Rekaman Dewa Kematian II
“Tidakkah kau mendengarku? Jika kau tidak membiarkanku masuk, panggil orang
itu.”
Perlahan orang-orang berkumpul di sekitar pagar bata tua untuk menonton
keributan ini.
Suara-suara bising menjijikkan yang biasa muncul saat kerumunan orang
berkumpul—seperti biasa, aku membencinya.
Bahkan orang-orang yang kurasa adalah pelayan-pelayan menatap ke arah kami
dari jendela mansion besar di belakang pagar.
“Begini ya, nona muda. Aku tidak bisa melakukan apa yang kau inginkan
tiba-tiba seperti ini.”
Lelaki lusuh di depanku yang terlihat seperti bagian dari masyarakat
tertawa dan dengan sangat jelas membuatku terlihat bodoh.
“Kalau begitu apa yang harus kulakukan? Apakah kau mengerti? Aku sudah
melewati neraka gara-gara dia. Aku menurutinya karena dia mengatakan kalau dia
tahu apa aku ini, tapi dia malah menyerahkanku kepada orang-orang yang mencurigakan
dan aku diperlakukan dengan sangat buruk—aku bahkan ditembak.”
Ada apa dengan lelaki ini?
Kelakukan setengah hatinya itu membuatku kesal.
Pada mulanya, kenapa aku diperlakukan seperti ini setelah aku jalan kaki
seminggu mengikuti jejak kereta kuda untuk kembali ke sini?
“Ahahaha. Kau tahu, nona muda.....kalau kau benar-benar
tertembak, bagaimana bisa kau berdiri di depanku sekarang?”
“Hm? Omong kosong apa yang kau bicarakan? Tidakkah kau melihat aku berdiri
di sini?”
Tepat setelah aku mengatakan ini, lelaki lusuh itu menghirup napas
dalam-dalam dan tertawa terbahak-bahak. Seperti sudah diberi tanda, aku juga
mulai mendengar tawaan-tawaan kecil dari kerumunan.
Api frustasi mulai membara di hatiku.
Kenapa makhluk-makhluk ini sering sekali membuatku marah.
Aku berpikir untuk meninggalkan tempat ini secepatnya, tapi itu berarti apa
yang kulakukan selama ini akan terbuang sia-sia.
Aku tidak akan bisa beristirahat sampai aku mendengar apa yang diketahui
pria gendut itu tentangku.
“Oi, jika kau terus seperti ini, aku akan langsung saja membiarkan diriku
masuk. Pada awalnya, apa pentingnya kau buatku? Aku tidak terlalu memiliki
alasan untuk berbicara denganmu.....”
Baru saja aku bersiap mengabaikannya dan memaksa masuk ke dalam mansion,
aku menyadari pria gendut itu menatapku dari
jendela lantai dua mansion itu.
Dia terlihat agak takut saat melihatku kembali ke sini.
Aku melihat bagaimana wajah yang mengintip
dari jendela diwarnai dengan ketakutan.
Biarpun dia sudah sadar aku berada di sini, pria itu berpura-pura terganggu
dengan keributan; amarahku sudah berada diambang batasnya.
“Pria itu.....!”
Aku menerjang ke depan dan mencengkram
pagar besi, lelaki lusuh itu pun berteriak, “Hentikan! Kalau tidak, aku akan
merasa bersalah sudah membesar-besarkan
masalah ini!”
“.....apakah kau benar-benar tidak menanggapiku dengan serius?”
Amarahku sudah lama sampai diambang
batasnya.
Kalau sudah begini, aku tidak mungkin dihentikan oleh bualan-bualan yang
keluar dari mulutnya.
Lelaki ini pun sepertinya sama sekali tidak memiliki keinginan untuk
menghentikanku.
Di depan pagar yang terdapat banyak orang berkerumun, muncul lah
lelaki-lelaki bersenjatakan pedang besi dari dalam pagar.
“Aku tidak ingin melakukan ini, tapi karena kau tidak mau mendengarkanku,
inilah yang terjadi, nona muda. Sudahlah, menyerah sa......agh...!”
