Rabu, 23 Oktober 2013

Children Record III

Rekaman Anak-Anak III


“….Guru itu pasti alien atau semacamnya. Aku sama sekali tidak mengerti apapun yang dia katakan.”
Setelah mengecek sekelilingnya, Ayano berbisik kepadaku.

Cuaca di luar sangatlah cerah.

Saat itu adalah satu hari di musim panas, dimana jangrik berteriak menderu-deru di bawah terik matahari.

Duduk dengan santai di kursinya yang terletak di pojok kelas samping jendela, Ayano menatapku, menungguku menjawabnya.

“Ahhh, iya, mungkin.”

Mengetahui kalau sesuatu yang menyebalkan akan dimulai lagi, aku hanya mengikutinya dan menjawab asal-asalan, membuat bahu Ayano lemas dan membaringkan kepalanya di meja.

“Auu, Shintaro, kamu hari ini juga dingin…”

“Itu karena kau mengatakan hal yang membosankan. Apanya yang ‘alien’? Kau cuma tidak mengerti pelajarannya, kan?”

“Y-yah, memang sih, tapi...”

Saat membalik halaman dari buku catatan, tidak ada sesuatu yang terlalu sulit tertulis disana.

Sebenarnya, orang ini cuma terlalu bodoh. Kalau kau tidak mengerti pelajaran yang seperti ini, bukannya seharusnya kaulah yang alien?

“Bukannya mereka biasa mengatakan hanya orang bodoh saja yang menyalahkan orang lain? Ngomong-ngomong, kau dapat nilai jelek di ulangan kemarin, kan? Kalau begini terus kau harus ikut les tambahan di musim panas kan? Memang sejak awal kau ini.....”

Biasanya setelah dia dimarahi sampai seperti ini dia hanya akan menjawab dengan “Maaf karena aku bodoh. Kumohon maafkanlah aku.” tapi sepertinya dia tidak melakukannya hari ini.

Saat pikiran itu melintas di otakku, Ayano telah duduk sigap kembali dan melotot ke arahku.

Karena wajahnya sangat berbeda dengan sikapnya yang lembut seperti biasa, aku tidak bisa menghentikan diriku tersentak.

“A-apa? Kau marah?”

Kutanya dengan perlahan, tapi Ayano tidak menjawab pertanyaanku, dan malah mulai membicarakan suatu fakta.

“Biarpun kamu mengatakan hal seperti itu padaku, Shintaro.... Aku tahu kamu itu seperti apa. Karena Shintaro sudah pintar sehingga tidak perlu belajar, dan kamu malah menghabiskan waktumu untuk melihat situs-situs kotor yang ada di internet. Kamu juga melakukannya kemarin, iya kan?”

Perkataan Ayano yang sangat tidak terduga bagaikan sebuah batu raksasa yang teramat berat menimpaku, membuat jantungku berdebar-debar.

Aku mulai mencoba memikirkan berbagai alasan untuk mengelak, “Kenapa dia bisa tahu hal seperti itu? Tidak, tidak mungkin. Aku selalu menghapus catatan browser-ku, dan selama tidak ada kamera pengintai....”

Aku heran kemana perginya kemampuanku untuk berpikir cepat yang mendadak lenyap justru disaat seperti ini.

Paling tidak, otakku mulai membuat alasan bagus dalam waktu yang sangat cepat.

Mengikuti perintah dari otakku, aku langsung menyiapkan alasan di balik tenggorokkanku, dan siap mengatakannya. Aku bisa melakukan ini. Alasan itu pasti sempurna!

“A-apa? A-a-apa yang kau bicarakan?! A-aku sama sekali tidak melihat hal-hal seperti itu! Aku bahkan tidak tertarik! Aku tidak pernah melihatnya seumur hidupku!”

Tetapi, alasan yang sudah kusiapkan malah terbuang sia-sia. Dan sebagai gantinya, yang keluar dari mulutku adalah alasan yang sangat sangat mencurigakan.

Bahkan aku sendiri bisa mengetahui seberapa palsunya jawaban itu, dan saat aku mulai berkeringat dingin, jawaban “Hmm” yang kudapat makin mempercepat keluarnya keringatku.

Lalu, Ayano menatapku dengan hina dan berdiri dengan gemerincing yang nyaring.

Kemudian, dia memajukan badannya dan mendekatkan wajahnya padaku.

“Pembohong. Aku sudah dengar semuanya tahu.”

Karena jarak yang terlalu dekat diantara kami, aroma shampo dari rambut coklat panjang Ayano bertahan di udara lebih lama dari yang diperlukan.

Otakku yang cemerlang sepertinya telah mencium aromanya juga, dan langsung melumpuhkan sistem saraf yang mendukung jalan pikiranku.

Tidak, tapi kalau boleh jujur, tidak mungkin dia bisa mengetahuinya. Catatan browser-ku harusnya bersih. Aku tidak mungkin membuat kesalahan disitu. Aku sangat yakin akan hal itu.

“Me-memangnya darimana kau mendengar itu!? Dan hei, kau terlalu dekat!”

Aku berteriak mati-matian. Karena Ayano yang terlalu dekat, aku tidak bisa menghadapinya selain meninggikan suara secukupnya.

“Siapa.....?”

Ayano tersenyum dengan lebar, dan perlahan menggerakkan wajahnya dekat ke telingaku. Aroma shampo yang pekat semakin tercium dengan jelas hingga membuatku kaku dan tidak bisa bergerak.

Ini tidak ada gunanya. Aku tidak bisa lagi mengerti apa yang ingin dia lakukan. Dengan tiada cara untuk keluar, yang bisa kulakukan hanyalah menutup mata.

Dan seperti ingin menghilangkan keteganganku, Ayano berbisik di telingaku:

“.....Apakah kamu sudah lupa denganku, Master?”

