. Kalau begitu, seharusnya kita bangun dan berangkat lebih a…”

Pada saat itu, aku menyadari tatapan tajam partnerku. Kalau dipikir-pikir, dalam setahun kami bersama sudah banyak kejadian di mana aku bangun telat dan memerlukan Eugeo untuk membangkitkanku dari tidur nyenyakku, tetapi aku tidak bisa mengingat kapan hal yang serupa juga terjadi kepadanya.

“Oh, tapi sesekali berkemah juga seru kan, hahaha.”

Ketika aku berusaha mengalihkan pembicaraannya dengan tertawa, Eugeo menghela nafas sebelum bibirnya tersenyum lelah, bagaikan dia berpikir, ‘Dasar kamu itu.’

“Belakangan ini cuacanya tidak terlalu dingin lagi. Biar begitu kita hanya memiliki satu selimut, jadi kita harus berbagi.”

“Tentu, tak masalah. Baiklah, sekarang ayo kita lanjutkan perjalanan kita sebelum malam tiba.”

“Iya, dan kumpulkan ranting-ranting kayu yang bisa kita gunakan untuk menyalakan api selagi kita berjalan.”

Setelah kami berdua mengangguk, kami melangkah pergi dari tugu dan kembali berjalan melalui jalan raya.

Karena Underworld dibentuk melalui [Mnemonic Visual], kesadaran realita di sini sebanding dengan dunia nyata, walau keindahan langit di sini mungkin sudah melampaui yang aslinya… atau begitulah yang terpikir di benakku. Biarpun sudah setahun sejak aku terbangun di dunia ini, pemandangan matahari terbenam di hari yang cerah masih bisa membuatku takjub sampai hari ini.

Mengagumi langit yang bergradasi warna dari warna biru bunga Rodgersia ke ungu terang kemudian merah padam, sebelum akhirnya menjadi warna emas bunga Kerria yang transparan… dan mendengar keluhan, “Berhenti terus-terusan memandang langit dan kumpulkan kayu bakar,” dari Eugeo, aku sudah berjalan kira-kira sejam sejak itu terjadi.

Saat angin sepoi-sepoi membelai pipiku, aku mengarahkan pandanganku ke sisi kiri jalan raya tanpa pikir panjang. Setelah itu, kakiku mendadak berhenti. Partnerku berjalan dua langkah sebelum berbalik dengan penuh tanya, dan aku mengangkat tangan kananku tanpa suara dan menunjuk ke hal yang menarik perhatianku.

Sekitaran dua puluh meter dari jalan raya, ada dua pohon berdaun lebar berjajar bagaikan sebuah gerbang, di belakangnya aku bisa melihat atap segitiga berwarna kemerahan.

"Ah……"

Menggumamkan itu, Eugeo melanjutkan ucapannya dengan wajah agak muram.

“…Mungkin itu penginapan yang tadi kubilang sudah tutup. Jadi bangunannya masih berdiri…”

“Penginapan Bilzen, bukan? Oh iya, dari awal kenapa penginapan ini tutup?”

“Kutak tau… Bahkan nyonya itu tidak memberitauku banyak hal. Mungkin pemiliknya meninggal karena sakit atau cedera, meninggalkan penginapan itu tanpa penerus, atau semacamnya…”

"Hmm……"

Di dunia nyata, setiap kali sebuah penginapan- maksudku hotel atau ryokan tutup, biasanya itu karena menurunnya jumlah pengunjung yang menginap di sana, tetapi hal seperti ini mustahil terjadi di Underworld, di mana pekerjaan penduduknya, yaitu [Panggilan] mereka telah diregulasikan dengan ketar oleh Gereja Axiom, secara praktis meredam kompetisi antar usaha.

Sebenarnya, Penginapan Bilzen adalah penginapan satu-satunya di daerah ini, jadi biarpun orang Underworld tidak diperbolehkan mengabaikan Panggilan mereka menurut Indeks Tabu, tidak mungkin penurunan kualitas pelayanan akan mengurangi pengunjung mereka. 

Pada akhirnya, selain karena ketidak-adaannya penerus seperti apa kata Eugeo, aku tidak bisa memikirkan alasan lain mengapa penginapan ini tutup. Bahkan di Jepang di dunia nyata, hal seperti itu akan jadi perbincangan di kota. Aku tak menduga hal seperti itu bisa terjadi di sini.

“…Biarpun kasihan, tidak ada yang bisa kita lakukan. Sekarang, ayo kita berjalan lebih jauh untuk mencari tempat di mana kita bisa berkemah.”