Begitu ya. Jadi inilah yang akan terjadi. Manusia benar-benar busuk.
Tepat di saat aku melototinya, kedua bola mataku mulai berdenyut dan
memanas.
Matanya yang menemuiku kejang untuk beberapa detik sebelum terdiam. Setelah
itu, badannya pun perlahan berhenti bergerak.
Kemudian, aku menghadap kepada kerumunan yang berkumpul.
Mereka semua berwajah datar, seperti tidak paham apa yang terjadi sekarang.
“Hei, apa yang kau lakukan kepadanya?”
Salah satu ksatria itu mengeluarkan pedangnya dan perlahan menghampiriku.
‘Pedang’
Sesuatu yang manusia buat untuk membunuh.
Saat digunakan dengan cermat, pedang dapat membelah daging dan
menghancurkan tulang.
Sejak aku terlahir kembali menjadi seperti ini, aku mempelajari hal itu
dengan cara yang teramat sakit.
Aku pun mempelajari bahwa dunia ini telah menjadi habitat terbesar manusia;
makhluk yang sangat dungu.
“Jika kau tidak menjawabnya, maka kami akan menganggapnya sebagai
pemberontakan dan kau akan dimusnahkan!”
Ahh, ini sangat melelahkan. Kenapa aku terus memegang harapan kepada
mereka?
Aku menutup mataku, pandanganku dipenuhi dengan kegelapan.
Kapan terakhir kali aku menggunakannya?
Bukankah terakhir kali menggunakannya, aku malah dianggap sebagai ‘Dewa’ dan dipuja di salah satu gereja di
suatu tempat? Pada akhirnya, aku pun tidak mendapatkan apa-apa untuk itu.
Tidak, bukan tidak mendapat apa-apa.
Makhluk-makhluk ini selalu memberi rasa jijik dan kekecewaan kepadaku.
Karena itulah, aku kembali lagi ditemui dengan kekecewaan yang sia-sia
Saat aku membuka mataku, aku melihat para penjaga mengasah pedangnya.
Apakah dia bermaksud untuk mencabut nyawaku? Kenapa selalu terjadi hal
seperti ini setiap kali aku berurusan dengan manusia.
“Pikatlah semua mata....”
Dalam sekejap saat aku membisikkan ini, para ksatria tiba-tiba
berhenti bergerak.
Pada saat yang sama, keributan yang dibuat kerumunan di belakang mereka
segera menghilang.
Tentu saja, ini karena semua orang di sini ‘bertemu’ dengan mataku.
Apa yang kulihat di depanku adalah wajah-wajah manusia yang dipenuhi dengan
ketakutan. Benar-benar makhluk menyedihkan yang dungu dan tidak terselamatkan.
“Apa sebenarnya dia?”
Pikiran dari lelaki yang mengasah pedangnya menggenangi kepalaku.
Menyusahkan sekali, ‘mencuri’ adalah satu-satunya
yang masih tidak bisa kukontrol.
Karena, semakin kuintip pikiran manusia, aku merasa semakin tidak nyaman.
Jika aku bisa dengan mahir melihat isi pikiran semua orang ini, mungkin
akan menjadi sesuatu yang sangat menguntungkan.
Aku akan dengan mudah membedakan apakah salah satu dari mereka berbohong
atau tidak.
Namun, kepala mereka hanya dipenuhi dengan pikiran yang sangat tidak
penting.
Kenyataannya, hampir tidak mungkin
aku bisa membaca apa yang hanya ingin kutahu.
Seperti mencari sebuah batu pada lautan sampah.
Aku bertanya kepada lelaki yang tak bisa bergerak “Haruskah aku menyebut
kalian semua monster?”
Tetapi, aku tidak mendapat jawaban.
Hening.
Pada akhirnya, selalu keheningan.
Dingin yang membekukan, seperti dulu. Bahkan sampai sekarang, aku membenci
keheningan ini.