“……Tunggu, Ene!?”
.
.
.
Saat aku membuka mata, bukanlah Ene ataupun Ayano yang kulihat.

Kelas yang kulihat tadi juga sudah menghilang.

Sebagai gantinya, aku melihat garis-garis lurus dari pipa yang saling menyilang di langit-langit dengan sebuah bohlam lampu menggantung disitu, dan Kido yang menatapku sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.

“Bukan Ene, tapi Kido.”

Sepertinya dia baru saja selesai mandi, Kido mengenakan kaos, dan aroma shampo dapat tercium darinya bersamaan dengan dia berdiri dengan ekspresi sebal.

“.....I-iya. Maaf.”

“Aku tidak tahu mimpi seperti apa yang kau lihat, tapi ini sudah pagi. Waktunya bangun.”

Dan dengan itu, Kido berjalan menuju pintu masuk sambil tetap mengeringkan rambutnya.

Bersamaan dengan aku menatap datar langit-langit, aku bisa mendengar suara Kido dari arah pintu masuk.

“Ayolah, sudah pagi. Bangun. Memangnya kau pikir dimana kau tidur?”

Saat dia berjalan menuju ke pintu masuk, aku pikir dia terlalu ceroboh untuk keluar hanya dengan kaos dan rambutnya masih basah, tapi sekarang sudah masuk akal untukku.

Lalu, kudengar suara Konoha berkata, “Eh? Ah, ini dimana?” dia harusnya juga tidur di sofa, jadi bagaimana dia bisa disitu? Dia itu tukang tidur seperti apa sih?

Jam tiga pagi adalah terakhir kali aku terlibat dengan orang-orang ini.

Saat aku melihat jam dinding, waktu menunjukkan tepat pukul sembilan pagi.

Biasanya aku tidur selama empat belas jam, tapi karena ini rumah orang lain, tidak sopan kalau aku kembali tidur.

Tetapi, pada saat aku mencoba mengumpulkan kekuatan untuk bangun, aku merasakan sakit di kedua pahaku. Aku mengeluarkan suara “Ah.....” dan jatuh kembali ke sofa.

Aku langsung mendengar Kido bertanya, “Suara aneh apa yang kau buat.....?” tapi mengetahui kalau dia akan segera pergi, aku pura-pura tidak mendengarnya.

Kalau kupikir lagi, masuk akal jika aku merasakan pegal di kaki. Semalam aku berjalan cukup lama, bahkan bisa dibilang seharian.

Untuk sesaat, aku mulai putus asa karena merasa tidak berdaya, tapi aku menyadari tidak ada gunanya mengeluh.

Itu adalah saat dimana aku memikirkannya sebagai “harga yang pantas kubayar untuk menggunakan kekuatan di luar batas kemampuanku” seperti yang sering ada di manga.

Ya, aku telah diberi latar belakang menarik yang biasanya hanya dimiliki karakter utama. Oh, ayolah, seseorang sepertiku ini terlalu sempurna untuk memainkan pemeran utama. Hampir mustahil bagiku untuk menanggung kenyataan itu.

Selagi aku mengumpulkan pengetahuan dan informasi yang kudapatkan dari anime dan manga, lalu membiarkan otakku mencernanya, seperti yang selalu kulakukan, entah bagaimana ingatan akan mimpi yang baru saja kualami muncul.

Ayano.

Aku telah melihatnya berkali-kali dalam mimpiku, tapi belakangan ini aku mulai lebih sering melihatnya.

Apakah cuaca panas yang menjadi penyebabnya? Atau itu mungkin karena secara tidak sadar aku menolak menjadi dekat dengan orang lain?

Kalau kupikir-pikir lagi, hal yang sama juga terjadi ketika Ene datang.

Setelah gadis cyber itu masuk ke kehidupanku, aku mulai memimpikan Ayano setiap malamnya.

Pernah, ketika aku kembali memimpikannya, Ene memaksaku untuk bangun, dan kami jadi berkelahi karena hal itu.

Jelas bahwa pertengkaran yang kami lakukan saat itu lebih dari sekedar debat konyol yang biasa kami lakukan, melainkan pertengkaran sungguhan. Aku benar-benar meneriaki dan berseru pada gadis cyber itu yang juga meninggikan suaranya saat membalas ucapanku... Ahh... Petengkaran macam apa yang sebenarnya kami lakukan saat itu?

Pertengkaran itu berlangsung pada tengah malam dan aku masih sangat lelah, itu mungkin penyebab mengapa aku tidak terlalu bisa mengingatnya.

Lagipula, aku langsung meminta maaf sedalam-dalamnya kepada Ene karena rasa bersalah yang menghinggapiku tepat setelah aku bangun.

Aku masih ingat dengan jelas saat dia mengatakan ini seperti seorang bos, “Yah, menggoda seorang perawan itu percuma. Jadi, aku akan memaafkanmu.”

Itulah mengapa aku lebih memilih untuk melupakan kejadian itu, tapi... Aku sendiri merasa kagum akan betapa Masokisnya otakku ini.

Bersamaan dengan aku memikirkan hal ini, aku tiba-tiba mendengar suara air yang mengalir dari dapur. Dan setelah mendengar suara kulkas yang dibuka, baru kusadari kalau Kido sedang membuat sarapan.

“Ahh, kau membuatku merasa sungkan. Biar kubantu.”

Kataku sambil mencoba untuk bangkit lagi. Untuk menghindari memberikan tegangan di tempat yang sakit tadi, aku bangun dengan hati-hati. Benar saja, nyeri otot yang kualami lebih ringan dan tidak terlalu menyakitkan.

“Hm? Shintaro, kau bisa memasak?”

Kido bertanya sambil membilas peralatan makan. Kalau bisa aku ingin menjawab, “Ya, tentu saja,” tapi harus kuakui, aku bahkan tidak pernah benar-benar mencoba untuk memasak sesuatu.