Bersamaan dengan Eugeo menggelengkan kepalanya dan baru ingin mulai berjalan, aku menarik rambut di belakang lehernya.

“Aduh… ada apa sih, Kirito?”

“Kau tau, aku barusan terpikir ide yang brilian.”

Tepat pada detik itu, ekspresi skeptis muncul di wajah partnerku.

“Itulah yang Kirito selalu katakan sebelum kenyataan berkata kebalikannya.”

“Kali ini tidak apa. Kau lebih memilih tidur di bawah atap daripada tidur di luar, bukan?”

“Di mana kita bisa menemukan atap…”

Setelah berdiri terperangah sejenak, Eugeo kembali memandang sisi timur jalan, kemudian berpaling ke arahku.

“Uwa, Kirito tidak bermaksud ingin kita menginap di bangunan itu, bukan?”

“Apalagi yang bisa kumaksud selain itu. Kalau ditutupnya tiga tahun yang lalu, mungkin masih ada ranjang yang belum hancur.”

“Dasar kamu…”

Meski dia sengaja menghela nafas, Eugeo tidak memberikan sangkalan lainnya. Berkat perjalanan berkantong tipis kami yang berlangsung setahun penuh, pola pikir kami berdua sudah terbiasa dengan satu sama lain… pikirku. Menepuk pundak partnerku dengan kencang, aku menunjukkan senyum lebar.

“Baiklah, karena ini sudah beres ayo kita segera bergegas ke sana.”

“Iya, iya. Kamu juga tidak akan mendengarkanku sekali kamu sudah memutuskan sesuatu, dasar…”

Eugeo mulai berjalan walau terus menggerutu, cahaya senja yang larut sejenak bersinar dirambut bergelombangnya sebelum menghilang.

Setelah berjalan melalui jalan raya, kami menemukan sebuah jalan kecil di sisi kiri kami dengan palang baja di sudutnya. Kemungkinan karena tidak diurus selama bertahun-tahun permukaannya karatan, tetapi saat aku memeriksanya lebih dekat aku bisa membaca tulisan [Penginapan Blizen – Mulai dari Seratus Shears per Malam]

Jalan sempit itu sudah tertutupi oleh rerumputan yang rindang, dan biarpun jika dibiarkan tumbuh rerumputan ini bisa menutupi seluruh jalannya, untuk sekarang lebatnya tidak cukup untuk menghalangi jalan masuk ke bangunan tersebut.

Setelah kami melewati pohon berdaun lebar yang menjadi gerbangnya dan menelusuri lebih jauh ke dalam, kami akhirnya menemukan bangunan beratap merah di depan kami. Bangunan megah bertingkat dua dengan atap pelana yang curam dan dinding bercat, yang mana bisa disebut gaya arsitektur Tudor kalau kita berada di dunia nyata, terkesan sudah kehilangan begitu banyak Life-nya sekarang, sama seperti palang besi yang berada di jalan kecil di depan.

Dindingnya agak kotor dan catnya sudah mengelupas di mana-mana,  selain itu tanaman rambat tumbuh tinggi di sisi-sisi dindingnya. Atapnya yang merahpun sudah jelas peot dan separuh bagian atas cerobong asap sudah runtuh.

Setelah tatap-tatapan dengan Eugeo, aku menghampiri bangunan tersebut dan menulis simbol [S] dengan telunjuk tanganku, kemudian aku mengetuk dindingnya. Melihat [Jendela Stacia] yang muncul di saat itu, aku mendapat informasi bahwa bangunan ini hanya memiliki Life dua puluh persen dari maksimumnya.

Sama seperti di dunia nyata, jika kau tidak melakukan perbaikan berkala pada bangunan di Underworld, perlahan bangunan itu akan rusak, dan akhirnya Life bangunan tersebut akan terus berkurang dan runtuh dalam beberapa tahun jika dibiarkan begitu saja.

“…Yah, biar begitu kelihatannya tempat ini masih bisa ditinggali.”

Baru saja aku memindahkan kayu-kayu bakar yang dirangkul tangan kiriku dan ingin berjalan menuju ke pintu masuknya, Eugeo menarik lengan bajuku.

“Tunggu dulu, biarpun sudah tidak beroperasi selama tiga tahun, bangunan ini dulunya sebuah penginapan. Kalau kamu masuk begitu saja, bukannya itu akan melanggar klausa tabu [Engkau tidak diperbolehkan memasuki bangunan yang dimiliki orang lain tanpa alasan tertentu]?”

Sudah menebak Eugeo akan mengatakan itu, aku menunjuk ke Jendela Stacia yang masih terbuka.

