Cerita Malam Menipu IV
Kredit kepada pochamachan untuk Terjemahan Bahasa Inggris
Lampu redup berwarna oranye
menerangi ruangan yang rapi. Yah agar lebih sopan aku hanya bisa menyebutnya
rapi, karena jika tidak aku tidak tau
lagi apa yang bagus dari ruangan minim hiasan ini.
Ruangan ini serasa sangat
monoton dan simpel dengan TV LCD kecil, meja kotak-kotak yang besar, dan almari
warna-warni untuk menyimpan baju. Di sekitar meja dan rak juga terdapat
sepasang bantal dan beberapa buku anak-anak.
Ruangan yang terletak di lantai
pertama, di paling ujung – ‘Kamar 107’
Ranjangku adalah tempat yang
sekarang sedang kududuki—bagian bawah dari tempat tidur bertingkat yang agak
kotor. Malam ini kami kembali mendiskusikan topik hangat yang sulit
dituntaskan.
Topik
hari ini adalah - Bagaimana caranya
kita yang dikenal sebagai ‘monster’ di panti asuhan ini membersihkan nama baik
kita?
Meskipun aku mengatakan ”Topik Hari Ini”....sejujurnya topik
hari ini tiada bedanya dengan topik yang diperbincangkan pada hari kemaren
ataupun kemarennya lagi.
“Jadi, bagaimana menurut kalian?”
kesunyian membentang atas pertanyaanku, hari ini mereka kembali tidak merespon
atau berusaha untuk menjawab pertanyaanku, akhirnya aku menyerah dan
mengatakan, "Ahh~ sungguh, apa yang bisa kita lakukan untuk menuntaskan
masalah ini~?"
Seto yang mendengar ini hanya
mencengkram bantalnya erat-erat ke dadanya; terlihat seperti akan menangis, “Semua
ini pasti adalah salah saya. Saya memohon maaf sebesar-besarnya....”
“Tidak, ini bukan cuma salahmu.
Jangan mengatakan hal-hal seperti itu. Dan lagi, jangan berbicara sesopan itu.”
Bahu Seto sontak berguncang ketakutan saat kata-katanya segera dipotong Kido.
Permintaan maaf yang lirih terus dibisikkan Seto sebelum perlahan
menenggelamkan wajahnya ke dalam bantal.
Seto bagaikan gabungan dari
balita dan bayi hewan; dia bisa menangis karena suatu sebab atau apapun. Dia
menangis saat dia jatuh, saat dia lapar pun dia akan menangis, bahkan saat malam mendekat.....dia juga
terkadang menangis tanpa alasan yang jelas. Itulah karateristik paling mencolok
dari Seto Kousuke; ‘Teman #2’ yang
kutemui di fasilitas ini.
Aku sendiri merasa harusnya
kami berbicara lebih lembut dengan Seto, tetapi Kido yang sepertinya tidak
peduli akan hal itu hanya mengeluarkan, “Hmm” kaku dan mengambil benang dalam
gendongan kucing untuk membangun sebuah menara Tokyo.
Aku yang berpikir tidak baik mengakhiri percakapan ini begitu
saja bergegas menengahi mereka, “Ti-tidak apa-apa kok! Selain itu,
kurasa.....Seto juga memikirkan berbagai macam hal dengan caranya sendiri....”
Seto yang mengabaikan
pembelaanku hanya bergumam, “....Anu, maafkan saya. Saya sama sekali tidak
memikirkan banyak hal,” dengan kepalanya masih tenggelam di bantal.
Seto kembali meloncat dan
membungkam mulutnya rapat-rapat saat Kido yang mengeluarkan aura menekan
melihatnya dengan ekspresi terganggu, “Sudah
kubilang jangan terlalu sopan,” bisiknya.
Dalam sekejap, kami kembali ke
awal.
Mulutku mengeluarkan embusan
napas panjang dan aku menyandarkan badanku ke tumpukan selimut yang terlentang disebelahku.
Sepertinya hari ini kami juga tidak bisa menemukan solusi atas masalah kami.
Kesimpulannya bisa kulihat dengan mudah; kami berakhir tanpa membicarakan
apa-apa dan terlelap seperti biasanya.
Beberapa bulan berlalu sejak
aku datang ke sini. Entah bagaimana, kesibukanku sekarang lebih banyak daripada
2 bulan lalu pas aku tinggal bersama tante.
Pada hari itu di mana aku
memulai hari pertama di panti asuhan dengan bekas tamparan merah di wajahku
yang pucat, aku sangat khawatir apa yang akan terjadi padaku selanjutnya.
Syukurlah, hari-hari yang kulalui selanjutnya cukup damai.
Ngomong-ngomong, aku terkejut
saat mengetahui ‘Kido’—gadis yang menamparku juga seorang yatim piatu yang
datang dengan keadaan yang hampir mirip denganku.
Itu sih masih tidak seberapa;
aku lebih terkejut lagi saat mengetahui kalau kami tinggal sekamar. Biasanya
kamar-kamar di panti asuhan dipisahkan sesuai gendernya, tapi gegara kamar lain
sudah penuh kami jadi tinggal bersama karena masih anak-anak.
Dulu aku tidak terlalu percaya
dengan pepatah ‘pertemuan yang telah ditakdirkan’ tapi sekarang aku tidak bisa
mengatakan apa-apa saat sudah diberi bukti yang jelas seperti ini.
Tambahan—penyebab aku
memanggilnya ‘Kido’ adalah karena aku hanya mendengar nama belakangnya sebelum
kami diganggu.
Setelah apa yang terjadi pada
pertemuan pertama kami, dia menolak untuk berbicara denganku karena dia
berpikir aku bocah yang ‘mesum’. Tetapi
aku tidak ingin melepaskan ‘Teman #1’ku
begitu saja, karena itu aku berjuang dengan terus-menerus mengikutinya dan
memanggilnya “Kido-san, Kido-san”
Aku dibanjiri dengan berbagai
macam perasaan yang campur aduk sampai hampir ingin menangis ketika dia akhirnya berbicara denganku; “Tidak perlu memanggilku dengan –san,” Setelah
itu, aku hanya memanggilnya ‘Kido’ karena dia tidak pernah memberitauku nama
depannya.
Pada saat itu, Seto—anak yang
dari awal sudah tinggal di kamar ini, hanya meringkuk dan mengamati kami.
Seto memiliki kepribadian yang
180 derajat berkebalikan dari Kido yang dingin sedingin gletser di kutub utara.
Meskipun dia sangat amat pendiam, suatu hari dia mendadak berusaha
menyemangatiku yang terus diabaikan Kido dengan membicarakan riwayat hidupnya.
Dia bercerita kalau dia sudah
tinggal di panti asuhan ini sejak lahir. Tidak ada yang ingin berteman
dengannya dan anak-anak lain yang tinggal di sini selalu mengerjainya. Anjing
bernama Hanako yang sudah menjadi teman satu-satunya meninggal setahun lalu.....dan
sebagainya.
Air mata membanjiri wajahnya
yang tembem saat ia mengisahkan ini. Alhasil, pembicaraan penyemangatku malah menjadi ‘aku yang mencoba menghibur Seto
sebisaku’ “Tidak apa-apa, sekarang kau
baik-baik saja” Kataku untuk menenangkannya.
Pada saat itulah, sebuah ikatan berkembang diantara aku dan Seto.
Setelah itu, Seto pun menjadi ‘Teman #2’ku....dan
ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan kejadian di mana suatu hari dia
mendatangiku dan bertanya “Kita....teman, bukan?” dengan wajah yang menyiratkan
‘jika
tidak, lebih baik saya mati’
Terus terang, dia lebih pantas
menjadi teman daripada Kido, ‘Teman #1’, yang menolak berbicara denganku pada
waktu itu.
Kemudian, aku hanya menikmati
hari-hari membosankanku dengan bocah bernama Seto ini. Seiring
waktu berlalu, akhirnya Kido juga bersedia untuk berbicara
denganku. Biarpun ada berbagai hal yang
butuh ditoleransi, sampai sekarang kami menjalani hidup kami dengan mulus....
...tapi itu bohong. Ini tidaklah
mulus, tidak sedikitpun. Bahkan sebenarnya ini sangat berkebalikan dengan
‘mulus’.
Seandainya kita mengibaratkan
ranjang yang kami duduki ini sebagai perahu, maka perahu ini adalah perahu
layar rusak yang berusaha mengarungi Samudra Pasifik sendirian di tengah amukan
badai yang mengerikan....dan itulah sebabnya kenapa kami melakukan diskusi ini.
Jujur aku dan yang lain tidak
terlalu suka dipanggil sebagai ‘monster’ ataupun
‘setan’ oleh pengurus dan anak-anak
lain yang tinggal di panti ini. Kami
sudah muak dengan tempelan-tempelan di pintu kami seperti ‘Kamar Monster’, ‘Hati-hati, setan tinggal di sini!’, dan
sebagainya. Jadi,
kami harus menyingkirkan reputasi ini sesegera mungkin.
"M-Monster
... Setan ..."
"Ya,
aku benar-benar berharap mereka berhenti mengatakan itu......
Eh?" Aku tidak mengatakan pikiranku
dengan nyaring kan? Aku merasa aku hanya mengucapkannya dalam benakku....jadi
kenapa Seto mengulangnya?
Kudorong diriku untuk melihat
Seto yang mengangkat kepalanya dari bantalnya. Dengan mata merah padam
mempesona yang berkaca-kaca, dia menatapku.
Kukeluarkan “ah...” lemah
sebelum menutup mataku dan mulai memikirkan sesuatu, ‘...
Kau bisa mendengar apa yang kupikirkan lagi?’ tanyaku dengan nyaring dalam otakku.
"Ma-maaf...saya dapat mendengarnya." Jawab Seto dengan merasa bersalah dan
kemudian kembali membenamkan wajahnya di bantal sampai hanya matanya yang
kelihatan.
Aku kembali berbicara di dalam benakku,
‘Sekarang
ini tidak terlalu sering terjadi lagi, kan? Tapi, kemampuan Seto selalu mendadak
muncul sih....’
Seto yang mulutnya masih
terkubur dalam bantal menjawab dengan malu-malu, “seharusnya sebentar lagi ini
akan berhenti....”
Aku
menyeringai sedih. Mendadak suasana tidak mengenakkan terpancar dari arah Kido. Kutoleh Kido dengan ketakutan, dia melototi Seto dengan
mimik muka teramat marah. Seto yang melihat itu seperti tikus yang dipojokkan
seekor ular.
Seto yang sepertinya bisa
mendengar tuduhan-tuduhan yang dipikirkan Kido hanya bisa mengguncangkan
tangannya, “A-ah, jangan sopan? Saya memohon maaf, saya memohon maaf! Eh...?
Ti-tidak! Saya tidak melakukan hal ini dengan sengaja!” Tentu saja, saat ia membela diri dia masih berbicara dengan sangat
sopan. Kebiasaannya
itu benar-benar sudah tertanam di dalam
karakternya.