Kalau Momo sih, rasa masakannya bisa disamakan dengan sebuah racun mematikan, tapi kalau dilihat dari pengalamannya, memang benar dia lebih banyak daripada aku.

Yang namanya keterampilan memasak tidak tertulis dalam daftar kemampuanku.

“Ahh, aku paham. Kau duduk saja.”

Dengan tajam Kido mengucapkan kalimat itu, dan kembali melanjutkan kegiatan mencuci piringnya.

Perlahan-lahan, perasaan menyesal akan menjadi sosok yang tidak berguna mulai berputar dalam hatiku.

NEET adalah makhluk rapuh yang akan mati jika mereka tidak terus berpikir bahwa mereka dibutuhkan oleh seseorang.

Untungnya, ruangan ini menjadi lebih nyaman karena pemuda itu kembali tertidur tepat di pintu masuk.

Dan sebaliknya, tidak ada orang lain yang terbangun. Jadi, tidak ada alasan yang mewajibkanku untuk bergerak.

Aku merasa agak bersalah karena sudah dimanjakan dengan sikap keibuan Kido, tapi aku memilih untuk bersantai sedikit lebih lama lagi.

Kira-kira sarapannya apa ya?

Untuk sekarang, aku ingin menyantap sarapan normal yang terdiri dari daging dan telur, atau sosis.

Tapi tunggu, bukannya ini merupakan sesuatu yang sulit dipercaya?

Tinggal dengan seorang gadis di bawah atap yang sama, menghabiskan malam, dan kemudian gadis itu membuatkan sarapan untukmu?

Hei, hei, hei, ini... Oh, ya ampun. Apakah akhirnya waktuku untuk ‘itu’ telah tiba?

......

...... Tidak, aku harus berhenti. Biarpun aku ingin menganggapnya seperti itu, bagaimana pun juga tidak akan bisa terjadi.

Dan jika aku tidak segera menyingkirkan angan-angan muluk yang membuat rusuh di dadaku, sekadar nafsu untuk sarapan pun tidak akan menghampiriku.

Satu-satunya yang berada disini adalah aku dan Kido.

Jika aku ingin bertanya langsung padanya, maka sekaranglah waktu yang tepat bagiku untuk bertanya.

Berdiri, aku berjalan menuju dapur.

Di sana, Kido berdiri memakai apron yang sama dengan apronnya kemarin dengan rambut yang diikat ke belakang, dan baru saja menyalakan api untuk penggorengan.

“Kau punya sedikit waktu luang?” Tanyaku, dan Kido menjawab tanpa menoleh, “Apa? aku sudah menyuruhmu duduk, kan?” sambil memecahkan telur ke dalam wajan dengan tangannya yang kosong.

Memang aku lebih memilih untuk tetap duduk, tapi hal seperti itu tidak bisa kupilih sekarang.

Perlahan-lahan, aku membuka mulutku.

“Kemarin, pada tengah malam, aku merasa sepertinya Kano sudah pulang... Apa kau tahu itu?”

“Kano? Tidak, aku tidak tahu.”

Kido menjawab sambil mulai mengaduk telur.

Telur dadar, ya? Pikiranku mulai teralihkan, tapi aku segera melanjutkan pembicaraan.

“Hei, apakah dia... Uh, apakah Kano..membenciku atau semacamnya? Apakah dia mengatakan sesuatu padamu?”

Apa yang terjadi pada Kano kemarin malam terus-menerus menggangguku.

Tiba-tiba saja dia muncul dengan penampilan persis seperti Momo untuk menipuku, dan yang paling mengejutkan, dia berubah menjadi Ayano sebelum menghilang entah kemana.

Aku merasa lelah saat itu, jadi aku menganggap kejadian itu hanyalah mimpi yang aneh.

Lagipula, aku tidak pernah berbicara dengan siapa pun tentang Ayano, harusnya Kano tidak  tahu tentang dirinya, dan juga, aku ingat kalau sebelumnya aku tertidur dengan posisi meringkuk di lantai, tapi ketika bangun, aku justru mendapati diriku sedang tidur di sofa. Wajar saja kalau aku merasa bahwa kejadian itu tidak nyata.

Jika kupikir ulang, rasanya hal itu terlalu menakutkan untuk sekedar dihitung sebagai mimpi. Semua itu terlalu nyata.

Aku tidak merasa nyaman ketika membicarakan hal ini dengan Kido, tapi aku butuh konfirmasi bahwa kejadian itu tidak lebih dari sekadar mimpi.

Ketika mendengar pertanyaanku, Kido menghentikan kegiatannya mengaduk dengan sumpit dan berpaling menghadapku.

“Apakah dia mengatakan sesuatu padamu kemarin?”

Selagi menanyakannya, Kido menggerakkan tangannya ke belakang dan memutar tombol untuk mematikan api dari kompor sebelum menyilangkan tangannya sambil tetap memegang sumpit.

Kido sepertinya menebak dari nada bicara kalau aku tidaklah bertanya secara spontan tanpa alasan, dan sebuah ekspresi agak cemas muncul di wajahnya.

“Ti-tidak, tidak seperti itu kok. Mungkin saja itu adalah mimpi yang sangat nyata. Dan lagi, bukan berarti dia bisa membaca pikiran orang, kan?

“Ya, Kano tidak bisa melakukan hal seperti itu. Yang jelas, sepertinya  Kano cukup menyukaimu, jadi kupikir dia tidak akan menganggapmu menyebalkan atau semacamnya…

Kido mengatakan rentetan kata itu dan menundukkan kepalanya, memasang ekspresi sedih.

Sepertinya dia tidaklah berbohong.

Lagipula, tidak mungkin Kano mempunyai kemampuan yang tidak diketahui oleh orang-orang yang tinggal bersamanya, dan aku juga tidak bisa membayangkan orang sebodoh dia melakukan hal seperti itu.