Di sebelah kiri dari objek ID yang berada di ujung atas kiri jendela ungu itu, akan ada simbol [P] jika objek tersebut dimiliki oleh orang yang membuka jendela ini, dan simbol [O], sejarang-jarangnya itu terjadi, jika jendela itu terbuka untuk objek yang dimiliki oleh orang lain. Namun, jendela untuk penginapan ini tidak ada simbol apapun.

“Huh, jadi bangunan ini… tidak mempunyai pemilik? Kenapa bisa begitu…”

“Kenapa katamu… bukannya Eugeo sendiri sudah bilang. Kalau pemilik penginapan ini sudah meninggal dan tidak memiliki penerus, hak kepemilikan bangunan ini akan di-reset…. Maksudku tidak mengejutkan kalau izinnya dicabut, bukan? Dari awal, kenapa kau pikir bangunan terlantar seperti ini ada pemiliknya?”

Mendengar pertanyaanku, ekspresi yang cukup rumit muncul di wajah Eugeo.

“Hmm, secara teori apa yang Kirito katakan benar… tetapi dalam kasus kepemilikan bangunan, tidak sesederhana itu. Biarpun hanya perlu tiga hari untuk hak kepemilikan objek dilepas setelah benda tersebut meninggalkan tanganmu, bangunan tetap di darat memerlukan tiga bulanan untuk hak kepemilikan mereka tidak lagi berlaku.”

“Heeh… -Hmm? Tunggu, bukannya hak kepemilikan berpindah setelah dua puluh empat jam?”

“Itu jika seseorang memberikan suatu benda ke orang lain. Hak kepemilikan objek yang ditinggalkan di luar rumah siapapun masih bisa bertahan selama tiga hari, sedangkan untuk bangunan periode ini diperpanjang selama tiga bulan.”

“Hmmh… Artinya, setiap kali pemiliknya pergi dari rumah lebih dari tiga bulan, hak kepemilikan bangunan mereka akan dicabut. Kalau begitu kau tidak bisa begitu saja jalan-jalan keliling dunia tanpa peduli apapun, ya.”

Eugeo tertawa terbahak-bahak saat mendengar komentarku.

“Ahaha, bahkan kaisar Norlangarth sendiri tidak bisa semena-mena pergi menjelajahi Kekaisaran Manusia. Seperti biasa, lelucon-lelucon yang Kirito katakan tidak masuk akal.”

“B-Begitu ya. Jadi… pada akhirnya, apa yang membuatmu berpikir bangunan ini ada pemiliknya?”

“Oh, soal itu.”

Setelah menahan tawanya, Eugeo menatap ke arah penginapan yang sudah cukup lapuk.

“…Seperti yang aku katakan sebelumnya, hak kepemilikan bangunan terjaga lebih lama daripada untuk benda… Tapi tidak sesulit itu untuk menjaga kepemilikan bangunan yang tidak kamu tinggali. Soalnya kamu hanya perlu mengunjunginya sekali dalam tiga bulan dan hak kepemilikanmu tidak akan dicabut.”

"Hmmhmm."

“Jadi ada yang menggunakan peraturan ini untuk mengambil alih kepemilikan bangunan yang kosong. Bahkan dulu di Desa Rulid, Balbossa-san membuat kekacauan setelah mengambil alih gudang perkakas milik Ridack-san yang tidak sengaja kehilangan hak kepemilikannya.”

“Heeeh…”

Ridack dan Balbossa adalah nama keluarga petani besar yang bertanding dengan satu sama lain untuk posisi pertama dan kedua di Rulid. Aku hanya mengenal mereka dari nama saja, yang mana aku tidak sengaja dengar sebelum kami berangkat pergi dari desa. Namun, mendengar cerita ini sekarang aku lega aku tidak berurusan dengan mereka.

“…Itu berarti biasanya akan ada seseorang yang sudah mendapat hak kepemilikan bangunan ini sekarang… apa itu yang Eugeo pikir akan terjadi?”

“Iya. Walau jika almarhum pemilik tidak memiliki pewaris, bukan berarti dia sama sekali tidak memiliki saudara, dan harusnya tempat ini juga memiliki beberapa pekerja. Bangunan ini sepaket dengan lahan di sekitarnya, jadi tidak ada kerugian apapun jika kamu ingin memilikinya.”

“Begitu toh…”

Di dunia nyata, di Jepang, kau harus mengurus biaya pemeliharaan dan pajak properti, jadi tidak terlalu banyak orang yang ingin mempunyai properti kosong tanpa ingin menjualnya. Biarpun kau perlu mengunjungi tempat ini setiap tiga bulan sekali untuk refresh hak kepemilikanmu, kalau kau tinggal di kota dekat sini itu tidak terlalu merepotkan.