Berbalik ke arah mansion, aku
melihat lelaki yang melihat dari jendela tadinya sudah menghilang.
Apakah dia sudah kabur ke suatu tempat?
Jika bergegas aku dapat menyusulnya, aku mungkin bisa mengatakan sepatah
dua patah kata padanya, tapi aku tidak ingin lagi
melakukan itu.
Berapa lama lagi aku harus melakukan ini.
Ini seperti diam-diam melaju melewati kegelapan tanpa akhir, mengetahui
tiada cahaya berada disana.
Ya, aku tahu ini. Aku tahu hal ini, tapi aku harus tetap melangkah ke depan.
“Tidak ada orang di dunia ini yang tahu tentang diriku.”
Setiap kali aku memikirkannya, air mata akan keluar
dari mataku.
“Aku benci ini.”
Kata-kata tanpa alasan seperti tadi akan memenuhi kepalaku.
Itulah mengapa tidak ada pilihan selain melangkah ke depan.
Jika tidak aku akan hancur karena pikiranku, seolah-olah aku akan lenyap begitu saja.
Namun, aku tidak bisa.
Aku sudah mengalami kematian berkali-kali, tapi aku
tidak pernah bisa lenyap selamanya.
Manusia yang tak bergerak di depanku tidaklah lagi bisa memikirkan apapun.
Dia hanya diam dan berdiri disana.
Akan lebih mudah jika aku bisa seperti
dia.
Tidak usah memikirkan apapun, keberadaan yang hanya berada disitu.
Sebelum aku mengetahuinya, air
mata mengalir dari
mataku.
Tidak bisa menghentikannya, aku menjadi sulit untuk bernapas.
“Uu……Aah, ah……!”
Jika ada suatu makhluk yang melahirkanku, cepatlah muncul di depanku!
Dan kumohon, akhiri aku.
Bersamaan aku berdoa untuk itu, aku terus menangis sampai hari menjadi
gelap.
*
Hembusan angin musim panas membuat pepohonan bergoyang, dan nyanyian
burung-burung kecil menggema di kehijauan yang menyegarkan.
Karena hujan lebat tadi malam, sangat sulit melewati jalan setapak ini.
Kakiku semakin lama semakin terjerumus ke dalam lumpur dalam setiap langkah
yang kuambil, dan aku tidak bisa meneruskannya
seperti yang sudah kuduga.
Biarpun pepohonan yang tumbuh kebesaran sangat melemahkan terik matahari,
anehnya, kehangatan yang menyelimuti diriku menghisap tenagaku.
Aku sudah mendapatkan tubuhku sendiri, dan aku menyadari setelah menemui
berbagai macam makhluk, kalau tubuh ini sangatlah kekurangan kemampuan fisik.
Aku akan mulai berkeringat setelah berjalan beberapa mil saja, dan sendi-sendiku
akan kesakitan saat aku mencoba berjalan melewati tanjakan.
Bahkan sekarang aku berkeringatan, dan kakiku serasa akan roboh.
Karena aku sudah datang sejauh ini, keringat mulai muncul dari telinga
karena sulitnya menggerakkan kakiku.
Walaupun memang benar kalau ini sangat sulit sampai-sampai aku bisa
menangis karena kesakitannya, jadi ini
tidak bisa dihindari.
“Harusnya tinggal sedikit lagi.......”
Fakta kalau aku sudah menggunakan ‘pemikat’ dari tadi juga mungkin salah
satu penyebab kenapa tenagaku terkuras dengan cepat.
Namun, karena itu adalah caraku untuk menandai jalan, aku
harus terus menggunakan itu.
Paling tidak, sepertinya aku sudah membuat
sedikit kemajuan, dan setiap momen aku menarik perhatian makhluk-makhluk
sekitar sini.
‘Pemikat’ adalah kemampuan yang berguna.
Aku bisa dengan mudah melihat dimana seseorang memfokuskan perhatian
mereka, dan aku juga bisa memaksa perhatian mereka ke diriku.