Pada akhirnya, kejadian itu paling cuma salah satu mimpi yang sering kulihat baru-baru ini. Hanya dengan memikirkannya, beban yang kurasakan di hatiku lenyap dengan cepat.

“Se-seperti itulah dirinya, jadi.....biarpun dia mungkin terkadang menyebalkan dan tidak menyenangkan, dia itu sebenarnya orang baik. Aku senang jika kau tidak memikirkan dia sebagai orang jahat.....”

“Tunggu, bukan! Bukan itu yang kumaksud. Aku hanya sangat lelah kemarin dan bermimpi buruk, itu saja. Selain itu, dia bahkan menjaga adikku. Aku tidak bisa membencinya atau semacamnya.”

Setelah aku mengatakan itu, ekspresi Kido menjadi cerah, dan  dia sedikit tertawa bersamaan dengan dia menjawab, “Be-begitu ya. Baguslah kalau begitu.”

Gabungan dari apron, aroma telur dadar, dan senyumannya membuat hatiku sesak. Untuk perawan sepertiku, kefeminimannya cukup untuk membuatku merasa melayang.

Dia adalah orang yang berbahaya.

“...Ya-yah, maaf sudah mengganggumu. Ngomong-ngomong, aku serahkan urusan sarapan kepadamu. Aku yang akan membersihkannya nanti.”

Yup, serahkan saja kepadaku. Memasak adalah keahlianku.”

Setelah mengatakan itu, Kido mulai memasak, dan serangan berturut-turut dari senyum kecil yang dipaparkan dari pundaknya, ikat kuda, dan daya tariknya soal bisa memasak, sudah cukup menggugah diriku yang perawan elit. Entah bagaimana caranya aku masih bisa bertahan.

Untuk sekarang, aku akan kembali ke sofa dan menunggu sarapan.

Tapi benar-benar deh, yang kulakukan hanyalah mencoba untuk mendiskusikan hal itu. Kekhawatiran yang kupendam dalam diriku lenyap sebagian, dan sekarang aku mulai merasa lapar.

Sampai Kido selesai memasak sarapan, kupikir lebih baik aku sedikit mengganggu Ene karena tidak punya kerjaan.

Saat mempertimbangkannya, yang mana jarang sekali kulakukan, aku tiba di sofa, dan melihat sesuatu yang berbulu putih seperti seekor domba berada disana.

Dia memegang HPku di satu tangannya, dan mati-matian mengetuk HPku dengan tangannya yang kosong.

“....Apa yang kau lakukan, Marry?”

Marry mendongak ke atas dan menghadap padaku.

Bola mata pink pucat dengan baju putih yang kontras, serta menggunakan piyama yang lembut, dan berenda halus, dia benar-benar terlihat seperti boneka.

Dan mungkin karena dia baru bangun, rambut putihnya yang lebat terlihat lebih tebal dari biasanya.

Antara dia sudah menganggapku temannya atau merendahkan diriku, Marry sepertinya tidak bersikap waspada lagi. Kalau bisa, aku lebih suka berpikir bahwa alasannya adalah karena dia menganggapku sebagai temannya sekarang.

“Shintaro.....gadis biru itu tidak mau keluar.”

Sambil mengatakan itu, Marry mulai memencet-mencet HPku dengan leluasa lagi.

“Ene? Sini biar kulihat.”

Aku mengambil HPku kembali dari Marry, tetapi seberapapun aku menekan tombol dayanya, tidak ada reaksi.

“Ah.....kalau dipikir-pikir, aku belum men-charge HP sejak kemarin.”

Kalau dipikir lagi, HP ini terus bersamaku sepanjang hari karena keributan yang Ene buat. Dia pasti telah menggunakan semua energinya, anak yang malang.

Biarpun aku tidak membawa charger denganku, fakta kalau baterai HPku telah terisi penuh kemarin pasti karena ada seseorang disini yang mengisikannya untukku.

Orang yang paling mungkin melakukan itu adalah Momo yang meminjam charger dari seseorang.

“A-apakah dia mati.....?”

Tanya Marry dengan ketakutan, tapi kupikir Ene tidak akan mati hanya karena kehabisan baterai.

“Tidak, kurasa dia tidak akan mati hanya karena ini. Setelah di-charge, dia akan hidup kembali.”

“Di-charge?”

“Huh? Ah, maksudnya, ada konsep dimana jika tidak ada listrik di dalam benda ini, maka dia tidak bisa bergerak.”

Setelah aku menjelaskan, Marry menjawab, “Dia memakan hal yang aneh~” dengan mata yang bersinar penuh dengan kekaguman.

Oi, makhluk apa ini. Kelihatan sangat murni dan tak berdosa. Tidak, aku tidak bisa. Bangunlah.

Menenangkan hati busukku yang mesum dengan semangat tak terkalahkan, aku dengan sempurna mengabaikan kelakukan Marry dan bertanya kepadanya.

“Marry, apakah kau tahu dimana tempat charger disimpan? Kido dan lainnya selalu men-charge HP mereka kan?”

“Um... Ah, benda yang seperti benang itu?”

Marry berpikir sebentar dan lalu sepertinya mulai ingat. Yah, benang dan charger jelas bedanya, bukan dua benda yang sama, tapi paling tidak aku bisa menangkap maksudnya.

“Iya, benda itu. Bisakah kau membawakannya kepadaku?”

“Oke, aku mengerti!”

Usai mengatakan itu, Marry berdiri dan menuju lemari di belakang sofa dengan langkah ringan.

Lemari yang didatanginya terlihat seperti salah satu yang sering muncul di buku lama. Berbagai keramik mencurigakan dan perhiasan-perhiasan antik memenuhinya. Siapa sih yang mempunyai hobi sampai membuatnya menjadi seperti itu?