Akhirnya, bahkan diriku paham setidak lazim apa bangunan yang ditinggalkan begitu saja, tetapi hal itu tidak menjadi sebuah masalah untuk kami sekarang. Sebaliknya, aku bisa bilang itu adalah hal menguntungkan untuk kami.

“Yah, alasan apapun itu sudah jelas bangunan ini tidak ada pemiliknya. Kalau begitu kita tidak akan melanggar Indeks Tabu kalau kita tinggal sebentar di sini, kan?”

“Kamu benar juga sih…”

Mengangguk dengan tampang yang sudah menyerah, Eugeo menatapku dengan mengadah sebelum lanjut berkata.

“Tapi kalau begitu Kirito duluan yang masuk.”

“Huh? Kenapa?”

“Seandai-andainya kita tinggal di bangunan ini lebih dari dua puluh empat jam, siapapun yang pertama menginjakkan kakinya ke dalam akan tercatat namanya di Jendela Stacia. Dan aku tidak ada niat untuk terlibat dalam masalah aneh apapun.”

“Aku juga ingin menghindari hal seperti itu… Ayo kita berangkat pagi-pagi esok.”

“Sahut orang yang nantinya akan ketiduran lagi.”

Menyapu bersih pernyataan persuasif partnerku dengan tawa, aku berjalan menuju pintu masuk penginapan itu.

Walau pintu depan raksasanya menderit dengan keras, kami masih bisa memasukinya tanpa masalah. Tentu, tidak ada lampu yang menyala, tetapi cahaya dari matahari yang hampir terbenam menembus jendela yang kotor, cukup menerangi interior bangunan ini. Di dalam lobi yang luas, ada konter di depan dengan tangga menuju lantai dua di samping kanannya, dan pintu besar di kirinya.

“H… Halo~?”

Aku memberi salam kalau-kalau ada seseorang di sini, tetapi tidak ada yang menjawab. “Ayo, cepatlah masuk,” kata Eugeo yang menyikut punggungku dari belakang, dan akupun melangkah ke dalam dengan ragu-ragu setelah memindahkan posisi kayu-kayu bakarku.

Kondisi interior bangunan ini lebih baik daripada yang aku kira, tampaknya lantai papan kayu tidak akan runtuh begitu saja, biarpun ada debu putih yang terkumpulkan selama tiga tahun di konter, dan jaring laba-laba yang bergelantungan di langit-langit.

Andai ini game RPG biasanya tempat ini pasti dihantui monster-monster tipe astral, tetapi hal seperti itu tidak ada di Kekaisaran Manusia… atau setidaknya kuharap begitu. Jika benar ada hantu keluar dari sini, Objek Agung [Pedang Mawar Biru] yang tergantung di pinggang kiri Eugeo harusnya akan efektif melawan undead, berdasarkan dari warna dan desainnya… itulah yang aku pikirkan.

Eugeo yang baru saja kusebut akhirnya memasuki lobi sebelum mengeluarkan teriakan jijik.

“Uwaah, debu di mana-mana… Kirito, apa kamu sungguh ingin menginap di sini?”

Mendengar itu, aku ingin sekali menjawab, “Kau tau, lebih baik kita berkemah di luar,” tetapi aku menahannya. Karena aku yang terlebih dahulu menyarankan ini, aku tidak bisa mundur secepat itu sekarang.

“T-Tentu dong, ehmm… Jadi, pintu yang ada di kanan mengarah ke kamar penginapan, sedangkan pintu yang di kiri mengarah ke kafetaria dan ruang tamu. Ayo kita ke kafetaria dulu.”

“Supaya kamu tau saja, aku yakin tidak ada makanan yang tersisa di sana.”

“Tidak juga kok, jujur aku merasa kita mungkin bisa menemukan satu atau dua botol makanan tergeletak di sana.”

“Andai ini di game RPG sih,” adalah hal yang bisa kuucapkan, kemudian aku melewati lobi menuju ke pintu sebelah kiri. Mencengkram knop pintu yang karatan, pelan-pelan kutarik pintunya terbuka, dan cahaya matahari senja dari jendela rusak di hadapanku menyinari mataku. Setelah berkedip beberapa kali, aku memeriksa ruangan tersebut.

Kafetarinya sebesar restoran kecil. Ada enam meja untuk empat orang dan beberapa kursi konter di dinding timur. Di balik konter ada pintu masuk melengkung yang kemungkinan mengarah ke dapur. Aku bisa melihat tungku perapian besar di ujung utara dinding dengan sofa yang lebar di hadapannya.