Dalam artian lain, dengan
menggunakan kemampuan ini, aku bisa mengetahui tempat apa yang tidak terlalu
diperhatikan oleh makhluk lain. Aku merasa ini adalah cara yang pintar dalam
menggunakan kemampuan ini.
Ya. Setelah aku dikhianati oleh para manusia sebelumnya pada hari itu, aku sudah
memutuskan untuk menghabiskan hidupku di suatu tempat dimana tidak akan ada
orang yang bisa menemukanku.
Awalnya, aku mempertimbangkan untuk hidup di sebuah gua, tapi jujur, aku
sudah lelah dengan kegelapan.
Aku mencari tempat lain yang lebih pas, tapi aku sangat sebal saat mengetahui tempat yang tenang kebanyakan
berada di tempat yang gelap.
Cukup sudah dengan kegelapan. Hidup disana adalah hal terakhir yang
kuinginkan.
Namun, aku tahu kalau dunia ini
dipenuhi oleh manusia, hampir tidak mungkin hidup sendirian di tempat yang
terang tanpa ada mereka.
Dengan ‘pemfokus’, aku sudah menemukan tempat yang
paling tidak diperhatikan di dunia ini.
Dan anehnya, tempat itu adalah hutan yang cukup terang.
Jujur, aku sangat ragu datang kesini, tapi bersamaan dengan aku menuju tempat itu,
aku menyadari tanda-tanda dari makhluk lain mulai menipis.
Ini aneh, hampir seperti ada sebuah lubang terbuka begitu saja, dan tiada
makhluk bisa memfokuskan perhatian mereka ke
sana.
Aku masih belum sampai disana, tapi aku sudah merasa sangat gembira hanya
karena fakta ini yang sudah terbuktikan.
Jujur sih, aku sudah menaiki kapal untuk
melewati lautan, tapi di
jalan terjadi perselisihan, membuatku harus
meninggalkan kapal dan berenang ke tujuanku sambil menangis.
Aku sudah tidak bisa menghitung lagi seberapa banyak aku tenggelam.
Jika tempat itu dikelilingi oleh manusia
setelah semua penderitaan yang kualami, aku sudah pasti akan membakar hutan ini
sampai tidak ada yang tersisa.
Bersamaan dengan aku berjalan maju, pada saat jalannya akhirnya menghilang,
dan aku tidak bisa lagi mendengar nyanyian para burung, aku melihat suatu
tempat yang agak terbuka.
Tempat seperti apa itu? Tanyaku.
Aku mempercepat langkah kakiku, dan suasana dari tempat yang telah
kuinjakkan kakiku mengambil napasku.
Tempat ini seperti terus hidup setelah
semua makhluk di dunia ini melupakannya.
Makhluk yang masih sadar menghindarinya; tempat yang tak disadari siapapun.
“Ini sempurna.....!”
Untuk pertama kalinya setelah beberapa lama, aku merasakan jantungku
berdetak lebih cepat. Ini lebih tenang, terang, dan lebih nyaman dari apa yang sudah kubayangkan.
Dari apa yang kulihat, sepertinya tempat ini cukup untuk membangun sebuah
rumah.
Menyingkirkan rumput yang pendek dan tebal, aku mencoba
berdiri di tengah tempat ini. Tempat ini sangatlah berbeda
dari keheningan yang dingin, disini memiliki ketenangan yang menyejukkan
telingaku.
“Sudah kuputuskan. Mulai hari ini dan selanjutnya aku akan tinggal disini.”
Kalau kupikir-pikir, aku tidak pernah tinggal dimanapun sejak aku
mendapatkan tubuh ini.
Yah, alasannya sudah jelas, itu karena aku terus mengelana tanpa tujuan
kesana kemari.
Tapi, aku menginginkan rumah. Jika aku bisa terus tinggal disini, walaupun harus
mengorbankan kemewahan, paling tidak aku hanya memerlukan sebuah atap.
Kapanpun aku basah karena kehujanan, badanku akan menjadi dingin, dan menggigil. Aku sama sekali tidak menyukai sensasi
itu.