Kalau dari kesan yang kudapat dari lemari itu, kurasa Kido adalah pelakunya, tapi bisa juga Kano yang menyukai hal seperti itu.

Ketika rak yang terlihat mencurigakan itu bergoyang dan nampak berbahaya, Marry mengacak-acak laci sambil bersenandung “Benang~ benang~”. Makhluk macam apa dia sampai berhasil membuatku ingin melindunginya dari segala bahaya?

Manis dan tak berdosa. Kata-kata itu sangat pantas untuk gadis ini.

Dibandingkan adikku yang tukang ribut, dia lebih terlihat seperti gadis yang sebenarnya.

......Tidak, aku tidak bisa. Sikapku terlalu mirip seperti perawan. Sebusuk apa sih diriku ini?

Karena diriku yang amat sangat kekurangan interaksi dengan perempuan, aku menjadi seorang lelaki yang ribut hanya karena hal-hal kecil.

Sebagai perawan elit, ini sangatlah buruk.

Aku harus kembali mempunyai hati yang bijak.

Ngomong-ngomong, sepertinya Marry agak kesulitan. Jika sebelumnya dia menyenandungkan lagu tentang benang dengan ceria, sekarang dia sedang menggerutu pelan.

“Heeei, kalau kau tidak bisa menemukannya, kau tidak perlu susah payah mencarinya. Lagipula kalau Ene hidup lagi, keadaan akan bertambah bising, jadi tidak apa-apa kalau seperti ini....”

Saat aku mengatakan ini, Marry membalikkan badannya ke arahku dengan ekspresi terluka.

“Tidakkah kamu merasa bersalah ketika mengatakan hal seperti itu!?”

Pundakku gemetaran dengan menyedihkan saat dikatai seperti itu. Berhasil diintimidasi oleh seorang gadis kecil membuatku harus mengakui kalau aku ini kekurangan keberanian.

Padahal, dulu Marry terlihat gugup saat bertemu denganku pertama kalinya, tapi kemarin dan hari ini, dia bisa mengatakan hal yang ada dipikirannya dengan mudah.

Apakah dia telah sedikit terbuka denganku?  Kalau dipikir dengan sudut pandang tertentu, hal seperti ini tidaklah buruk.

“Pasti sepi kalau harus sendirian. Aku yakin dia juga merasakan hal yang sama.”

Menggembungkan pipinya, Marry mulai mengubrak-abrik lacinya lagi.

Sepertinya Ene diuntungkan disini. Biasanya aku bukanlah orang yang peduli, tapi jika menyangkut masalah ini, rasanya tidak buruk juga.

Memang dari awal, fakta mengenai bagaimana tidak ada yang terkejut saat melihat Ene sudah sangat aneh.

Orang normal biasanya akan bertanya “Bagaimana dia bergerak?” atau “Siapa yang berbicara itu?”

Aku juga yakin akan bereaksi seperti itu jika tiba-tiba melihat Ene.

Namun, mempertimbangkan bagaimana mereka sendiri juga sangat misterius, dan jika hal itu dikesampingkan, mereka sangatlah ramah.

Dengan berpikir seperti itu, aku merasa situasi ini patut untuk disyukuri.

Syukurlah.”

Aku membisikkannya dengan pelan, lalu mengelus layar HP yang mati dengan jariku.

Aku tidak tahu dari mana asalnya, tapi perasaan sayang pada Ene mulai tumbuh di diriku.

Mungkin saja aku telah terselamatkan oleh kemunculannya di ruangan itu, tempat dimana aku terus sendirian.

Di sisi lain, bertemu dengan orang-orang ini, dan menjadi terbuka pada mereka, semua berkat gadis cyber itu.

“Shintaro, aku menemukannya! Charger-nya ketemu! Tunggu sebentar, itu ada di belakang....”

Mendongak ke atas, aku melihat tangan Marry mencapai ke dalam laci, dan sepertinya mau mengeluarkan charger yang dia temukan.

Karena laci yang bergoyang, semua koleksi perhiasan kecilnya bergetar dan membuat suara berisik.

“He-hei, berhati-hatilah, Marry. Tidak usah buru-buru.”

“Mm. Tidak apa, tidak apa....dapat.”

Bersamaan Marry mengatakan ini, dia menarik tangannya dan memegang kabel charger-nya.

Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan jika itu benar-benar hanyalah sebuah benang tua biasa, tapi apa yang dibawa Marry memanglah charger.

“Ohh! Ya, itu dia. Makasih.”

Setelah aku mengatakan ini, Marry tertawa kecil seperti ini “Ehehe.”

Ugh, imut banget.

Saat Marry berbalik untuk memberikannya kepadaku, Kido keluar dari dapur membawa makanan.

“Sarapan siap~.....Hm? Ohh, Marry, kau bangun. Kerja bagus bisa bangun sendiri.”

“Ya! Ah, Shintaro juga memujiku. Aku menemukan charger untuknya.”

Marry dengan senang mengulurkannya kepadaku, dan pada ujung kabelnya, yang mana tadi tidak terlihat karena terhalangi sofa, ada sesuatu seperti ikat pinggang yang terjerat disekitarnya.

Asalnya, aku tidak tahu apa itu. Tapi saat aku menyadari apa itu sebenarnya, aku tersentak.

Pada waktu yang sama, Kido mengeluarkan jeritan kecil. Namun saat aku berbalik untuk melihat Marry, Kido telah menghilang.

“Huh? Apa ini? Lengket.”

Marry berkata bersamaan dengan dia mengambil sesuatu seperti ikat pinggang itu dan menatapnya dengan kuat.

"Bu- bukankah itu kulit ular?! Kenapa benda seperti itu ada di sana?!"

"Huh, kenapa ...... Aku heran kenapa. Aku pikir Kano membawanya dari suatu tempat ...... Ah, uwaah! Kido, ada apa? Apakah kau menangis?"