“…Tidak ada yang dirampok, huh…”

Ketika aku menggumamkan hal ini, Eugeo menatapku ganjil.

“Dirampok oleh apa, hewan? Aku rasa tidak ada binatang buas di sekitar sini yang mempunyai kemampuan memasuki bangunan.”

“K-Kau benar. Kalau dilihat dari kondisinya, mungkin masih ada makanan yang tersisa?”

Aku kembali disadarkan fakta bahwa di Kekaisaran Manusia tidak ada maling maupun perampok. Aku meletakkan tas di punggungku dan kayu-kayu bakarku di meja terdekat, sebelum mengitari konternya untuk ke dapur. Aku mencoba melihat ke dalam, tetapi penerangannya cukup redup karena cahaya matahari tidak mencapai tempat ini.

"System call. Generate luminous element." [1]

Setelah merapalkan ritual Sacred Art, aku membuat satu elemen cahaya dan mengambangkannya ke udara. Disinari oleh cahaya pudar, kitchen ini terlihat cukup rapi, membuatku berpikir ada alasan tak terduga yang membuat penginapan ini tutup. Mungkin ada pelanggan yang kabur di larut malam atau ada wabah penyakit. Apapun itu, kosongnya bangunan ini membantu kami.

“Kelihatannya kita masih bisa menggunakan panci dan tungkunya, tapi… sudah kuduga, tidak ada makanan yang tertinggal.

Sesudah memeriksa rak di dekat dinding, Eugeo mengangkat bahunya.

“Kalau dipikir-pikir, itu sudah bisa ditebak. Ditinggalkan begitu saja di rumah tak bertuan selama tiga tahun lamanya, bahkan botol yang ditutup rapat dengan getah tidak akan bisa mempertahankan Life mereka.”

“Atau makanannya sudah dibereskan sebelum seseorang meninggalkan tempat ini. Yah, mau bagaimana lagi, sepertinya menu malam ini adalah daging dan buah kering lagi, Eugeo-kun.”

“Kapan aku pernah mengeluh soal makan daging kering!”

Bersamaan partnerku protes dengan menggembungkan pipinya, aku mendorongnya untuk kembali ke kafetaria. Kembali ke meja tempat aku meletakkan barang-barangku, kami berdua duduk dengan berhati-hati setelah Eugeo meletakkan pedang panjang yang tergantung di pinggang kirinya.

Kursi ini seharusnya sudah kehilangan banyak Life-nya, tetapi mungkin karena asalnya dibuat dengan baik, kursi ini masih bisa menerima bebanku dengan deritan kecil. Berbaring di sandarannya, aku menghembuskan nafas panjang.

Langit yang bisa terlihat dari jendela di arah barat masih berwarna merah, tetapi beberapa menit lagi Solus akan terbenam ke balik hutan. Setelah sejenak memandang matahari yang terbenam dari balik jendela yang kotor, Eugeo berbalik ke arahku sambil tersenyum.

“Sekarang, ayo kita mulai memasak. Aku akan mengambil air dari sumur di luar, jadi tugas Kirito adalah menyalakan api di tungku.”

Kembali ke dalam kitchen, aku menjejal sepertigaan kayu bakar yang aku kumpulkan di perjalanan ke dalam tungku bata bata. Untuk menyalakan api di dunia nyata, kau akan memerlukan lighter atau korek api, tetapi kau bisa menggunakan cara yang bisa dibilang lebih malas di sini.

"System call. Generate thermal element."[2]

Memunculkan dua elemen panas sekarang, aku menggerakkannya ke dalam tungku.

Burst element[3] adalah apa yang ingin kukatakan selanjutnya, tetapi menggunakan ritual tersebut akan mengakibatkan ledakan kecil, jadi aku dengan sabar menyelimuti kayu-kayu bakar ini dengan elemen panas.

Akhirnya, kayu-kayu kering itu menyala dengan gemericik api. Jika sudah sampai sini, elemen panas yang kumunculkan akan lenyap dengan sendirinya walau aku tinggalkan, jadi aku berhenti fokus kepada mereka dan berdiri. Kemudian aku mengambil panci berjelaga dari rak di dinding dan melihat ke dalamnya. Biarpun aku tidak bisa menyebutnya bersih mencilang, panci ini tidak terlalu berdebu. Mungkin itu karena panci ini disimpan di dalam lemari.

Saat aku mengelap bagian dalam pancinya dengan selembar kain yang ada di kantongku, Eugeo kembali sambil berlari kecil. Sebuah kantong air berbahan kulit tergantung di tangan kanannya dan karung goni di kirinya.