“Sebuah atap kah? ....Aku tidak bisa membangun seluruh
rumah sendirian saja, tapi jika hanya atap.......”
Lalu, aku menemukan
tempat dekat batu yang sepertinya cukup nyaman untuk diduduki, sambil melakukannya, aku mulai memikirkan
tindakanku selanjutnya.
Karena aku hidup seorang diri, aku tidak perlu rumah yang terlalu besar,
tapi aku akan memerlukan sesuatu yang
dapat melindungiku dari angin, hujan, dan juga cahaya matahari.
Prioritas utamanya adalah untuk melindungi diriku dari cahaya matahari.
Tidak peduli seberapa kali pun aku berjuang melawan panasnya, dia adalah musuh yang sangat berat. Kekalahan
yang sukses telak.
Kalau begitu, aku
membutuhkan material yang cukup banyak.
Bagaimana aku membawanya? Tidak, tidak mungkin. Itu terlalu melelahkan.
Namun, aku membenci panas dan juga dingin.
Saat mempertimbangkan
berbagai hal, aku tiba-tiba menyadari kalau temperaturnya sangat berkurang.
Tanpa sadar hari sudah menjadi malam.
Setiap kali aku memikirkan apapun, aku akan kehilangan jejak waktu.
Kebiasaan yang tidak bisa kuhilangkan sejak dulu sekali.
Aku akan sangat fokus pada sesuatu sampai berhari-hari akan berlalu, sampai akhirnya
aku mendapatkan
kesadaranku kembali.
Bagaimana caranya waktu berlalu untuk semua orang selain aku , membuatku
merasa kalau hanya aku seorang yang berbeda dari dunia ini, perasaan yang tidak
terlalu kusukai.
Tapi, paling tidak dunia ini tidak akan berubah sama sekali setelah aku
selesai berpikir, tidak seperti dulunya.
Tapi, mengkhawatirkan soal rumah selamanya tidak akan memberikanku apapun.
Kalau bisa itu adalah sesuatu yang ingin kuhindari, tapi pada akhirnya
tidak akan ada sesuatu yang terjadi jika aku tidak melakukan apapun.
“Apakah ini berarti tidak ada pilihan selain melakukannya?”
“ ‘Melakukan’ ? Melakukan apa?”
Membangun rumah pastinya.
Biarpun tidak terlalu elegan, paling tidak terasa nyaman.....
Sejauh itulah pikiranku berjalan saat tiba-tiba aku jatuh dari batu.
Mendongak ke atas dengan panik, aku melihat seorang pemuda berambut putih
tiba-tiba berdiri tepat di samping batu yang telah aku duduki. Dia terlihat
setua seorang manusia berumur 16 tahunan.
Walaupun dia terlihat sedikit kotor, bajunya seperti dibuat khusus. Seorang
prajurit atau semacamnya?
Namun, itu semua tidak penting.
Yang lebih penting sekarang adalah bagaimana marahnya aku kepada pemuda ini
yang melangkah di rumah baruku tanpa izin, mengejutkanku, dan membuat diriku
terlihat seperti orang bodoh. Darahku mendidih penuh amarah.
“Kau....kuharap kau sudah mempersiapkan diri.”
Aku berdiri dan menghadap kepada pemuda itu, mengancamnya dengan
menggertakkan kepalan tanganku.
Tentu saja, aku tidak memiliki keinginan untuk berkelahi secara fisik.
Fisikku sangatlah lemah sampai-sampai aku tidak bisa menghadapi balita.
“Ah, apakah aku mengejutkanmu? Maaf, maaf. Kau sepertinya tenggelam dalam
pikiranmu, kemudian tiba-tiba kamu berbicara sendiri. Itu membuatku geli...”
Kepalan tanganku gemetar melihat perilaku serampangan
anak ini. Tentu saja, aku tidak akan menggunakan kepalan tangan ini untuk memukulnya.
“Apanya yang menggelikan, huh!? Jangan mempermainkanku! Aku sedang ingin
membuat tempat tinggalku sekarang. Segera pergi dari sini!”