Kido membuang ayunan kucingnya,
membangunkan tubuhnya, dan berdiri. Dia berjalan maju menuju Seto dengan mengepalkan
tangan kanannya mengepal, “Sudah berapa kali aku mengatakan ini, jangan
berbicara dengan sopan...?”
Pada waktu yang sama, butiran-butiran
air bergulir dari mata Seto yang mungkin sangat ketakutan bersamaan dia
mengeluarkan rengekan-rengekan pelan yang menyedihkan.
Ini
benar-benar buruk.
Aku
menyelinap diantara Seto dan Kido, kemudian
mengangkat tanganku dengan gestur ingin mendamaikan mereka. Kupaksakan sebuah
senyum di wajahku, "Tunggu,
berhenti, berhenti! Kido, bukannya kau terlalu berlebihan untuk marah dengan gaya
bicara Seto? Iya kan?" kudorong Kido pelan untuk
menghentikannya sesaat, namun Kido hanya melototiku dengan sorotan mata yang
seolah-olah mengatakan "Minggir atau
aku akan membunuhmu juga."
Ketidakramahannya benar-benar
terpancar dengan baik dari matanya. Seandainya aku mengibaratkan ini dengan film-film
pahlawan berkostum seperti Ultraman, dia pasti menjadi monster kecilnya. Dibelakangku,
Seto cekikikan dan mengulang apa yang kupikirkan tadi, “pfffff, monster kecil.”
Aku pun berbicara dalam benakku
untuk memperingatinya, ‘Hei, apa yang kau tertawakan!? Aku sedang
mencoba membelamu tau!?’ Seto segera menggumamkan, “Sa-saya mohon
maaf!” setelah itu.
Ah sial, kenapa dia harus
kelepasan bicara? Tuh liat, dia jadi menyia-nyiakan usahaku dan malah memberi
minyak ke api kemarahan Kido dengan gaya bicaranya.
“Kau berbicara terlalu sopan
lagi.....dan Kano. Kau tadi mengatakan
sesuatu kepada Seto, bukan?" Memang sih Kido berbicara dengan nada yang sangat amat tenang, tapi aku
bisa merasakan niat membunuh yang luar biasa tajam tersirat dalam perkataannya.
"Eh!?
t-tidak, aku tidak mengatakan apa-apa! Iya
kan, Seto?"
"Y-ya! Dia
tidak mengatakan apapun tentang monster
kecil atau pun semacamnya!"
Kemudian, Kido mengepal
tangannya dengan cepat dan melayangkannya tepat ke perutku, “Oof!”
Tidak bisa menahan pukulan
super kuat Kido, aku terjatuh ke selimut-selimut putih dibelakangku. SFX ‘Game Over’ terngiang dikepalaku akibat
K.O sempurna yang diberikan oleh Kido. Seto hanya menonton dan bersuara,"Eeeeek-!" menyedihkan.
Tertatih-tatih menahan rasa
sakit diperutku, kudongakkan kepalaku untuk melihat raut muka Kido. Sepertinya
amarah Kido yang menggebul-gebul menjadi berkurang karena tinjuannya tadi,
sekarang pelupuk matanya aktif memproduksi air yang asin dan akhirnya ia
terisak-isak.
Tidak lama setelah itu, Seto
bagaikan sudah sepakat dengan Kido untuk memulai sebuah pesta air mata dan ikut
menangis bersamanya. Baru saja aku sembuh dari pukulan mematikan tadi, aku
sudah disuguhi dengan dua anak yang meraung-raung.
........ah, aku tidak paham,
apa yang sebenarnya terjadi sekarang? Kau tau, biasanya bukannya harusnya
aku—sebagai korban atas semuanya—yang menangis? Namun, mengabaikan perasaanku
yang campur aduk, tangisan mereka malah tambah kencang.
"Aah,
ini buruk, kalau ini terus
berlanjut—“ Aku tersentak dari pikiranku saat melihat sesuatu yang sudah
familiar kembali muncul di mata Kido. Seperti yang kuduga, merah padam yang
menyala perlahan mewarnai matanya yang hitam dan figurnya lenyap sedikit demi
sedikit.
Oh iya....entah mengapa setiap
kali Kido kesepian, kesal, menangis, atau semacamnya, dia akan menjadi tidak
terlihat—atau lebih tepatnya dia menjadi ‘tidak
disadari oleh orang lain’. Namun, kekuatan ini juga mempunyai batasannya
sendiri, ketika dia ‘bersentuhan dengan
orang lain’ maka ‘keberadaannya’
akan kembali disadari orang lain.
Dengan demikian semua akan
baik-baik saja asalkan kita memegang tangannya saat dia akan menghilang atau
mencolek-colek di sekitar tempat dia menghilang sebelumnya. Tetapi, ini akan
sulit sekali dilakukan kalau Kido yang masih dalam keadaan tidak terlihat pergi
keluar tanpa peduli.
Aah, aku masih ingat; ada suatu
waktu kemampuan Kido aktif gegara emosi negatif dan dia pergi dari kamar tanpa
bilang-bilang. Dia yang tidak
balik-balik membuatku dan Seto khawatir dan kami pun mencarinya selama
berjam-jam. Agak memalukan sih, tapi
pada saat itu aku tidak bisa memanggil Seto cengeng karena aku sendiri tidak
bisa berhenti menangis.
Pada akhirnya, kami tidak
menemukannya sampai hari beranjak pagi, dan kami pun berberat hati kembali ke
kamar untuk istirahat sejenak. Tetapi, betapa terkejutnya kami saat melihat
pelaku yang sudah kami cari-cari sedang tidur di kasurnya dengan wajah polos,
tidak tau penderitaan kami. Jujur, aku tidak ingin hal seperti itu terjadi
lagi.
Itulah sebabnya....daripada
ikut merengek dengan mereka lebih mudah kalau aku bisa menemukan cara agar mereka
berhenti menangis sekarang. Untuk itu aku membayangkan wujud itu dikepalaku.
Wujud khusus yang sengaja
kusimpan, wujud yang belum pernah kuperlihatkan ke mereka, dan sekarang
kubiarkan bentuk, figur, aroma, dan suaranya mengambang kepikiranku......
Dua “Wow!” gembira terdengar
setelah aku membuka mataku. Mendapatkan reaksi yang kuharapkan, semangatku
sendiri pun ikut naik.
Dengan lincah aku melompat ke
lantai, melambai-lambaikan satu kaki kecilku kepada mereka. Awalnya mereka
berdua terkejut, tetapi setelah melihat tingkahku –alias si kucing—yang imut,
wajah mereka langsung dihias dengan senyum yang lebar.
"Ada kucing!"
Ah, benar-benar mengharukan,
hanya untuk momen ini sajalah aku sudah bersusah payah mencari dan mengamati
kucing liar yang berkelana di malam hari. Berusaha mengingat wujudnya.
Selama beberapa bulan aku
bersama mereka, aku mempelajari bahwa Kido suka hal-hal yang imut dan Seto suka
hewan. Kalau begitu, maka wujud ‘kucing hitam’ ini seharusnya adalah
sesuatu yang mereka berdua sukai. Seperti yang telah kuharapkan, keduanya
langsung terlihat sangat tertarik kepadaku.
Kido mencodongkan badannya dari
tempat tidur dan menepuk-nepuk tangannya, “Ku-kucing kecil, kucing manis,
kemarilah! Ayo ke sini, ke sini!”, pada waktu yang sama Seto juga mulai
memanggilku.
Setelah kulihat baik-baik,
warna merah padam di mata mereka perlahan menghilang dan wujud Kido kembali
menjadi utuh.
Ufufufu,
imut sekali. Kalau sekarang aku
melompat ke pangkuan mereka, aku yakin mereka akan sangat senang. Tapi mereka
terlihat terlalu manis sekarang....mungkin aku akan menggoda mereka sedikit
lebih lama lagi ♪
Kulangkahkan kakiku mendekati
mereka sampai bisa dicapai—kemudian aku langsung kabur saat akan ditangkap.
Kuulang hal ini beberapa kali seolah-olah ragu-ragu untuk bermain dengan mereka.
Tampaknya tindakan ini menarik hati mereka dan mereka mulai melakukan hal yang
makin lama semakin aneh agar bisa menarik perhatianku.
Ini sangat memuaskan. Jujur,
saking senangnya diriku aku bisa tertawa dengan kencang hingga jatuh ke lantai.
Mereka terlihat juga menikmati hal ini, aku tidak bisa berhenti sampai sini
saja ♪
Lalu,
apa selanjutnya? Mungkin aku harus melakukan sedikit tarian. Ya,
itu sepertinya ide yang bagus. Dengan bahagia aku meloncat ke
meja dan memulai tarian kecil. Melihat
hal ini, mereka berdua mulai tertawa terbahak-bahak.
Aah, senangnya. Sudah lama aku
tidak merasa sebahagia ini.
Tarianku mulai menjadi liar—‘klank’, tiba-tiba aku mendengar suara
dari pintu kamar. Awalnya, aku tidak terlalu memikirkannya, tetapi saat aku
melihat bagaimana Kido dan Seto menatap pintu dengan pucat, aku pun juga
menjadi pucat.
Aku tidak melihatnya karena aku
terlalu fokus tertawa, tapi sepertinya di waktu itu, pintu dari kamar kami
terbuka. Di lorong yang tersambung dengan kamar ini, petugas patroli malam
tergeletak dengan spektakuler ke lantai.
Kenapa dia mendadak jatuh di
situ? Kebingunganku hanya datang sesaat karena alasannya cukup mudah dipahami
jika kau memikirkannya. Aku membeku, seluruh badanku menjadi dingin.
“A-apa yang harus kita lakukan,
kucing kecil?” tanya Kido dengan was-was. Apa yang harus kita lakukan? Aku sendiri
juga ingin menanyakan itu. Tanpa ide satu pun, aku hanya bisa mengeluarkan
suara, “meong~”
........setelah itu, tampaknya
kondisi mental petugas patroli itu agak terganggu dan dia pun dikirim ke
fasilitas lain setelah menyatakan dia telah “memasuki ruang 107 untuk mengingatkan anak-anak di dalamnya agar tenang
karena sudah larut malam, tapi malah ditemui dengan kucing hitam yang
menari-nari dengan gila.”
Tanpa perlu mengatakan apa-apa
lagi, tentu saja insiden itu memicu rumor-rumor yang lebih buruk lagi terhadap
ruangan 107, ‘Kamar Monster’ kami.
~***~
‘Kamar 107’; terletak di paling
ujung bangunan.
Aku kembali duduk di
ranjangku—bagian bawah kasur yang kotor dari tempat tidur bertingkat di kamar
ini. Malam ini kami kembali berdiskusi. Topik hari ini adalah – ‘Kita, yang dikatakan sebagai monster dari panti asuhan ini.....tidak
bisa mengabaikan masalah ini lagi,’ atau semacamnya.