“Kerja bagus, apa kau bisa mendapatkan air?”

“Iya, walau aku cukup kesulitan karena embernya rusak.”

Mengatakan itu, dia mengangkat kantong yang dipenuhi air. Setelah dia mengisi setengah panciku dengan air dan meletakkannya di tungku perapian, dia mengeluarkan empat potong daging kering yang ramping dan panjang dari karung goninya dan memasukkannya ke dalam panci.

Ada berbagai macam jenis daging kering yang dijual di toko bahan pangan pada Kekaisaran Manusia. Walau daging yang berkualitas tinggi cukup lembut, mirip dengan beef jerky dari dunia nyata, apa yang bisa kami beli hanyalah daging keras yang murah.

Bagus sih Life-nya bertahan lama, tetapi mengunyah mereka tanpa memasaknya sangat sulit. Makanya kalau kami bisa mendapat cukup banyak air, kami akan memasak daging itu menjadi sup agar lebih mudah memakannya.

Saat akhirnya airnya mendidih, Eugeo memasukkan sepercik garam dan beberapa rempah kering ke dalam panci. Bersamaan dia mengaduk isi pancinya dengan sendok kayu yang kami temukan di dapur, aroma yang mirip lada dan kemangi yang membangkitkan nafsu makan melayang di udara.

“Kau sudah melampauiku dalam memasak.”

Ketika aku mengungkapkan sentimenku sambil menatap ke dalam panci, Eugeo memberiku senyum masam.

“Aku hanya merebus dan menambahkan bumbu ke daging kering. Kalau aku menyebut ini [memasak], aku hanya akan ditertawakan oleh Alice.”

Tepat setelah dia mengatakan nama teman masa kecilnya yang pandai memasak, wajah partnerku berubah menjadi sendu. Aku menepuk pundak kirinya setelah aku terhenti sejenak karena ragu.

Setahun yang lalu, aku dan Eugeo berangkat dari Desa Rulid bersama untuk bersekolah di [Akademi Ilmu Berpedang Kekaisaran] yang berada di Ibu Kota Pusat Centoria. Namun, tujuan akhir kami berbeda.

Aku berniat untuk mencapai markas utama Gereja Axiom, menara tinggi di tengah-tengah Centoria- yaitu, di tengah Underworld, untuk mencari cara menghubungi dunia nyata. Sedangkan tujuan Eugeo adalah menyelamatkan teman masa kecilnya Alice, gadis yang ditangkap oleh salah satu Ksatria Integritas Gereja Axiom tujuh tahun yang lalu.

Jauh dalam benaknya, Eugeo pasti ingin bergegas berlari melalui jalan raya pagi dan malam tanpa istirahat agar bisa mencapai ibu kota pusat sesegera mungkin. Dorongan itu bisa dia jaga dengan akal sehatnya yang memberitaunya dia tidak bisa bertemu Alice secepat itu walau dia melakukannya.

“…Alice tidak akan mentertawakanmu. Setelah kau menyelamatkannya dari Gereja Axiom, berikan dia sup daging kering spesialmu. Aku yakin dia akan menyukainya.”

Ketika aku mengutarakan itu sambil mencengram bahunya, Eugeo berbalik ke arahku dan tersenyum kecil.

“Menurutmu begitu ya…. –Yah, aku yakin masakanku lebih baik daripada campuran amburadul yang Kirito biasa buat.”

“Dasar kau ini!”

Setelah menyikut ringan pundak kirinya, aku kembali ke rak di belakangku. Di antara beberapa peralatan makan yang tertinggal di sana, aku menemukan mangkuk yang masih bagus yang kemudian aku membawanya ke Eugeo.

Memang kami mempunyai cangkir kaleng di tas kami, tetapi makanan kami pasti akan terasa lebih enak kalau dimakan di mangkuk keramik daripada cangkir tua kami yang sudah usang karena terus dipakai dalam setahun.

Dengan Eugeo membawa panci dan aku membawa mangkuk, kami kembali ke kafetaria dan memulai makan malam kami yang sederhana. Biarpun menu makanan kami hanyalah buah kering dan sup daging kering, fakta kami bisa makan-makanan yang panas setelah terus-terusan berkemah membuat makan malam ini terasa seperti perjamuan.

Setelah mengobrol ini dan itu sembari kami melahap makanan kami dan lalu berdoa kepada Dewi Terraria atas berkahnya, kami menggunakan air yang tersisa untuk mencuci panci dan peralatan makan kami dan mengembalikannya ke dalam rak di dapur.