Teriakku dengan suara yang sangat kesal, tetapi senyum bocah itu tidak menghilang sedikit pun.
“Begitu ya. Tempat tinggalmu, huh? Apakah ada yang bisa kubantu? Jika kau
tidak keberatan, aku bisa membantumu!”
Apa yang dia katakan?
Bukankah aku sudah menyuruhnya pergi dari sini?
Ya, tak diragukan lagi aku sudah mengatakan itu. Aku bahkan sudah
mengatakannya sekasar mungkin.
Meskipun begitu, kenapa dia bersikap sembrono seperti ini? Aku tidak paham.
“Jangan mengatakan sesuatu yang aneh. Kau hanya merencanakan sesuatu yang
menyeramkan, bukan? Cukup. Pergi, sekarang!”
Ribuan orang sudah menawarkanku bantuan
seperti sekarang ini, tapi pada akhirnya mereka hanya ingin menggunakanku.
Pastinya pemuda ini juga sama. Siapa yang bisa mempercayai makhluk seperti
mereka?
“Apa!? Tidak, itu sama sekali tidak benar! Aku memang berpikir andai aku bisa menatapmu lebih dekat akan sangat bagus,
tapi itu terlalu memalukan, dan tiba-tiba.....”
Pemuda itu menggaruk kepalanya dengan
malu saat ia mengatakan ini.
Ada apa dengannya? Apakah dia gila?
Kata-katanya terlalu kikuk untuk membodohiku...atau apakah ini bagaimana
caranya dia menurunkan pertahananku?
Dan lagi, apa yang dia maksud dengan ingin
menatapku?
Yah, apapun yang dia maksud, mungkin dia juga sama seperti semua manusia
yang pernah kutemui sampai sekarang, mengatakan hal-hal yang meragukan.
“Aku tidak bisa mempercayaimu. Aku terlalu sering ditipu orang seperti ini
dulu. Aku akan lebih bodoh lagi kalau mempercayaimu.”
“Oh.....kalau begitu bagaimana aku bisa membuatmu mempercayaiku? Jika aku
bisa berguna untukmu, aku akan melakukan apa saja. Aku tidak akan meminta
imbalan apapun. Mulai
sekarang aku bersedia mendengarkan apapun yang kau katakan.”
Kata pemuda ini yang menghirup embusan angin dari
hidungnya.
Aku berpikir untuk mengatakan, “Kalau begitu, pergilah sekarang juga,” tapi
melihat kesempatan yang ada, sebuah ide muncul di benakku.
“....’apapun’ katamu?” gumamku
pelan.
“Huh!? Te-tentu saja! Apakah kau memutuskan untuk mempercayaiku!?”
Aku melewati bocah penuh senyum itu dan bergerak ke sebuah titik yang
spesifik, kemudian menunjuk ke tanah.
“Ada apa? Kenapa kau menunjuk tanah....?”
“Bangun sebuah rumah di sini.”
Pemuda yang masih tersenyum itu langsung kaku mendengar perkataanku. Masih
tidak merubah posenya, dia mulai gemetaran dan keringat dingin.
“Tidakkah kau mendengarku? Bangun sebuah rumah di sini.”
Aku yakin dia sudah mendengarku, tapi aku mengulangnya lagi.
“Akan kulakukan!”
“Dan segera setelah kau selesai membangunnya, pergilah. Jika kau tidak
bisa, maka....”
“Sudah kubilang akan kulakukan!”
Yah, sudah jelas membangun sebuah rumah bukanlah sesuatu yang bisa
dilakukan sendirian. Secepatnya setelah dia pergi, aku bisa perlahan....
“……Hm?”
“Kau tidak mendengarku? Aku akan membangun sebuah rumah untukmu! Kalau untukmu, yang seperti ini sama sekali bukan apa-apa!”
Kata bocah ini yang tersenyum kecil.
Biarpun ekspesinya tersenyum, aku bisa melihat dia masih gemetar dan
keringatan, menjelaskan sejelas-jelasnya kalau dia memaksakan dirinya sendiri.