Marry tiba-tiba berbalik, menghadap ke arah udara kosong dan mulai berbicara. Oh, begitu. Jadi Marry masih bisa melihat Kido.

Kemampuan ‘Mata Penyembunyi’ Kido adalah kemampuan berguna yang memungkinkan dia untuk menurunkan batas penglihatan orang lain pada dirinya dengan sesuka hati.

Namun, syaratnya adalah pada saat dia menghilang, orang yang ingin dia gunakan kemampuannya itu harus tidak melihat dirinya. Marry, yang tidak mengalihkan pandangannya dari Kido, sepertinya masih bisa melihatnya sama seperti sebelumnya.

"M-maaf, Kido, kamu baik-baik saja...? Apakah perutmu sakit? "

Marry mengkhawatirkan Kido saat dia masih memegang kulit ular dengan tenangnya.

Karena aku masih tidak bisa menemukan Kido sampai sekarang, aku tidak terlalu bisa mengerti apa yang terjadi sebenarnya.

"M-Marry, mungkin saja Kido bersembunyi karena dia tidak menyukai kulit ular itu atau semacamnya?"

"Ini? Hmm, apakah begitu Kido? ....Aku mengerti. Oke. Aku akan menyingkirkannya."

Marry kembali ke lemari lagi, dan menyembunyikan kulit ular di belakang model mobil besar beroda tiga.

Kido pasti menyuruhnya untuk melakukan itu. Marry tampaknya tidak mengerti, dan hanya bergumam pelan, "Aneh."

"Hei, Kido, kau baik-baik saja?"

Aku memanggilnya di udara hampa, tapi tidak ada jawaban. Dia mungkin tidak ingin terlihat sedang gemetaran dengan mata berkaca-kaca.

Setelah menyingkirkan kulit ular, Marry kembali ke sisiku dan menyampaikan kepadaku, "Kido bilang, sebentar lagi."

Sama seperti di rumah hantu kemarin, Kido adalah seorang penakut akut sampai-sampai aku bingung mengapa dia menjadi ketua.

Aku yakin bahwa aku juga cukup penakut, tapi Kido mungkin pada tingkat yang lebih tinggi dariku. Seperti seorang penakut kelas atas.

Tapi apa boleh buat, jadi untuk saat ini, aku mengambil charger dari Marry dan mulai men-charge handphone-ku sambil menunggu kembalinya Kido.

Setelah duduk dengan Marry selama beberapa menit, Kido muncul dari udara.

Pasti gara-gara kemampuannya itu matanya menjadi agak merah.

"M-maaf menunggumu. Ayo kita sarapan."

Meskipun Kido dengan kikuknya berupaya untuk tersenyum saat dia mengatakan hal ini, kupikir reaksinya tadi tidak bisa kulupakan, tapi karena aku merasa tidak enak untuk membicarakan itu, aku hanya menjawab dengan "Ya, mari kita makan."

Setelah perjalanan bolak-balik tadi, sarapan akhirnya telah ditata di atas meja.

Ada telur dadar, salmon panggang, (1)nori panggang, (2)natto, dan berbagai macam hidangan yang membuatnya menjadi rangkaian lengkap yang sempurna untuk sarapan.

"Makanan ini sangat normal, bagaikan diturunkan oleh dewa......"

"Hm? Kami selalu makan makanan seperti ini."

Kata Kido saat ia menyuguhkan nasi dari penanak nasi yang ditempatkan di ujung meja makan.

Di markas yang seperti ini, mereka memakan sarapan normal setiap hari?

Membayangkannya saja sudah membuatku merasa aneh.

Aku mulai berpikir tentang bagaimana aku lebih suka sarapan gaya barat, tapi aroma sup miso buatan Kido menggerakan nafsu makanku, membuat keluhan kecil tadi terbang bagai ditiup angin.

Aku menjadi terdorong untuk mulai makan secepat mungkin, tapi kemudian aku melihat bahwa hanya ada empat mangkuk nasi yang diletakkan di meja.

Itu hanya cukup untuk empat orang yang berada disini sekarang. Tidak ada apapun untuk Seto, Momo, dan Hibiya yang belum datang ke ruang tamu.

"Huh. Apakah tidak apa-apa tidak membangunkan yang lain ? Aku merasa tidak enak untuk memulai sarapan tanpa mereka hanya karena mereka masih tidur......"

"Ahh, maksudmu Momo dan yang lain? Mereka sudah keluar."

Bersamaan dengan dia mengatakannya, Kido meletakkan mangkuk nasinya, merogoh sakunya untuk mengambil secarik kertas yang dilipat dua, dan memberikannya kepadaku.

Kebingungan apa itu, aku membuka kertasnya, dan melihat hal-hal yang menyerupai hieroglif yang biasanya digunakan di masa lalu.

Pada awalnya aku berpikir itu semacam kode, tapi setelah melihat tanda tangan di bagian paling bawah tertulis "Momo" Aku menyadari bahwa pesan menakutkan ini ditulis oleh tangan adikku.

"Tulisannya begitu berantakan......"

Seperti diberi aba-aba, Kido meneruskan komentarku, "Aku setuju kalau itu tampak sangat buruk, tapi... Mari kita menafsirkannya sebagai artistik."

Setelah menyadari bahwa itu adalah tulisan Momo, aku bisa membacanya sangat cepat.

Benda ini kira-kira mengatakan sesuatu seperti, "Aku akan keluar untuk mencari seorang gadis bernama Hiyori dengan Hibiya-kun. Kami akan menghubungimu jika sesuatu terjadi, tapi kami pasti kembali untuk makan malam."

"Apakah Hiyori itu gadis yang disebutkan Hibiya? Ngomong-ngomong, mereka pergi pagi sekali...... "

"Mereka tidur lebih cepat kemarin hanya untuk ini. Dan juga, Seto yang sudah merawat Hibiya juga keluar jadi dia mungkin tidak bisa ditinggalkan sendirian."