Terima kasih atas kejadian beberapa
hari lalu, situasi kami sekarang sama sekali tidak meningkat. Malah, reputasi
kami semakin lama semakin memburuk, bahkan ada berbagai macam gosip tersebar
tentang kami di mana-mana.
Misalnya—‘Hei, kau dengar? Ada suara isak
tangis yang selalu terngiang pada malam hari di toilet perempuan lantai
satu....anehnya, saat dibuka tidak ada seorang pun di dalamnya!’
Tambah lagi, sepertinya
semuanya sepakat bahwa ‘hantu itu sering
mendatangi kamar kami’. Serius deh, siapa sih yang memulai gosip ini? Bukan
sering lagi—malahan dia tinggal di
kamar kami!
Aku menanyakan hal ini kepada
Kido, tetapi kemudian raut mukanya berubah dan dia berkata dengan penuh amarah,
“Aku
akan menggebuki orang yang memulai rumor ini...!” sepertinya dia tau siapa
pelaku gosip itu. Untungnya, aku berhasil berbicara baik-baik dengannya untuk
menghentikan itu.
Contoh lain—‘Mereka
benar-benar anak-anak iblis mengerikan. Kau tau? Seorang pengurus pernah
bercakap dengan anak dari kamar 107, tapi esoknya dia langsung menghilang!’
Aku
sangat kebingungan saat mengetahui gosip ini, tapi kemudian aku mendengar Seto
berkata, “Ngomong-ngomong, sebelumnya ada
pengurus yang mengenakan celana dalam perempuan. Dia langsung menghilang saat
aku bertanya ‘bukannya laki-laki tidak seharusnya mengenakan itu?’ ”
Mungkin itu juga salah kami. Namun, penyebab pengurus
itu mengenakan celana dalam wanita atau pun kenapa dia pergi tidak bisa
dipahami anak kecil seperti kami.
Dan gosip terakhir—‘Ada
bocah yang terus-menerus mengendus kucing’.....untuk yang kali ini
adalah aku. Itu sangat memalukan.
Gosip-gosip ini menumpuk hari
demi hari hingga kami bahkan tidak bisa menumpasnya sedikit demi
sedikit.....yah, aku mengatakan ‘kami’
tapi kedua orang ini sama sekali tidak memikirkannya, jadi aku lah yang harus
mengerjakan semuanya.
Hari ini aku kembali menyusun
rumor-rumor untuk menjadi percontohan. Kulihat Seto dan Kido untuk suatu saran
atau semacamnya,
“Kupikir Kano menjijikkan,”
Jawab Kido tanpa ada keraguan dipandangannya.
"Eh? A-ah… eh?" Mendengar
jawaban tanpa ampun ini, terkadang aku berpikir apakah ada maksud tersembunyi dari perkataannya?
“Menjijikkan.”
Tidak, tidak, pasti ada yang
lebih mendalam dari perkatannya
“...ah, aku bukan menanyakan
apa perasaanmu mengenai aku mengendus kucing. Aku bertanya bagaimana kita
lanjut dari ini....” Aku berusaha mengelak dari perkataan tajam Kido dan
kembali ke topik yang sebelumnya. Kido hanya menguap ngantuk, terlihat tidak
terlalu peduli dengan masalah ini.
Aku mulai merasakan air mata
mengumpul di pelupuk mataku. Kenapa aku dipanggil ‘menjijikkan’? Padahal aku cuma berusaha sebisaku.
Sepertinya Seto menebak apa isi
pikiranku dan diam-diam bersandar ke dekatku, “Itu tidak menjijikkan. Saya juga
sering melakukannya.”
.....maaf, Seto. Kurasa memang menjijikkan melakukan itu setiap
saat.
Kido mengusap-ngusap matanya
sebelum berkata dengan ngantuk, “Ngomong-ngomong, seberapa lama lagi kita akan
berdiskusi? Memangnya ada gunanya kita melakukan ini?”
“Uu...tidak, itu.....kau
benar.” Aku tidak bisa menyanggah apapun untuk itu.
Biarpun hampir setiap malam aku
mengumpulkan mereka berdua dengan tujuan berdiskusi, kami sama sekali tidak
pernah menemukan cara terbaik untuk mengubah situasi kami sama sekali.
“Yah....tapi kalau begini
terus, kita mungkin akan benar-benar diusir, kan?”
Seto gemetar dengan keras saat
mendengar ucapanku, “Ki-kita akan diusir?”
Kira-kira terbuat dari apa
kantung air mata Seto? Sebenarnya cukup hebat bagaimana dia bisa memproduksi
air mata yang banyak dalam waktu yang singkat.
Aku menepuk punggungnya, “Aah,
ayolah. Semuanya akan baik-baik saja, jangan menangis lagi,” Seto mengangguk pelan sambil mengusap matanya.
Salah satu kebagusan Seto
adalah bagaimana dia tidak menangis dalam waktu yang lama. Tetapi dia menangis
cukup sering.
“Tidak usah dipikirkan. Kurasa
masalah ini tidak akan memuncak sampai mereka mengatakan ‘pergi sekarang juga!’ atau semacamnya. Para pengurus sepertinya
agak takut dengan kita, jadi jika kita bisa meningkatkan rasa suka mereka pada
kita......”
“Ra-rasa suka.....?”
Meskipun aku mengatakan itu,
aku tidak mempunyai ide sama sekali. Pada akhirnya, mungkinkah kami bisa
meningkatkan perasaan positif mereka kepada kami?
Biarpun tidak ada lagi gelar
yang lebih rendah selain ‘monster’, bisakah kami paling tidak meningkatkan
reputasi kami sampai kami bisa dipanggil ‘manusia’?
“....dia ketiduran,” saat aku
sedang bersusah payah berpikir, Kido terlelap dengan posisi duduk.
Pantas saja dia tidak memarahi
kesopanan Seto. Baguslah, karena aku sudah bisa menebak kalau dia bangun dia
akan seperti gozila mencari mangsa.
Aku meletakkan tanganku di
punggungnya dan dengan hati-hati, merebahkannya ke tempat tidur. Biarpun saat
bangun dia dingin dan penyendiri tapi Kido sangat imut saat dia tidur dengan
tenang.
Aku tertawa lembut sambil
menyucuk-nyucuk pipi Kido, “Dia tidak terlihat seperti bocah menakutkan yang
bermasalah saat tidur”
Seto pun tertawa kecil,
menambahkan, “Asalkan dia tidak marah.”
Pada saat itu, Kido mendengkur
pelan dan Seto meloncat sambil memekik.
Seandainya orang-orang yang
menyebarkan gosip dan rumor melihat mereka sekarang, pasti orang-orang itu akan
terkejut dan mengatakan kalau tidak ada yang perlu ditakuti dari mereka.
Tetapi.....aku tidak pernah
memberitaukan hal ini kepada orang lain. Lagipula, saat kami pertama kali
bertemu bahkan aku pun takut dan memikirkan Kido itu hantu.
Seandainya kita, manusia, tidak
mencoba....seandainya kita tidak berkomunikasi satu sama lain—kita tidak akan
pernah mengetahui kebenarannya.
Seandainya mereka memahami itu
akan lebih mudah, namun sulit untuk memberitaukan itu kepada mereka. Seandainya
semua orang mengetahui itu, mungkin saja kami bisa hidup dengan tenang. Tetapi
masalahnya adalah.....
Seto yang tadi terjatuh karena
terkejut mulai merangkak kembali ke ranjang, “Jadi.....sepertinya ‘mata’ kita memang masalah terbesar....”
katanya. Tanpa kusadari, ternyata mata Seto kembali menjadi merah, “....maaf, saya mendengarnya lagi.....”
Aku tersenyum kecil dan
berbicara dibenakku, ‘Kemampuanmu cukup berguna sekarang. Kita tidak
perlu takut Kido terbangun tiba-tiba.’
Seto tersenyum dengan bahagia dan menjawab
dengan pelan, “Jika begitu mari kita gunakan dengan baik.”
‘Sungguh, kemampuan macam apa yang
kau punya ini? Pasti......kekuatanmu sejenis dengan kemampuan supranatural yang
pernah kita tonton di TV, kan?’
“Um...mungkin......ini berarti
kita harus menanyakan hal ini kepada seseo.....rang.....” selesai dia
berbicara, matanya kembali dipenuhi dengan air.
‘Ahaha, maaf soal itu. Aah,
kita memang tidak bisa mengatakan tentang kemampuan ini kesembarang orang,
kan?’
“Y-ya, mengatakannya ke orang
lain...... terlalu menakutkan.....”
Itu benar. Di salah satu
diskusi kami, kami pernah membicarakan tentang bagaimana “kita disebut ‘monster’ hanya
karena kemampuan mata kita.”
Sejujurnya, semua pengetauhan
kami mengenai kemampuan masing-masing datang dari pengalaman kami sendiri. Aku sih tidak apa-apa, tapi Seto dan Kido
tidak bisa mengontrol kemampuan mereka dengan sempurna, bahkan sampai sekarang.
Seandainya kami semua bisa mengendalikan
kemampuan kami, aku yakin gosip-gosip tentang kami akan berkurang dari
setengahnya sekarang.
Usul mengenai “bukannya seharusnya kita menanyakan hal ini
ke orang dewasa?” juga pernah
dikeluarkan. Namun, kemungkinan itu hancur dengan cepat saat kami menonton
sebuah serial TV pada hari itu.
Entah mengapa, pada hari itu
ada serial berjudul ‘Psikometer Eiji’
tayang di TV; serial itu berkisah tentang bocah yang bisa membaca pikiran orang
lain.
Baru saja kami bersenda gurau
tentang bagaimana bocah itu mirip dengan Seto, si anak indigo itu malah
ditangkap oleh organisasi misterius, dijadikan subyek eksperimen mengerikan,
dan akhirnya mati.
...Disaat itu, ekspresi
kami—terutama Seto--.....kira-kira bisa digambarkan seperti ‘telah ditinggal di dalam kulkas dan
dibekukan dalam waktu yang lama’.
Dan tepat pada waktu itu kami
bertiga akhirnya sadar kalau ‘orang yang
memiliki kekuatan psikis akan dieksperimen dan mati.’
BTW, kupikir Seto akan
merinding dan kembali menangis, tapi dia hanya tanpa suara menyelinap ke dalam
selimut dan tidak keluar seharian.
Setelah itu, ‘Psikometer’ menjadi kata yang tabu untuk
Seto, dan akhir-akhir ini, kata itu juga menjadi kata ajaib yang terkadang Kido
gumamkan untuk mengamati reaksi Seto.
Dan karena itulah kemampuan
kami tetap menjadi sebuah rahasia, terkurung di dalam kamar ini dan hanya kamar
ini.