Kami masih memiliki beberapa kayu bakar, jadi aku menyalakan api di perapian pada kafetaria. Aku duduk pada sofa di hadapannya dan meregangkan tubuhku.

“Mmmh… Eugeo, apa kita sudah kehabisan daun teh cofeel?”

“Kita sudah lama kehabisan stoknya. Dan ini ketiga kalinya kamu menanyakan itu kepadaku.”

“Andai aku terus-menerus menanyakannya, mungkin dewa teh akan mengasihaniku dan memberikan kita daun teh.”

Partnerku menghembuskan nafas panjang saat mendengar pernyataanku.

“Belakangan ini akhirnya aku bisa membedakan kapan kamu serius dan kapan kamu becanda, Kirito.”

“Ho-hoh. Omong-omong, tadi aku serius loh.”

“Supaya kamu tau saja, dewa teh itu tidak ada.”

Saat helaan nafasnya berubah menjadi menguap, Eugeo meregangkan tubuhnya di sofa. Dia berkedip beberapa kali bersamaan dia memandang api yang berkobar di perapian, sampai akhirnya kelopak matanya tertutup dengan rapat.

Karena rencananya tadi kami akan tidur di ranjang kamar tamu, aku baru ingin mengulurkan tangan kiriku untuk membangunkan partnerku, tetapi aku mengurungkan niatku. Seperti furnitur lainnya yang berada di sini, biarpun sudah tua sofa ini berkualitas tinggi, jadi harusnya kenyamanannya tidak lebih rendah daripada kasur.

Berhati-hati agar tidak membangunkan Eugeo yang terlelap, aku pelan-pelan berdiri dan pergi mengambil selimut dari tas kami. Setelah menyelimuti Eugeo dari satu sisi, aku menyelimuti diriku sendiri dengan sisi lainnya di sofa.

Selimut yang ditenun dari benang wol yang tebal ini diberikan kepada kami sebagai hadiah perpisahan oleh kepala pemilik Peternakan Walde dan istrinya ketika kami pergi dari kota Zakkaria. Di antara barang-barang yang kami miliki, selimut ini paling berharga- tentu, itu tidak menghitung Pedang Mawar Biru milik Eugeo dan ranting Gigas Cedar-ku. Jika bukan karena selimut ini, kami pasti akan sering terkena demam dalam perjalanan kami.

Aku menggeliat-geliut di sofa sampai  aku menemukan posisi yang nyam, sebelum akhirnya aku menghela nafas. Padahal belum sampai jam delapan malam, tetapi mungkin karena berjalan dengan kaki bisa dibilang melelahkan, aku langsung ngantuk setelah makan malam. Padahal tubuhku di dunia nyata pasti tidak ada bergerak sama sekali di saat itu.

“…Selamat tidur.”

Berbisik kepada partnerku yang tertidur nyenyak, akupun menutup kelopak mataku.
.
.
.
Mendadak, aku merasakan seseorang menarik jambulku.

Aku sayup-sayup membuka mata kananmu. Kayu bakar di perapian sudah padam, tetapi berkat cahaya bulan yang bersinar melalui jendela tempat ini tidak sepenuhnya gelap. Menolehkan kepalaku ke sisi kiri sofa, aku melihat Eugeo yang meringkuk, tertidur dengan lelapnya. Tidak ada tanda-tanda ada orang lain selain itu.

Walau sudah setahun sejak aku terjebak di dalam Underworld, aku masih saja kebiasaan mengecek jam berapa ini dengan memandang ujung kiri atasku, tempat aku biasa meletakkan jam, atau mencari-cari handphoneku setiap kali aku terbangun seperti ini.

Namun, selain Jendela Stacia, tidak ada antarmuka pengguna lainnya di sini. Tidak ada jam alaram apalagi telepon. Satu-satunya cara untuk mengetahui waktu di sini ini adalah dengan mendengar lonceng gereja di kota yang berbunyi setiap sejam dan setengah jam sekali.

Meski begitu, diriku yang sudah tinggal di sini setahunan sudah belajar mengira-ngira jam berapa ini melalui arah cahaya rembulan dan seberapa gelapnya sekitarku. Memperkirakan ini sekitaran tengah malam, aku baru ingin kembali hanyut ke dalam mimpiku saat…

Jambulku kembali terasa seperti ada yang menarik-nariknya, membuatku mengerutkan keningku. Entah bagaimana aku bisa mengangkat kelopak mataku yang berat, aku kembali memeriksa sekelilingku. Kafetaria yang terselimuti kegelapan berwarna biru cefat terlihat agak menyeramkan, tetapi tidak ada yang aneh dari itu.