Jelas Kido, dan kemudian berdiri untuk berjalan menuju pintu masuk. Aku berharap bahwa dia akan melakukan sesuatu tentang pria itu yang masih bermalas-malasan.

"Hei, berapa lama kau akan terus tidur? Bangun."

"Ya.... Ya, baiklah......"

Dinilai dari jawaban Konoha yang grogi dan malas, itu adalah  ciri khas perilaku seseorang yang sangat sulit berurusan dengan pagi hari.

Daripada tidak bangun sama sekali, orang-orang yang berbicara omong kosong sementara masih tertidur jauh lebih buruk.

Aku merasa ini akan menjadi menyusahkan, tapi ketika aku melihat ke arah pintu masuk, Kido hanya berkata "Sudah waktunya untuk makan." dan langsung membangunkan Konoha.

"Selamat pagi.”

"Ya, selamat pagi. Ayo duduk. Kita makan sekarang."

Setelah mengatakan ini, Kido kembali bersama Konoha. Kido dan Marry duduk di samping satu sama lain, sementara Konoha duduk di sampingku.

"Seto juga tidak ada disini, ya?"

"Sepertinya dia sedang kerja paruh waktu. Aku mendapat pesan darinya."

"Jadi itu berarti ini sudah semuanya, kan?"

"Ya, itu benar."

Aku sudah berada  pada batasku dengan menahan perut keronconganku. Mengambil sumpit, aku menepukkan kedua tanganku.

"Selamat makan!"

Kami berempat mengatakannya bersamaan, dan kemudian mulai makan dengan gaya masing-masing. Adapun Konoha, meski baru saja terbangun, ia melahap nasinya dengan kecepatan yang luar biasa.

Meskipun ini hanyalah hidangan sederhana seperti ikan, telur, dan sup miso, alasan mereka tidak terasa hambar pasti karena keahlian memasak Kido.

Cara bagaimana dia menggunakan bumbu-bumbunya dengan rumit benar-benar mencerminkan dirinya.

"Bolehkan aku minta tambah?"

Kata Konoha sambil mengulurkan mangkuk nasi ke Kido. Tidak ada sebutir nasi pun yang tersisa di mangkuknya.

Aku tidak mempecayai mataku, karena fakta bahwa bahkan tidak satu menit pun telah berlalu sejak kami memulai sarapan. Sistem pencernaan seperti apa yang orang ini miliki?

"Oh, yah, tentu saja. Makan sebanyak apapun yang kau inginkan."

Kido tampak senang mengambil mangkuk nasi darinya dan mengisinya dengan hampir dua kali jumlah dari sebelumnya.

"Ini. Apakah ini cukup untukmu?"

Tawa Kido menantang saat dia mengembalikan mangkuk penuh ke Konoha.

Di depan porsi besar nasi seperti itu, bahkan Konoha, yang biasanya berwajah tanpa ekspresi, membuat wajah terpesona. Itu tampak seperti sebuah adegan dari sebuah komik perempuan.

Yah, meskipun biasanya sarapan seperti ini sangat berisik, memakan sarapan dengan banyak orang seperti ini tidaklah terlalu buruk.

Menu sehat mungkin telah menjadi bagian dari hal itu, tapi ini adalah pagi yang sangat menyenangkan.

Saat aku memikirkan ini sambil menyeruput sup miso, aku menyadari kalau Marry sedang mengupas kulit salmon miliknya.

Memang benar biasanya bagian itu tidak dimakan, tapi ...... Ah, tapi Momo selalu makan semuanya. Kalau begitu, seharusnya kita tidak memakannya dong.

Marry benar-benar berhati-hati saat mengelupasi kulit ikan itu.

Karena dia mengulitinya dengan sangat serius, aku jadi malah memperhatikannya melakukan itu, kebingungan dengan apa yang sebenarnya dia lakukan. Saat akhirnya dia mengelupas kulit ikan itu dengan bersih, Marry dengan bangga mengambil kulit itu di sumpitnya dan menunjukkannya kepadaku.

“Shintaro, coba lihat! Ini jadi seperti kulit ular yang tadi.”

Karena ucapan Marry yang tiba-tiba, Kido yang tadinya melahap nasinya, merintih penuh derita.

Dibandingkan dengan pengalaman buruk yang terjadi tadi, yang seperti ini sih tidak seberapa. Dan Marry juga sepertinya tidak bermaksud menakut-nakuti.

“He-hei, Marry. Kau tidak boleh melakukan hal-hal seperti itu saat sedang makan.....”

Aku tidak tahu lagi apa yang harus kukatakan, tapi untuk sekarang, aku berusaha dengan lembut menganjurkannya menghentikan itu. Kido mengangguk dengan semangat, setuju dengan perkataanku.

“Uu~ Padahal aku sudah susah payah mengelupasinya dengan baik...”

Sambil mengatakan ini Marry mengembalikan kulit ikan salmon itu ke piringnya, menurunkan sumpitnya, dan menundukkan kepalanya dengan sedih.

Kalau dipikir-pikir, reptil adalah makhluk yang sepertinya akan membuat seseorang pingsan saat melihatnya, tapi gadis ini sepertinya cukup berani disekitar mereka.

Biarpun mungkin itu karena dia kekanak-kanakan, reptil bukanlah sesuatu yang umumnya disukai gadis-gadis...... Ah, tapi Momo juga pernah bilang, “Bolehkah aku memelihara bunglon?”. Kalau begitu, hanya gadis normal saja yang tidak menyukai reptil.

“Sepertinya Marry tidak terlalu takut dengan hal-hal seperti itu, ya? Biarpun dia adalah perempuan.”

Kataku, dan Kido bergumam sambil mengaduk natto-nya, “Yah, itu sudah pasti...” dan lalu melanjutkan dengan suara yang lebih nyaring.