Sepertinya pemuda ini benar-benar sudah gila.
Membangun sebuah rumah seorang diri?
Dia pikir berapa banyak bahan dan usaha yang dibutuhkan?
Apakah dia menyadari ini? Dan jika iya, aku masih tidak paham kelakuannya.
....Mungkinkah, dia masih merencanakan sesuatu
biarpun dia berkata tidak?
Curiga, aku menatap pemuda itu dengan dalam, dan kemudian dia tiba-tiba
jadi malu, pipinya memerah bersamaan ia menggaruk kepalanya.
Setiap kali ia malu, ia akan menggaruk kepalanya dengan tangan kanannya.
Sekali lagi, aku mendapat informasi tidak berguna.
“....Baiklah kalau begitu.
Jika kau pikir kau bisa melakukannya, lakukanlah. Aku akan memonitor kerjaanmu setiap saat.”
Kataku dengan sarkasme. Jika dia mencoba melakukan sesuatu, akan sulit jika
aku terus memperhatikannya.
Pasti dia akan menyerah di tengah jalan. Akan sangat menggelikan melihatnya
berlari dengan ekornya di antara kakinya.
“A-apakah kau benar-benar akan melihat...?”
Kata pemuda ini dengan wajah yang sangat senang.
Jujur, aku mulai muak dengan perilaku tidak masuk
akalnya.
Aku tidak bisa memahaminya. Aku berpikir untuk mengintip kepalanya, tapi aku tidak
terlalu ingin melihat isi pikiran seseorang yang sangat
aneh.
“Oke, aku akan melakukan yang terbaik mulai besok!....Anu, hei, siapa
namamu?”
“Nama? Aku tidak mempunyai sesuatu seperti itu.”
‘Nama’
Sesuatu seperti tanda yang digunakan manusia untuk memanggil masing-masing
dari mereka.
Saat seorang bayi manusia lahir, orang tuanya akan memberikannya nama yang
penuh arti, dan dia akan dipanggil seperti itu seumur hidup mereka.
Namun, sesuatu yang dilakukan oleh para manusia tidak ada hubungannya denganku.
“Begitu ya, jadi kau tidak mempunyai nama....kalau begitu aku saja, ya? Aku
Tsukihiko. Salam kenal!”
Tsukihiko, hm?
Orang yang benar-benar dungu. Biarpun mempunyai nama, bagiku manusia ya
hanyalah manusia.
Tidak lebih dan tidak kurang. Apa yang dia harapkan dengan memberitahukan namanya padaku?
Bersamaan aku mengatakan ini, sepertinya anak ini tidak menginginkan apapun dariku.
Dia benar-benar aneh.
Namun, jika dia pergi dan hanya meninggalkan kesan ‘aneh’ dan ‘sulit dimengerti’
akan sangat menjengkelkan bagiku.
Baiklah kalau begitu. Aku akan mencoba memahami apa yang dimaksud oleh
hatinya.
“Sebaiknya kau tidak kabur, manusia.”
Kataku, kemudian mata Tsukihiko bersinar dengan terang dan menjawab,
“Tentu!”
Arigatous kaori. Izin baca :)
BalasHapusakhirnya aku tau cerita si azami pertama kali ketemu pasangannya
BalasHapusterimakasih banyak kaori
izin baca, trimakasih
BalasHapuskk kaori bleh aku bantu share ngak?
BalasHapusBoleh banget kok! Tapi boleh minta link sharingnya dimana nanti?
Hapushehe cuma mau share di fb kk,soalnya temen fb aku banyak yang suka cerita kagero days.
Hapusak kira ini lnjutan yobanashi,ternyta shinigami 2 yang waktu itu pernah kehapus ama kaori.
BalasHapusarigatou banyak kaori.terimakasih gozaimasu *gubrak
makasih Shinigami Record II kaori..
BalasHapusthank's kaori! d tnggu kelanjtan yobanashinya
BalasHapus