Di Kekaisaran Manusia tidak ada rampok maupun monster mengerikan yang akan muncul mendadak. Jadi jika ada yang menyelinap ke sini, paling-paling hanyalah binatang, tetapi hewan liar tidak akan menarik-narik rambut orang yang tertidur seperti itu.

“Apaan sih, ugh…”

Sadar bahwa aku kehausan saat menggumamkan ini, diam-diam aku turun ke lantai. Berhati-hati agar tidak membangunkan Eugeo, aku berjingkat-jingkat menuju tempat di mana kami meletakkan kantong air kami. Saat aku baru saja akan meraihnya, aku tiba-tiba menyadari sesuatu.

Harusnya cahaya rembulan bersinar dari jendela selatan, yaitu yang ada tepat di hadapanku. Namun, aku ada cahaya yang redup bersinar dari sisi kiri pandanganku.

Cahaya putih kebiruan yang bersinar di luar pintu masuk di samping konter, dari ujung kitchen. Menyebutnya berkilauan… terlalu berlebihan. Sinar pendar yang lemah, tampak lebih pudar daripada satu buah elemen cahaya.

-Apa ada lumut bercahaya yang tumbuh di dinding atau sejenisnya? Walau aku belum pernah melihat hal seperti itu di Underworld sebelumnya.

Berpikiran seperti itu, aku memasuki kitchen dengan rasa takut. Merapatkan punggungku kepada dinding di sebelah lengkungan pintu masuk, aku mengintip ke dalam. Aku tidak bisa menelaah apa yang bersinar di sana. Menyentuh pinggulku dengan tangan kiriku, aku teringat bahwa kami meletakkan pedangnya di atas meja. “Ah, tak apalah,” kataku dan aku lanjut masuk ke dapur.

Berbaris di dinding kiri kitchen ada perapian, meja masak, wastafel, dan kendi air. Rak yang menjangkau sampai langit-langit ditempatkan di dinding kiri. Cahaya pendar berwarna putih kebiruan kelihatannya muncul dari ruang di antara dinding dan kendi air. Setelah perlahan menghampirinya dengan merayap melalui rak di sebelah kiri, aku mengintip ke ruang tersebut dan melihat——

"
~~~~~~~~!!"

Aku hampir tidak berhasil menghentikan suara jeritan yang ingin keluar dari mulutku yang terbuka lebar. Alasan mengapa aku menahan teriakanku bukan karena aku takut Eugeo akan terbangun, tetapi aku takut makhluk di hadapanku akan menerkamku kalau aku bereaksi macam-macam.

Apa yang bercahaya di antara kendi air yang besar dan dinding batu bata bukanlah kunang-kunang maupun lumut bercahaya ataupun ikan gergaji Panama, tetapi seorang gadis kecil yang duduk sambil memeluk lututnya.

Sudah jelas sekali dia bukan penghuni Kekaisaran Manusia yang memiliki raga, melihat bagaimana ujung rok dan anggota badannya agak transparan. Bagaimanapun aku memandangnya, dia adalah tipe astral… dan berarti, seorang hantu. Aku tak bisa melihat wajahnya yang menunduk, tetapi rambutnya dianyam.

Menahan nafasku, kepala gadis kecil itu bergerak ketika aku menatapnya. Segera memutuskan aku akan mengeluarkan teriakan sekencang-kencang kali ini jika wajahnya berubah menjadi tengkorak, aku terus memandang gadis yang perlahan mendongakkan kepalanya.

Dan tengkorak- bukanlah yang menyambut penglihatanku. Andai bukan karena cahaya yang putih kebiruan, dahi mulus dan pipi tembemnya terlihat segar bugar. Meski begitu, tepat saat mata perak tak berpupilnya menatapku, seluruh tubuhku merinding. Ketika bibir kecilnya mulai bergerak, suara yang terdengar gaib keluar dari mulutnya dengan sebuah bisikan.

“Kakak… tidak takut… denganku?”


+++

CATATAN PENERJEMAH
Si kakak itu barusan mau berteriak sekuat tenaga saking takutnya nak.

Ada banyak yang mau saya fan girlingin, tetapi menyenangkan bisa melihat keseharian Kirito bersama Eugeo sebelum semuanya berubah…

Eugeo is so done with Kirito antic haha.



[1] Panggil Sistem. Munculkan Elemen Cahaya
[2] Panggil Sistem. Munculkan Elemen Panas
[3] Elemen Ledakan

1 komentar:

  1. Thanks banget terjemahannya. Dari dulu pengen baca versi Light Novel nya, yg terjemahan bahasa Indonesia. 🤩👍

    BalasHapus