‘Ada banyak hal yang masih
belum kita ketahui tentang kemampuan ini, maksudku—kita bahkan tidak tau
darimana asalnya dan alasan kemampuan ini muncul.....kalau dipikir-pikir
bukankah itu agak menakutkan?’
“Memang menakutkan....malah
kemampuan saya dan Kido dapat aktif mendadak....” Seto mengembuskan napas.
Tampaknya kekuatan dari
kemampuannya untuk ‘membaca pikiran orang
lain’ bervariasi sesuai tempat dan waktu. Saat kemampuannya berada di titik
terkuatnya, dia bahkan bisa merasakan ‘emosi’
dan ‘kenangan masa lalu’
tagetnya.
Sebaliknya, kalau kemampuannya
tidak diaktifkan sepenuhnya seperti sekarang, dia hanya bisa membaca ‘perkataan yang dipikirkan targetnya secara
sengaja dan sadar’
Seto pernah dengan kikuk
menjelaskan rincian kemampuannya kepadaku, tapi masih ada berbagai macam hal
yang hanya bisa dimengerti oleh pemilik kekuatan yang sebenarnya.
‘Kalian berdua benar-benar
memiliki kemampuan yang merepotkan. Apalagi Kido; siapapun yang memandangnya
dapat melihat kapan kemampuannya aktif’
Meskipun sekarang kemampuan
Kido tidak sesulit dulu untuk diprediksi, Kido sepertinya masih tidak bisa
mengendalikan kemampuan ‘menghilang’nya.
Dia menyatakan kalau
kemampuannya aktif saat dia marah, tapi apa. penyebab. sebenarnya?
Untungnya, belum ada hal yang
sangat buruk terjadi....aku ingin berpikir seperti itu, tetapi bagaimana pun
juga, mempelajari bagaimana mengontrol kemampuan kami sebelum situasi terburuk
benar-benar terjadi sangatlah penting.
Sungguh.....apakah ada cara
agar kami bisa keluar dari masalah ini?
“Seandainya saja paling tidak
kita dapat menahan kekuatan kita....pasti bagus....”
‘Menahannya, huh....? Yah,
pertama-tama kau harus fokus mencoba menahan air matamu dulu, oke?’ Aku tersenyum saat aku berbicara dalam benakku.
Seto memerah bersamaan ia mengangguk dan bergumam setuju.
‘Kau tau, aku serius berpikir
mungkin hal itu benar-benar berhubungan. Soalnya kemampuanmu dan Kido tidak
aktif saat kalian tidak menangis’
“Te-tetapi untuk saya hal itu
mustahil....saya sangat ingin berubah, namun sungguh sulit melakukan itu.....”
Seto terlihat sedih.
‘Ngomong-ngomong, kau juga
belum merubah kebiasanmu berbicara dengan sangat sopan’
“Uu...iya. Saya memohon maaf,” melihat
bagaimana hatinya remuk, sudah jelas kalau ia tidak melakukannya dengan
sengaja. Kido seharusnya telah mengetahui ini, tapi sampai sekarang dia tidak
menunjukkan tanda-tanda menghentikan prilaku kasarnya terhadap kebiasaaan Seto.
Sejujurnya, melihat kesulitan
mereka menangani situasi ini membuatku makin merasakan kekapabilitasanku
sendiri. Itu terasa agak mengerikan.
Tidak....kebanyakan anak-anak
disekitarku pun tidak terlalu berpikir sepanjang diriku...ah, aku sangat
membenci bagian diriku yang memandang rendah ‘perikemanusiaan’ orang lain.
“Tetapi, engkau sungguh hebat,
Kano. Anda dapat mengendalikan kekuatan anda dan bahkan bisa menolong kami
dengan kemampuan kami.” Seto tersenyum ketika ia mengatakan itu, tapi entah
mengapa aku tidak merasa senang sama sekali saat mendengarnya.
‘Ehh? Itu gak benar kok! Aku
sama saja dengan kalian berdua. Masih banyak hal yang tidak kuketahui, hal yang
kutakuti.....’
"……Huh?" Seto yang
seharusnya bisa membaca pikiranku tiba-tiba sedikit memiringkan kepalanya.
Aku bergegas menatapnya dan
tepat pada waktu itu warna merah padam lenyap dari matanya, digantikan dengan
warna aslinya.
“A-aneh sekali. Saya rasa kemampuan
saya terhenti! Hmm....maafkan saya, jadinya selalu begini.” Seto menundukkan
kepalanya.
Kupaksa sebuah senyuman di
wajahku, “Um, aah, gakpapa kok, gakpapa! Tidak usah mengkhawatirkannya.”
“Tetapi, perihal terakhir yang
anda pikirkan sebelumnya......saya kurang memahaminya.....”
“....Oh, begitu yah. Itu
pasti—yah, karena kemampuanmu mulai berhenti, perkataanku jadi campuraduk dan
berantakan, kan?”
“I-iya, mungkin anda benar.
Aaaaah.....kekuatan ini jahat sekali, mendadak muncul dan menghilang tanpa
peringatan.” Pundaknya merosot ketika ia berbicara.
“Jangan pikirkan, itu tidak
terlalu buruk. Melihatmu rewel tentang kemampuan juga cukup lucu loh.” Kataku
bergurau. Seto pun menggembungkan pipinya seperti berkata “Saya mohon jangan mengolok-ngolok saya!”
“Tetapi saya....benar-benar
harus berubah! Saya tidak terlalu nyaman selalu menyusahkan semua orang seperti
ini.” Kata Seto dengan semangat. Tidak seperti dirinya yang malu-malu tadi, dia
tiba-tiba terlihat cukup bisa diandalkan.
“Ahaha, yah, lakukan perlahan
saja. Meski kau tidak bisa berubah dalam sekejap, itu—“ “—tidak bagus”
Kido lah yang mendadak menyela
perkataanku. Wajah tidurnya yang imut digantikan dengan raut wajah menusuk yang
biasanya dan dia sekarang sedang melototi Seto dengan tajam.
“Terlalu sopan. Kapan kau akan
menyingkirkan kebiasaan menjengkelkanmu itu?” sahutnya pelan, Seto pun sontak
mendecik kecil.
Biarpun aku sudah terbiasa
dengan dialog semacam ini, entah mengapa sekarang aku merasa sangat kesal dan
aku menyangkalnya sebelum aku bisa memikirkan kalimatku dengan benar,
“....sikapmu itu tidak bagus tau.”
Kido yang masih rebahan
memindahkan pandangannya dari Seto ke aku saat aku berbicara, “Apa katamu?”
Kido perlahan berdiri dan melototiku ketika ia mengatakan itu.
Biasanya kalau sudah sampai
seperti ini aku pasti akan tersenyum dan mencoba memuluskan permasalahannya,
tapi entah kenapa hari ini aku tidak bisa menenangkan amarahku sendiri.
“Apakah kau tidak mendengar apa
kata Seto? Bukannya dia baru saja bilang dia ingin berubah?”
“Tapi dia masih belum berubah,
kan? Biarpun aku sudah mengatakannya berulang kali,” Tanpa menunjukkan
tanda-tanda untuk menyerah, Kido mengucapkan keberatan.
Mendengar perbincangan kami,
Seto menyuarakan “U-um...” pelan seperti mencoba melerai kami. Tapi tidak ada
lagi yang bisa menghentikanku sekarang.
“....sikapmu membuatku marah.”
Aku seharusnya bisa—aku
harus—berhenti berbicara, tapi aku telah mengutarakan perasaanku yang
sebenarnya. Tepat setelah itu, semua pikiranku mengalir keluar dari mulutku
tanpa bisa berhenti.
“Kau tidak memikirkan orang
lain, kau terus-menerus menjadi keras kepala, dan hanya memikirkan kemauanmu
saja setiap hari! Memangnya kau pikir kau siapa? Jujur, aku tidak bisa lagi
terus lanjut setuju dengan apa yang kau lakukan. Dan Kido, kau—“
Hantaman keras melayang dengan
cepat ke wajahku, membuyarkan pandanganku. Sejenak otakku membeku—tidak paham
apa yang terjadi, tapi pekikan teror Seto yang sangat pelan menyadarkan aku
kalau Kido telah menamparku.
Kulototi Kido, “Itu sakit,” Perasaan negatif yang tidak
pernah kurasakan selama ini mulai mengisi hatiku.
Kido pun dengan jelas
menunjukkan kebenciannya melalui ekspresinya, “Siapa yang kau bilang tidak
pernah memikirkan orang lain? Kau juga sama. Kau tidak tau apa-apa tentang
diriku,” Perlahan, mata Kido berubah menjadi merah padam dan tangan keji yang
menamparku tadi mulai menghilang sedikit demi sedikit.
Biarpun aku sudah melihatnya mengaktifkan
kemampuannya, aku tidak menenangkannya seperti biasanya dan hanya menyuarakan
rasa jijik, “Apa yang kau lakukan selama ini hanya menggebukiku, bagaimana aku
bisa tau apapun tentang dirimu? Aku bukan Seto, tau? Dan lalu apa, kau hanya
akan menghilang lagi? Enak yah, punya kemampuan yang cocok sekali.”
Pastinya ada cara lain yang
lebih baik untuk mengatakannya, tapi sekarang aku hanya membiarkan diriku
terbawa arus emosiku dan mengucapkan kata-kata ejekan itu.
Sekilas ada kebingungan muncul
dimimik muka Kido—bagai tidak mengerti, namun kemudian darah langsung memuncak
ke wajahnya, meluap dengan kemarahan, dan menarik kerahku dengan kasar, “KAU!”
Aku terjatuh, tidak bisa
melakukan apa-apa disaat Kido tiba-tiba mendorongku dengan seluruh kekuatannya.
Aku ingin melawan balik, tapi biarpun aku sudah meronta-ronta dengan seluruh
tenagaku, aku masih tidak bisa merubah posisi semulaku. Sayangnya, tidak ada
yang bisa menyangkal kalau Kido sungguh lebih kuat dariku. Dia terus menerus
menindihku dan menyerang wajahku tanpa ampun dengan tamparan-tamparan yang
berulang. Seto hanya bisa mengeluarkan “eek...!” saat mendengar suara pukulan.
“....sakit...!....Apa? Kau
hanya akan....”
“Berisik! Diamlah!!!”
Aku membuka mulutku namun Kido
segera meletakkan kedua tangannya di bibirku. Tidak bisa berbicara, aku hanya
bisa berdecit dan menendang-nendang udara.
Selama aku masih dibungkam, air
mata Kido mulai menetes ke wajahku, “...Kano...aku....membencimu...!”
Hatiku serasa terkoyak-koyak
saat mendengar perkataan Kido. Bahkan kakiku juga kehilangan seluruh
kekuatannya. Ini berbeda dengan perasaan
sakit membakar dari dihantam. Ini...diriku merasakan kepedihan mendalam yang
pahit....serasa telah direndam ke dalam air es.
Melawan ketakutan membutakan
yang mulai terbangun di dalam diriku, aku mendorong tangan Kido. Tangannya kembali
ke wajahnya dan menutupinya saat dia mulai merengek pelan.
Aku bahkan tidak bisa
memikirkan apapun untuk dikatakan kepadanya yang menangis.
Apa yang harus kukatakan?
Sekarang dia telah mengatakan kalau dia membenciku, apa yang bisa ku—
“—makasih sudah menamparku.”
Otakku yang sedang berusaha
keras memikirkan jawaban untuk dikatakan ke Kido malah disela oleh mulut
bodohku yang mengeluarkan kalimat mustahil.
Aku sangat kesusahan. Aku sama sekali tidak berencana mengatakan
hal seperti itu, tapi...kenapa aku malah....?
Kido tampak tertegun mendengar
perkataanku dan pada saat itulah aku sadar kalau aku telah melakukan sesuatu
yang tidak bisa kutarik kembali.
Sejujurnya, aku lebih ingin dia
memukulku seperti biasanya.
Jika itu bisa membuatnya
senang, jika itu bisa membuatnya tidak membenciku, aku tidak peduli jika aku
berakhir dengan lebam-lebam dan mata biru. Toh aku ini tidak berharga sama
sekali.
Namun, Kido tidak mengangkat
tangannya untuk menamparku lagi. Dia hanya menyapu air matanya dengan tangan
yang membungkamku sebelumnya. Dia menjauh dari tempat tidur tanpa mengeluarkan
suara.
“Tu-tunggu, Kido! Aku minta
ma—“ “—cukup. Jangan bicara denganku.”
Aku mencondongkan diriku keluar
dari tempat tidur untuk berbicara tapi Kido hanya menjawabku dengan dingin
tanpa berbalik sama sekali.
Saat aku masih bingung
bagaimana aku menanggapi sikap dinginnya, Seto bergegas maju dan mengatakan,
“I-ini semua salah saya!” Setelah itu, ia menutup mulutnya, menyadari kalau dia
berbicara terlalu sopan lagi.
Biarpun aku biasanya tidak
terlalu memikirkan kebiasannya yang ceroboh, sekarang, bahkan diriku merasakan
sedikit kebencian terhadap kesopanan itu.
Namun Kido tidak menegur ucapan
Seto seperti biasa dan hanya mengatakan dengan pelan, “Seto juga. Cukup. Aku
akan pergi dari tempat ini.”
Aku dan Seto membeku saat
mendengar kalimat terakhirnya.
“A-apa yang kau...?
“Seorang pengurus pernah
berbicara denganku tentang ini. Katanya ada yang mau mengadopsiku....tadinya
aku akan menolaknya, tapi sekarang aku sangat ingin pergi dari tempat ini.”
“A-anda bergurau saja, bukan!?
Hal seperti itu....” tanya Seto tiba-tiba, dan akhirnya Kido pun berputar, “Aku
tidak bergurau. Dan sudah kubilang jangan terla.....ah sudahlah.”
Kido meringis sedikit sebelum
berbalik kembali dan mengubur dirinya ke dalam selimut tempat tidurnya, “Kalau
kau berbicara denganku lagi...aku akan benar-benar meninjumu.” Meninggalkan peringatan terakhir, dia tidak
berbicara lagi.
Jadi tadi itu bukan pukulan
sungguhan?
....setelah itu keheningan
berlanjut. Aku dan Seto tidak memandang satu sama lain. Kami malah terus
menerus menatap ranjang Kido.
Anehnya, Seto tidak menangis,
dia juga tidak terlihat menahan air matanya. Mungkin otaknya masih belum
selesai memproses apa yang baru saja terjadi karena shok.
Aku tidak bisa bicara sekarang.
Otakku pun berada di dalam kepusingan yang sama.
Aku tidak mungkin bisa
memperbaiki situasi ini setelah dia mengatakan kalau dia membenciku dan tidak
ingin aku berbicara dengannya. Mungkin karena Kido mengetauhi tentang ini, dia
melakukan itu. Memperlakukan orang yang katanya ia ‘benci’ seperti
musuh....adalah hal yang benar.
“....apa yang akan terjadi pada
kita?”
“.....yah....”
Aku memberi jawaban super
singkat kepada pertanyaan mendadak Seto, menyandarkan punggungku yang lelah ke
ranjangku dan menutup mataku. Jika aku tidak melakukan itu, aku pasti hanya
akan melampiaskan amarahku kepadanya.
Seto diam sejenak sebelum
dengan gagap mencoba memulai kalimat lain, tapi dia menyerah setelah melihat responku
yang kurang. Dia menaiki tempat tidur di atas sambil mengatakan “Saya memohon
maaf sebesar-besarnya.”
Setelah beberapa lama, suara
isak tangis yang pelan terdengar dari atasku. Setelah beberapa menit
tangisannya berhenti dan kesunyian menyerang seluruh ruangan.
Di dalam kesenyapan berbagai
macam pikiran mulai muncul di dalam benakku, namun tidak ada satu pun yang bisa
mengembalikan kami ke kebahagiaan kemarin. Di tengah-tengah pikiran ini aku
tertidur tanpa sadar.
Tanggal pengadopsian Kido hanya
tinggal seminggu lagi.
~***~
Dalam satu minggu, kami tidak
mengucapkan satu bilah katapun kepada satu sama lain.
“Aah, cuacanya bagus, bukan?
Cocok buat piknik~” suara yang datang dari kursi pengemudi terdengar ceria dan
riang, bagai berusaha memecah keheningan tidak nyaman yang berada di dalam
mobil ini.
Duduk di belakang, aku tidak
menjawab dan hanya mengembuskan napas.
....ini bukan karena aku dengan
sengaja bermaksud untuk bersikap dingin sih.
Di luar jendela mobil ini,
semua pejalan kaki yang lalu lalang di trotoar mengenakan jaket yang tebal.
Membicarakan tentang piknik dengan pemandangan yang sudah jelas menunjukkan
suhu sangat rendah di luar.....aku akan mati kedinginan seandainya kami
benar-benar akan pergi piknik. Aku kan tidak tahan dengan cuaca dingin.
Tapi kalau aku mengatakan hal
itu mungkin aku bisa dianggap sebagai bocah kasar yang tidak peka. Itu akan
merepotkan. Karena itulah aku menyimpan berbagai pikiranku ke dalam diriku
sendiri dan hanya mengeluarkan helaan napas.
“Te-tetapi, mungkin ini masih
terlalu dingin untuk pergi piknik...” ,ungkin karena dia tidak tahan lagi
dengan kesunyian di dalam mobil, Seto berbicara dengan senyum yang dipaksakan
dari tempat duduk di samping pengemudi.
Awalnya kupikir dia membaca
pikiranku lagi, tetapi tampaknya tidak begitu. Soalnya matanya tidak berubah
menjadi merah padam.
“Apa yang kamu katakan~? Bukannya cuaca seperti ini tidak ada apa-apanya
untuk anak-anak? Ayo kita mulai bersiap untuk piknik setelah kita sampai di
rumah!” suara yang riang kembali menggema dari kursi pengemudi.
Seto terlihat agak kesusahan, tapi
dia hanya tertawa kecil, terlihat bingung harus melakukan apa lagi.
Ini agak mengejutkan kalau
ditinjau dari kepribadiannya, tapi sebenarnya Seto adalah tipe yang suka bermain
diluar. Dia sering pergi keluar sendirian dan pulang dilumuri dengan lumpur, dia
seperti sudah bermain dengan binatang seharian.
Pada suatu hari di bulan lalu
juga sama. Biarpun aku sudah meringkuk di dalam kamar, kedinginan—Dia malah
berlarian seharian di luar. Dan karena itulah, Seto mengatakan sesuatu seperti
“terlalu dingin untuk pergi piknik”
adalah hal yang aneh.
Tapi aku paham kenapa Seto
memilih untuk memberikan kebohongan kecil itu. Bagaimana pun juga, pergi pinik
di hari dingin hanya akan membuat kami terjebak dalam situasi memalukan yang
buruk.
Diam-diam kulirik ke sebelahku dan
sekilas pandanganku bertemu dengan Kido yang duduk di belakang kursi Seto. Dia
langsung terlihat kesal dan memutar pandangannya ke jendela mobil disampingnya.
Aku diberi harapan palsu saat
mata kami sekejap bertemu, pundakku hanya bisa merosot jatuh melihat prilakunya
yang tidak berubah. Pada waktu yang sama, aku merasa sebal dan memalingkan diri
untuk melihat keluar jendela disampingku.
Sejak perkelahian kami saat
diskusi minggu lalu, aku dan Kido masih belum berbaikan. Karena kami tinggal di
ruangan yang sama, mustahil untuk tidak bertemu sama sekali. Namun, biarpun
sudah sampai batas di mana sulit untuk mempertahankan tingkah seperti ini
kepada satu sama lain, kami yang keras kepala memilih tetap bungkam.
Seto sering terlihat gugup
sekitaran waktu seminggu itu, tapi mungkin dia tau kalau campurtangannya hanya
akan merumitkan masalah, dan akhirnya dia tidak mengatakan apapun semasa
perkelahian kami.
Yah, bukannya aku tidak ingin
berbicara dengan Kido. Sebaliknya, aku malah ingin memperbaiki hubunganku
dengannya secepat mungkin.
Terkadang ada saat aku berjalan
ke arahnya tanpa menyadari apa yang kulakukan. Tetapi, Kido akan melototiku
dengan tajam di saat aku mendekatinya dan terus menolak memperbaiki hubungan
kami.
Selain itu, dia juga mengatakan
untuk jangan berbicara dengannya lagi, tidak ada lagi yang bisa kulakukan.
Akhirnya, kesenyapan yang merana terus membentang sampai hari ini......
“Ah, ngomong-ngomong, maaf yah
semuanya terjadi begitu mendadak~ Apakah pengelola panti asuhan tidak
memberitau kalian kalau kami akan mengadopsi kalian bertiga?”
Mereka belum, makanya
perkembangan ini memang cukup tiba-tiba.
Orang-orang yang akan
mengadopsi kami memiliki nama belakang ‘Tateyama,’
dan dari awal mereka memang bermaksud untuk mengasuh kami bertiga, bukan hanya
Kido.
Tentu saja aku dan Seto tidak
tau apa-apa tengtang itu sebelum dua hari lalu, saat pengelola panti memanggil
kami untuk berbicara.
Kurang masuk akal untuk
mendadak memberitau kami kalau keluarga baru akan menjemput kami dua hari lagi
di saat kami bahkan belum pernah sekali pun berbicara atau pun melihat mereka.
Biarpun kami dianggap sebagai monster kami masih anak-anak, perlakuan ini
terlalu kejam.
Intinya, paling mereka hanya
ingin kami keluar secepatnya dari panti asuhan, tapi cara mereka yang cukup
kasar membuat kami agak marah.
Biarpun ada pilihan untuk
menolak, aku dan Seto langsung setuju untuk diadopsi. Lagipula kami tidak
menyayangi atau pun menyesal meninggalkan panti asuhan itu.
Dan yang paling penting adalah
ini merupakan kesempatan yang bagus untuk kami karena kami cukup depresi
memikirkan kemungkinan Kido akan meninggalkan kami sebelum kami bisa berbicara
dengannya kembali.
“Sa-sama sekali tidak! Kami
sangat senang kami bisa diadopsi dan diasuh bersama! I-iya kan, teman-teman....?”
kata Seto yang berbalik ke arah kursi belakang
‘Kenapa kau malah berbalik,
bego,’ kataku
dalam benakku, tapi sayangnya mata Seto tidak berubah menjadi merah padam jadi
aku hanya ditemui dengan ekspresinya yang mengatakan, “Tolong paling tidak katakan ‘iya’ “
Kalah, aku pun akhirnya
menjawab, “Sangat senang”
Sebaliknya, Kido tidak merubah
mimik kesal yang tertempel di wajahnya dan hanya memberi dengkuran setuju tak
jelas yang malas.
Seto mulai berguncang dengan
senyum kaku masih di wajahnya, dia bagai berkata “Tidak bisakah kalian menjawab dengan lebih baik....?”
....Yah, aku bisa mengetauhi
ini bukan karena aku mempelajari kemampuan Seto melainkan karena dia terlalu
mudah untuk dibaca.
Namun, biarpun Kido terlihat
kurang senang dengan semua ini, dia juga tidak rewel saat dia mengetahui kalau
kami akan ikut dengannya. Sejujurnya, aku sangat khawatir dia akan mengetakan
sesuatu seperti, ”Kalau kalian ikut aku
tinggal”, tapi syukurlah kekhawatiran itu tidak diperlukan.
Tapi.....melihat sikapnya tadi,
dia mungkin masih belum memaafkan kami. Mau tak mau aku hanya bisa merasa
sedikit kecewa memikirkan itu. Di masa depan di mana kami akan bersama nanti,
bisakah kami memperbaiki hubungan kami?
“Ba~ik~lah, kita sampai~! Ayo,
turun, turun!”
Saat mobilnya berhenti di
parkiran, kami turun satu persatu dan melihat sebuah rumah kecil berbata merah.
Menemui arsitektur bangunan yang asing, aku dan Seto memandang dan mengamati
lingkungan baru kami.
Kami mungkin memikirkan hal
yang sama –“Apa rumah seperti ini lazim
di daerah ini?” Struktur rumah ini terlihat cukup berbeda dengan bangunan
perumahan biasanya.
“......Imut.” gumam Kido pelan.
Aku berbalik ke arahnya, tapi
segera saat mata kami bertemu wajah Kido langsung menjadi merah gusar dan dia melototiku
seperti mengatakan “Apa yang kau liat,
bangsat?”
Sebenarnya aku ingin mengatakan
sesuatu untuk menjelaskan perbuatanku, tapi mengingat bagaimana pada malam itu
Kido pernah berkata, “Kalau kau berbicara
denganku lagi...aku akan benar-benar
meninjumu,” Aku memilih untuk
bungkam.
Ah....iyayah. Kido suka hal-hal
imut.
Kurasa rumah seperti inilah
yang biasa dipikir gadis sebagai ‘imut’
Mempertimbangkan ini, sebuah
ide muncul di otakku.
Seandainya aku kembali menjadi kucing, apakah itu akan
membuat Kido senang?
Terakhir kali aku melakukan
itu, Kido terpukai sampai-sampai dia sepertinya lupa kalau kucing itu
sebenarnya aku.
Kenapa aku tidak pernah
memikirkan ini? Benar juga, bukannya itu cukup mudah? Seandainya aku melakukan
itu sekali lagi....
“Ayo, ayo! Cepatlah masuk~!”
Lewat dari pintu masuk terpampang interior yang sangat berbeda dengan eksterior unik rumah ini. Dalamnya sama saja seperti rumah-rumah biasa yang sering kulihat di TV.
Lewat dari pintu masuk terpampang interior yang sangat berbeda dengan eksterior unik rumah ini. Dalamnya sama saja seperti rumah-rumah biasa yang sering kulihat di TV.
Tempat ini memiliki aroma
berbeda dari ruangan yang dulu pernah kutinggali, membuatku makin menyadari
kalau aku akan tinggal di sini mulai sekarang.
“Hehe, bagaimana menurut kalian
dengan tempat tinggal baru kalian? Kalian bisa menggunakan apapun yang kalian
perlukan--.....ah iya, aku lupa kalau aku belum memperkenalkan diriku. Aku
Tateyama Ayaka. Terserah kalian mau memanggilku okaa-san atau tidak, tapi
apapun yang kalian pilih, aku berharap kalian akan menganggapku sebagai
keluarga kalian.”
Ayaka-san menyapu bersih segala
ketidakpastian yang kupendam dalam hatiku selama ini dengan senyumnya yang
cerah.
“Se-senang bertemu denganmu.”
Setelah aku selesai berbicara, Ayaka-san menjawab, “Yup, senang bertemu
denganmu juga!” dan mengelus kepalaku.
Aku yang agak malu menatap Seto
dan Kido, tapi keduanya hanya menatapku balik dengan ekspresi iri. Ayaka-san
yang menyadari ini berbalik ke arah mereka dan kembali mengatakan, “Senang
bertemu dengan kalian juga~!” sambil mengelus kedua kepala mereka.
Mungkinkah telapak tangannya
mempunyai semacam kekuatan yang bisa menenangkan? Mereka berdua seperti sangat
puas saat menerima elusan kepala Ayaka-san.
“Lalu~ Bagaimana kalau kalian
bertiga bermarin di kamar kalian sampai kakak perempuan kalian pulang?”
Mendengar ini, kami bertiga
mendadak beku.
“Ka-kakak perempuan....?” Seto
bertanya dengan hati-hati, kemudian Ayaka-san terlihat sedikit heran, “Hmm?
Kalian akan mempunyai kakak perempuan yang lebih tua setahun dari kalian...aneh,
pengelola panti tidak memberitau kalian yah?”
Sebenarnya aku ingin bilang, “Maaf, sebenarnya pengelola panti sama sekali tidak memberitau kami
apapun” tapi Seto segera menjawabnya, “A-aah! Dia pernah mengatakan yang
semacam itu, iya!” jadi aku hanya bisa mengangguk pelan.
Ayaka-san sudah menerima kami
dengan sangat hangat, karena itu kami tidak perlu menyangkal pernyataannya atau
memperdalam masalah di panti asuhan itu.
Lagipula, jika kakak baru kami
adalah anaknya pasti dia juga seorang perempuan yang baik dan lembut.
Aku dan Seto memandang satu
sama lain dengan anggukan kecil dan suara setuju, menandakan kalau pikiran kami
berdua sama.
Pada waktu seperti inilah kami
bisa merasakan ikatan yang tumbuh selama berbulan-bulan mengurus emosi Kido
yang mengebu-ngebu. Yah......saat aku mengatakannya seperti itu, kedengaran
menyedihkan sekali.
Kido sendiri yang sepertinya
tidak bisa memahami pikiran kami malah gemetaran dan menjadi pucat.
“Ah? Ada apa? Kamu tidak
apa-apa?”
“Ti-tidak apa-apa. Aku
baik-baik saja.....” Jawab Kido dengan nada yang lemah kepada pertanyaan
Ayaka-san.
Ayaka-san yang mungkin sadar
kalau Kido tidak terlihat baik-baik saja sama sekali kembali mengelus kepala Kido dan bertanya,
“Apakah kamu khawatir mempunyai seorang kakak?” mengejutkannya, ekspresi Kido
langsung menjadi normal dan dia mengeluarkan, “Tidak...” pelan.
Sepertinya telapak tangan
Ayaka-san benar-benar mempunyai kekuatan spesial.
Setelah kejadian di pintu masuk
tadi, kami akhirnya masuk menelusuri rumah ini lebih jauh. Di ujung koridor, di
samping tangga ke lantai dua, ada pintu yang bertanda ‘Kamar Anak-Anak’
“Ini sedikit mendadak, tapi
mulai hari ini, ruang ini akan menjadi kamar kalian!” Ayaka-san mendorong
pintunya terbuka ketika ia berbicara. Pandangan kami bertemu dengan ruangan
besar yang terang benderang—sangat berbeda dengan ‘Kamar 107’ yang paling kami benci.
“Wow...” Seto mengembuskan
napas kagum. Matanya berbinar-binar, dia seolah-olah memiliki beberapa ide
brilian untuk masa depan kami di sini.
Kami bergegas masuk ke dalam ruangan itu,
mencari obyek-obyek yang menarik.
Ada lemari yang berisi berbagai
macam mainan, rak buku yang diisi dengan susunan cerita-cerita pahlawan
berkostum yang sangat banyak, dan hal lainnya.....hati kami meloncat kegirangan
saat mengamati setiap benda yang ada di ruangan ini.
“Aah~ sepertinya kalian suka
kamar ini. Itu bagus! Kalau begitu, sebelum kakak kalian pulang, tetaplah di
sini dan jadi anak baik-baik, oke?” Ayaka-san kembali memberikan senyuman saat
ia berbicara sebelum menutup pintunya, meninggalkan kami bertiga di dalam Kamar
Anak-Anak. Dengan itu, ketakutan terhadap ‘kakak baru’ mulai menyerang benak
kami.
Saat Ayaka-san bersama kami,
ketakutan ini tidak terlalu seberapa. Tetapi setelah mengetahui kami akan
berhadapan dengan kakak kami, kegelisahan kecil muncul.
Kupandang kedua lainnya dengan
tatapan yang kebingungan, tak menejutkan lagi, mereka bereaksi sama sepertiku—duduk
menatap lantai sambil gemetar disko.
Biarpun situasinya sudah
separah ini, mendiskusikan “apa yang akan
kita lakukan selanjutnya” bukanlah
ide yang bagus. Soalnya, Kido mengancam akan memukulku jika aku mencoba membuat
konversasi dengannya. Aku tidak ingin mempertaruhkan hidupku untuk hal itu.
Keheningan tidak nyaman
membentang. Sungguh....bisakah kami hidup dengan tenang di rumah ini.
Seto terus menerus melirikku.
Apakah dia berharap aku melakukan sesuatu untuk situasi ini?
Sialan.
“....Aku mau ke toilet.”
Aku yang menjadi gugup karena
kegelisahan dan kesunyian ini pergi keluar tepat setelah aku berbicara.
Saat aku sampai di pintu, Seto
sekilas memandangku dengan mata berkaca-kaca yang mengatakan, “Tolong jangan tinggalkan saya sendirian di
sini!” tapi aku yang cukup kejam menutup pintu dibelakangku.
Aku bergumam “Kau bisa
melakukannya, Seto!” kepada diriku sendiri, sebelum pergi....ke tempat yang
mungkin toilet.
Setelah beberapa langkah
menyusuri koridor, aku menemui pintu yang berlabel ‘WC’. Biarpun aku tidak paham arti dari huruf bahasa Inggris,
bahkan aku pun tau apa arti dari WC.
Aku masuk ke dalam dan
mengeluarkan embusan panjang. Entah mengapa berada di sini membuatku merasa
lebih tenang. Mungkin karena aku berbagi kamar dengan yang lain, tempat
satu-satunya di mana aku bisa benar-benar santai adalah di dalam toilet.
Tapi, setelah ini apa yang
harus kulakukan? Seandainya aku kembali, untuk sekarang kamar itu hanya akan
dipenuhi dengan ketidaknyamanan. Dan lagi, seandainya aku bersembunyi di dalam
toilet, hal itu mungkin akan membuat orang lain di keluarga ini menjadi
khawatir.
Sungguh, apa yang harus
kulakukan.....
“Aku pulang!”
Tiba-tiba, suara yang masih
bisa terdengar jelas bahkan dari balik pintu WC berbunyi dari pintu masuk.
Mendengar suara itu, jantungku berdetak secepat orang yang sudah berlari
keliling Jepang.
Tepat setelah itu, ada derai
langkah kaki yang penuh semangat, suara pintu yang dibuka, dan keheningan yang
mendadak.
Mudah sekali menyimpulkan kalau
‘kakak perempuan’ kami telah pulang. Dinilai dari suaranya, dia sepertinya
orang yang cukup lincah. Bukan tipe yang gelap dan licik. Tunggu, mungkin
saja—bagaimana kalau dia benar-benar tipe yang licik....?
....Ah, apa yang kupikirkan?
Dari dulu sampai sekarang,
bukankah aku adalah target kebencian orang-orang yang menganggapku ‘jahat’ sebelum mencoba mengenal diriku?
Biarpun begitu, aku baru saja
melakukan hal yang sama dengan mereka hanya dengan mendengar suaranya. Jahat
sekali aku.
Aku tidak akan tau pasti
sebelum aku melihatnya. Begitulah manusia. Dengan tekad yang kuat, aku keluar
dari toilet.
Dari suaranya, dia pasti
langsung pergi ke Kamar Anak-Anak segera setelah dia pulang. Berarti, mungkin
Seto dan Kido sudah menyelesaikan perkenalan mereka dengan ‘kakak perempuan’
baru kami.
Biarpun mereka pasti malu-malu,
seandainya itu adalah mereka berdua aku yakin mereka akan baik-baik saja. Meskipun
mereka tidak bisa berbincang dengan baik karena gugup, paling tidak mereka
tidak akan mengatakan sesuatu yang terlalu kasar atau dingin. Mungkin saja
mereka sudah mengobrol dengan bahagia sekarang.
Ketika hipotesis-hipotesis ini
berada di dalam otakku, aku mendekati pintu Kamar Anak-Anak, menghirup napas
dalam-dalam dan meletakkan tanganku di gagang pintu. Namun, saat aku akan
membuka pintunya, suara “Gueh!” yang
aneh datang dari dalam.
....Tunggu sebentar. Aku pernah
mendengar suara ini sebelumnya....di suatu tempat. Dulu
sekali.....rasanya....di taman.....?
Ketika pikiranku mendekati
kesimpulannya, aku menyadari sesuatu yang tidak dapat dipercaya dan membuka
pintunya dengan cepat.
Seperti yang kuduga, aku
melihat seorang gadis yang meringkuk di lantai, merintih kesakitan. Berdiri di
sisi yang lain, pandangan Kido bolak-balik dari aku dan gadis yang terjatuh,
“Ke-kenapa dia tidak berubah kembali saat aku memukulnya....Kenapa ada dua
Kano...?”
Setelah melihat situasinya
sampai sini, aku langsung membanting pintu Kamar Anak-Anak dan berlari kembali
ke toilet, mengunci pintunya dan memeluk lututku.
“Ya Tuhan, kumohon jangan....” Ini
sangat-sangat buruk. Biarpun tidak ada gunanya komplain ke dewa yang
keberadaannya mungkin ada atau tidak, aku tidak bisa menghentikan diriku
menyuarakan benakku.
Siapa yang bisa menebak kalau ‘kakak perempuan’ku merupakan gadis yang
dulu kutemui di taman....?
Ini adalah kebetulan yang
keterlaluan. Memangnya hal seperti ini benar-benar bisa terjadi di dunia nyata?
Lebih tepatnya, siapa sih yang bertugas membuat hal-hal seperti ini terjadi?
Sebaiknya kau mengaku. Aku tidak akan pernah memaafkanmu
......Tidak, seandainya
kejadian ini hanya ‘kami bertemu kembali
setelah sekian lama’, mengatakan “Oh,
kebetulan banget!” akan cukup. Tapi melihat posisinya tadi, dia pasti telah
dipukul dengan keras oleh Kido. Tidak diragukan lagi.
Kalau kupikir-pikir, dia pasti
berlari ke kamar itu dan mengatakan sesuatu seperti “Aku kakak kalian~!” untuk memperkenalkan diri.
Interaksi semacam ini bukanlah
sesuatu yang aneh sama sekali kepada adik-adik barunya. Malah, itu adalah
peristiwa yang membahagiakan. Namun, dari sudut pandang Kido gestur manis itu
pasti adalah hal yang sangat tidak bisa dimaafkan.
Saat sedang gelisah menunggu
kedatangan dari ‘kakak baru’, aku
yang sekarang masih terlibat dalam perkelahian dengannya tiba-tiba menerobos
masuk dengan wujud gadis yang sering kugunakan dan mengatakan sesuatu segila “Aku kakak kalian~!”
Yah........
“......Dia pasti akan
menggebukiku,” Ketukan keras yang tiba-tiba datang dari pintu menenggelamkan
gumamanku. Aku tidak dapat menghentikan jerit ketakutan karena itu.
“Kau di dalam, kan? Keluar. Sekarang,”
Kido berbicara dengan nada yang sangat tenang, tapi yang kudengar hanyalah “Kubunuh kau.”
Selama seminggu ini aku telah
menanti-nanti waktu Kido akhirnya akan berbicara denganku lagi, tapi aku tidak
pernah berpikir hal itu akan terjadi pada situasi seperti ini. Dunia ini
sangatlah kejam.
“Pe-perutku agak sakit.....”
“Aku paham. Aku akan mengakhiri kesengsaraanmu, jadi keluarlah.”
“Aku paham. Aku akan mengakhiri kesengsaraanmu, jadi keluarlah.”
“Eeeeek--! A-ayolah, berikan
aku sedikit pengertian.....! Aku tidak tau kalau hal ini akan terjadi....!” aku
memohon dengan nada yang mungkin merupakan suara paling menyedihkan yang pernah
kugunakan selama hidupku.
Tepat setelah itu, DUAK yang nyaring menggema dari pintu,
seperti akan didobrak.
“Aaah, aku tidak bisa kabur sekarang. Seandainya aku
menerima hantaman ini, aku mungkin akan mati.” Dengan kesadaran ini, aku membuka pintu dengan pasrah. Tanpa
perlu dikatakan lagi, wajah Kido dipenuhi dengan kegeraman yang dasyat.
“Ada kalimat terakhir?”
“...kalau begitu biarkan aku
mengatakan—GAH--!!”
Aku baru mengucapkan setengah
dari kalimatku saat tinjuan super kuat Kido mengenai dadaku. Aku yang tidak
bisa menahan kekuatan itu hanya bisa terjatuh ke lantai toilet.
.....dari awal, kenapa kau
menanyakan kalimat terkahir kalau kau tidak membiarkanku menyelesaikannya?
Aaaah.....kesadaranku mulai
lenyap.
Seto, biarpun aku tidak ada
lagi, jangan kalah dengan Kido, oke? Kau harus menjadi kuat dan terus hidup.
“...Huh? Kamu....” Suara
seseorang muncul dari jauh. Siapakah itu? “Sudah kuduga! Kamu anak yang dulu
pernah kutemui di taman! Wow~ kebetulan banget!” Kesadaranku langsung dibawa
kembali dari kegelapan oleh suara gadis itu.
Bergegas berdiri biarpun
kesakitan, aku melihat gadis kecil yang tersenyum kepadaku. Rambut coklat sebahu
dan mata hitam kelam.....dia adalah gadis dari hari itu, hampir tidak ada
perubahan sejak hari kami pertama kali bertemu.
“Sudah lama sekali! Kamu masih
ingat sama aku?”
Wujudnya, suaranya, aromanya....aku
tidak pernah melupakan sehari pun. Tepat setelah kami berjanji untuk bermain
kembali di taman pada hari esoknya, kami malah tidak pernah bertemu kembali.
Siapa tau kami akan bertemu kembali pada situasi seperti ini....
.....tapi yah, kenyataan bahwa
latar tempat reuni kami adalah toilet agak....
“Ah, pe-perutmu....” Kido mengusap
perut gadis periang itu dengan khawatir, mungkin ia memikirkan bagaimana dia
memukul calon kakaknya tadi.
“Hm? Tidak masalah! Tidak ada
sama sekali! Soalnya kan aku sudah berlatih setiap hari!” gadis itu menepuk
dadanya dengan bangga ketika dia berbicara, kemudian menambahkan, “Aku tidak
akan mati dengan cara normal apapun loh!”
“Tapi aku terkejut! Aku tidak
menyangka aku akan tiba-tiba ditinju! Aah, kamu mempunyai Serangan Pamungkas
super kuat!” gadis itu memberikan senyuman lebar kepada Kido dan lalu mengelus
kepalanya.
Kido terlihat malu tapi pada
waktu yang sama dia bilang, “Maaf...ini semua salah Kano,” dengan santainya dia
menyalahkanku.
“Ah, tadi kamu juga bilang
begitu. Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya gadis itu, memerengkan kepalanya.
“Ti-tidak! Bukan apa-apa! Ada
alasan yang lebih dalam mengenai ini.....” merasa sangat bersalah, aku
memberinya jawaban pertama yang bisa kupikirkan.
“Alasan yang lebih dalam? Hmmm,
terdengar menarik....” nyatanya kalimat yang kugunakan malah menarik perhatian
gadis itu lebih jauh. Dia kembali menatapku dengan ekspresi keheranan.
Sekali lagi, aku menyadari
kalau wujud, suara, dan aroma dari gadis ini sama persis dengan gadis yang ada
di ingatanku.
Ngomong-ngomong......kenapa
wujud gadis ini bisa bertahan diingatanku dengan sangat lama padahal kami hanya
bertemu sebentar saja? Padahal aku butuh waktu yang lama untuk mengingat wujud
kucing hitam.....
Melihatku yang tergagap-gagap,
mencoba menjawab dengan tidak jelas, gadis itu akhirnya tersenyum dan
mengatakan, “Yah~ Sudahlah~ Untuk sekarang ayo lupakan itu, mari kita
berkenalan! Berkenalan! Oke?” selesai bicara, dia berbalik dan bergegas kembali
ke kamar anak-anak
Melihat tindakannya, Kido
menatap ke arahku sebelum menyatakan dengan kasar, “Jangan pikir aku sudah memaafkanmu. Kau harus
menjelaskan ini nanti.” Setelah itu dia berbalik untuk mengikuti gadis yang
lain.
Sepertinya Kido masih
memusuhiku.
Aku mengembus nafas panjang ,
kukira-kira kapan mereka sudah sampai ke kamar sebelum mengikuti mereka
~***~
Setelah kembali ke kamar, aku
melakukan apa yang kubisa untuk menenangkan Seto. Dia memandangku dengan mata
yang berlinangan air mata, mengatakan, “Saya benar-benar berpikir kalau Kano
akan dibunuh.....” kenyataan kalau aku belum mati mungkin hanya berkat
keberuntungan. Seandainya aku ditinju di bagian yang lebih fatal, mungkin saja
aku akan benar-benar mati.
Mengikuti intruksi gadis itu,
kami bertiga duduk berbaris, menghadapnya langsung.
“Kalau begitu, waktunya untuk
perkenalan!” Gadis itu terlihat sangat bersemangat, seperti sudah menanti-nanti
waktu ini dengan sangat lama, “Aku Ayano. Tateyama Ayano! Kalian semua harus
memanggilku Onee-chan, oke?” gadis bernama Ayano membusungkan dadanya saat
mengatakan ini.
Sikapnya berbeda jauh dengan
sikap Ayaka-san sebelumnya; ‘Tidak perlu
memanggilnya ibu jika kami tidak mau’.
Kido bergegas menjawabnya
dengan senyuman kecil, “Na-namaku Kido Tsubomi. Salam kenal.” Dari sampingnya,
Seto melihat percakapan itu dengan ekpresi yang sangat terkejut.
Hal itu tidak mengherankannya.
Habis sih, Kido jaraaang sekali bersikap ramah seperti itu kepada kami, belum
lagi dia selalu menolak memberi nama pertamanya kepada kami. Sedangkan
sekarang, dia malah memberinya dengan sangat mudah. Karena itu shok Seto sangatlah
wajar.
Kuhentikan komentar yang sudah
di ujung lidah; “penampilan jinak dari
Kido yang tidak terduga” dan hanya menatap dengan perasaan yang sedikit
tidak enak.
Setelah itu, Seto juga
memperkenalkan diri, “Saya Seto Kousuke.....” memang itu sangat pendek, tapi
usahanya sangat kelihatan dari bagaimana dia memperkenalkan dirinya dengan
baik.
Kalau aku mengingat bagaimana
pertama kali kami bertemu, dia berkembang cukup pesat. Dulu, dia membutuhkan
waktu berjam-jam untuk mengumpulkan keberanian agar bisa keluar dari tempat
tidurnya, lebih lagi saat dia mencoba memperkenalkan dirinya kepadaku.
Akhirnya, giliranku tiba, “Aku
Kano Shuuya. Salam kenal,” kataku.
Selama Kido dan Seto
memperkenalkan diri, Ayano hanya mengeluarkan “Hmm” pelan , tapi saat sampai
giliranku, dia mengeluarkan tawa sambil mengatakan, “Akhirnya sekarang aku tau
namamu!”
Aku menunduk, merasa malu, dan
menggumam pelan, “Ah, iya.”
“Ba~iklah, sekarang semuanya
sudah memberikan namanya, waktunya untuk......”
Kami bertiga memiringkan kepala
kami kebingungan dengan perkataannya. Waktunya
untuk.....untuk apa? Dinilai dari nada bicaranya, sepertinya itu adalah
sesuatu yang sudah dia rencanakan dari awal, tapi agak sulit mengetahui apa
yang sebenarnya dia maksud hanya dari ekspresinya.
Kami hening menunggu
perkataannya, tapi gadis yang terlihat gugup itu menyambung kalimatnya yang
ternyata sama sekali tidak keren, “Waktunya untuk memanggilku O—onee-chan,
bukan?” katanya sambil menghadap kepada kami.
Dia terus melirik kami
sebentar-sebentar, “Se-sebaliknya, Onee-san juga gakpapa kalau kalian mau!”.....kurasa
‘Sebaliknya’ bukan kata yang tepat digunakan.
Tapi begitu toh. Jadi soal itu
toh. Jadi sepertinya dia ingin kami—adik-adik barunya mengakuinya sebagai
kakak.
Memandang yang lain, Seto
mempunyai ekspresi kosong di wajahnya, tapi Kido sepertinya menimbang-nimbang
masalah ini dengan hati-hati di otaknya. Setelah beberapa saat, dia memberikan
suara setuju sebelum memanggil gadis di depannya, “Onee-chan”
Gadis itu terlihat sangat
bahagia, dia mengulurkan tangannya untuk mengeluk kepala Kido sambil
mengatakan, “Tsubomi~! Imutnya~!” setelah beberapa saat, dia mendadak memutar
ke arahku dan Seto.
Matanya yang berkilauan
mengejakan, “Kini giliran kalian
memanggilku Onee-chan!”
Aku dan Seto refleks mundur dari
perasaan menekan yang tiba-tiba datang.
“A-ada apa? Aku kakak kalian,
kan? Ayolah....” katanya, membungkuk lebih dekat. Sebenarnya, dia serasa sedang
mengeluarkan aura berbahaya sekarang.
“O-onee-chan!” panggil Seto,
tidak bisa menahan tekanannya. Biarpun dia mengatakannya seperti ingin mengakhiri
ini secepatnya, gadis itu sama sekali tidak memikirkannya dan mengulurkan
tangannya untuk mengelus kepala Seto, “Senang bertemu denganmu~! Kousuke~!”
Seto, mengejutkannya, terlihat
sangat puas.
Ini berarti tinggal aku seorang
yang belum memanggilnya kakak. Gadis itu menangkap tatapanku dan mulai kembali
mendekatiku.
Yah, memanggilnya seperti apa
yang dia mau adalah cara yang paling bagus, tapi sejujurnya, saat kami pertama
kali bertemu aku berpikir dia itu ‘seumuranku’
atau ‘setahun lebih muda’ dariku,
jadi ini serasa agak aneh.
Namun, gadis itu tidak bisa
membaca pikiranku. Dia mendekat sambil mengatakan, “Ayolah~ aku kakakmu~”
Cukup. Aku harus menyerah sekarang.
Biarpun rasanya aneh, itu cuma gelar. Aku tidak akan kesulitan lagi kalau aku
sudah mengatakannya.
"N-nee-chan," pada
waktu aku mengatakannya, entah mengapa aku merasa ada sesuatu dihatiku yang
diam-diam bersembunyi. Biarpun akhirnya aku memanggilnya nee-chan, pikiranku
sepertinya baru benar-benar menganggapnya sebagai ‘kakak’. Tepat pada saat
itulah gadis dihadapanku ini menjadi ‘kaka’ di hatiku.
Kaka berkedip, seperti terkejut
mendengar perkataanku, “Nee-chan.....bisa juga begitu, huh.....” Aku bingung
apa maksud dari kata-katanya, tapi setelah itu, dia mengatakan “Yah sudahlah,
toh itu juga bagus! Senang bertemu denganmu, Shuuya!” pada waktu yang sama, dia
mengulur tangannya untuk mengelus kepalaku.
Mungkin karena aku malu, aku segera
mundur melepaskan diri, tapi kaka segera menggembungkan pipinya, mengatakan
“Barusan kamu menghindar, kan~?”
Dielus olehnya berbeda saat
dielus oleh Ayaka-san. Elusannya membuatku merasa agak gelisah. Aku seharusnya
tidak perlu terkejut lagi, bagiku menerima elusan dari orang lain di depan yang
Kido dan Seto agak memalukan sih.
“Sekali lagi!” Melihat tangan
yang terulur dan wajahnya yang cemberut, entah mengapa aku tidak bisa
menolaknya.
Saat dia masih ‘gadis itu’, aku pasti akan menolak
permintaannya dengan tergagap-gagap, tapi setelah aku menganggapnya sebagai
seorang kaka, itu tidak mungkin lagi.
Aku mencondongkan kepalaku
kepadanya dengan pasrah, kemudian dia meletakannya tangannya di rambutku,
mengusap kepalaku dengan penuh kasih sayang sambil mengatakan “A~nak baik~!”
Tubuhku membeku, tegang karena
situasi yang janggal, aku bisa melihat Kido cengengan kepadaku saat menyadari
kondisiku.
......berapa lama lagi ini akan
bertahan?
Mengingatnya kembali, ini
mungkin adalah saat aku mengalihkan kasih sayangku kepada Ibu ke kakaku. Soalnya.....sejak
hari itu sampai ke ‘saat-saat terakhir’....aku
tidak pernah bisa sekalipun melawan keinginannya.
~***~
Translator Note
*Seto menggunakan Keigo
(mengakhiri kata dengan desu ataupun –massu), itu adalah cara tersopan untuk
berbicara dalam bahasa Jepang. Karena kaori bingung bagaimana mempaskan dengan
cerita(gak mungkin kaori nulis –desu setiap akhir kalimat Seto kan?) makanya
kaori menggunakan saya, anda, dll. Tetapi kaori gak berpengalaman dengan cara
berbicara yang sopan jadi maaf yah kalau cara bicara Seto jadi aneh~
arigatou kaori..
BalasHapusKaori-san arigatou desu~~~!!!
BalasHapusTetep lanjutin ya kaori-san :D
Arigatou kaori-saaaannnnn!!! X3 Saya tunggu lanjutannyaaaa~~
BalasHapusmakasih min
BalasHapusliat liat blog nya ternyata udh keluar,trimakasih banyak mau berbagi dengan kami
arigatous gozaimasu gan :) di chapter ini bacanya ketawa bercampur sedih
BalasHapusDomo arigatou nee-chan (y)
BalasHapusyea akhirnya keluar juga
BalasHapusmakasih mimin
trimakasih banyk min.. izin baca
BalasHapuskaori-san aku berhasil mendapatkan novel 1-5 komplit!! *uyeah
BalasHapusdiaman kk bangi link nya dong Xd
HapusHahaha beli di jap.co yah XD
Hapusizin baca.Arigatou godain mas kk
BalasHapusarigatou gozaimasu min.izin baca
BalasHapusmakacih kaori
BalasHapusditunggu volume 1 dan 2 nya juga ya :D.
arigatou kaori,d tnggu klnjtan ny. :)
BalasHapusHuwaaa keren! Lanjut ya, Kaori-nee!~~~
BalasHapusPfftt... Sedih tapi ngakak *loh?
BalasHapusTapi lanjutin yaa, cemangat teruss!! And arigatou~ :3 /