“Sebelum dia tinggal disini, Marry hidup di dalam gunung sendirian. Sesuatu seperti ular bukanlah apa-apa baginya.”

Kido mengatakannya seperti hal itu bukanlah sesuatu yang terlalu aneh, tapi bagiku itu tidaklah normal.

“Marry tinggal di gunung sendirian!? Bagaimana bisa? Bagaimana dengan orang tuanya....”

Pada waktu aku mengatakan ini, pundak Marry bergetar, dan dia mengepalkan tangannya yang berada dipangkuannya.

Apakah itu adalah sesuatu yang harusnya tidak kupertanyakan? Aku merasa mulutku telah mengeluarkan kata-kata yang lancang.

Baru saja aku ingin meminta maaf karena perasaan menyesalan yang muncul di dadaku, perlahan Marry mulai berbicara.

“Saat aku masih kecil, ayahku meninggal. Dan sejak saat itu, tinggal aku dan ibuku saja. Tapi saat aku mengabaikan peringatan ibuku dan pergi keluar, aku bertemu dengan orang-orang yang mengerikan, dan kupikir mereka membawa ibuku ke suatu tempat.”

“A-apa yang kau maksud dengan itu....?”

“Um, aku dan ibuku berbeda dengan ayahku. Kami mempunyai mata merah sejak lahir, dan dia mengatakan kami ini adalah Medusa yang biasanya muncul di buku cerita bergambar. Dia juga mengatakan kalau orang-orang diluar takut pada kami karena berbeda dari mereka. Itulah penyebab kenapa dia tidak memperbolehkanku keluar, tapi aku masih.....”

Cerita Marry membuat semua yang berada di dalam ruangan ini terdiam. Bahkan Konoha, yang tadinya melahap makanannya seperti hewan buas, berhenti untuk mendengarkan apa yang Marry katakan.

Apakah itu yang Kido maksud tentang Marry yang tinggal sendirian?

Setelah mendengarkan ceritanya, sepertinya keluarga Marry telah ditindas oleh orang-orang disekitar mereka.

Mungkin karena itulah mereka disebut ‘Medusa’.

Saat aku bertanya kepada Kido tentang itu, dia menjelaskan kalau kemampuan Marry bisa menghentikan pergerakan orang-orang yang membuat kontak mata dengannya untuk sementara.

Itu bukanlah suatu kemampuan yang dimiliki oleh manusia biasa, dan kalau masyarakat sampai mengetahui ini, aku bisa mengerti bagaimana mereka bisa takut padanya.

“Marry.... Ini pertama kalinya kau benar-benar menceritakan hal ini, bukan?”

Yang mengatakan ini adalah Kido.

Sepertinya bukan aku saja yang terkejut mendengar cerita Marry.

“I-iya. Aku mempunyai banyak teman sekarang, jadi mungkin aku merasa lebih aman. Aku tidak lagi merasakan ketakutan untuk menceritakan ini.”

Kata Marry sambil tersenyum kecil.

Begitu toh. Kudengar Marry belum terlalu lama tinggal disini, tapi kalau dilihat bagaimana keadaannya, sepertinya dia tidak terlalu membicarakan tentang dirinya sampai sekarang.

“Aku mengerti. Ngomong-ngomong ibumu itu, apakah tidak ada......laporan orang hilang untuknya? Sialan....”

Kata Kido, ekpresi marah muncul dari wajahnya. Dia pasti memikirkan sesuatu yang sama denganku.

Marry mengatakan kalau ibunya juga bermata merah, itu berarti dia juga pasti memiliki suatu kemampuan.

Fakta bahwa dia telah diculik saat Marry pergi keluar, dan fakta bahwa Marry berada disini sekarang, berarti dia telah melindungi Marry dari orang-orang luar. Dengan kata lain, masuk akal juga aku berpikir kalau dia telah menjadi pengganti untuk Marry.

Masalahnya adalah, kalau ibunya hanya dibunuh itu tidak apa-apa, tapi karena dia telah dibawa pergi, bisa dipertimbangkan kalau orang-orang itu tidaklah bertindak untuk melindungi diri sendiri.

Hal yang tidak normal biasanya akan membuat orang-orang penasaran.

Mungkin ini adalah kecurigaan yang tidak adil, tapi ini bisa berarti ibu Marry telah dibawa oleh orang-orang berotak keji untuk mendapatkan suatu keuntungan.

Memikirkannya seperti itu membuat perasaan muak berputar-putar dari dalam perutku.

Keluarga Marry telah mencoba melindungi kebahagiaan mereka, dan hanya hidup berdua saja.

Biarpun mereka harusnya ditolong pada situasi seperti ini, kebahagiaan mereka malah dicuri; ini tidak bisa dimaafkan.

“Bagaimana bisa mereka melakukan hal sekejam itu....”

Perkataan yang kukatakan itu menjelaskan perasaanku pada saat ini.

Bagaimana pun aku memikirkannya, aku tidak bisa mengerti apa yang terjadi. Sebelum kemari, Marry telah tinggal seorang diri, tidak bisa bergantung pada siapa pun.

Kata-kata yang diucapkan Marry tadi saat memikirkan Ene, “Pasti sepi kalau harus sendirian.” seberapa besar arti yang berada dibalik perkataan itu?

Perasaan yang tidak mempunyai tempat untuk pergi mengerat dalam dadaku.

Biarpun aku mencoba berpikir bagaimana cara untuk membantunya, aku hanya bisa merasa ditekan oleh ketidakberdayaanku.

“Apakah kau mengingat seperti apa orang-orang yang membawa ibumu? Sesuatu yang bisa membedakan mereka saja sudah cukup.”

“.....Aku tidak terlalu bisa mengingatnya. Itu sudah lama sekali, dan karena aku dipukuli sampai hampir pingsan, aku tidak terlalu bisa melihat wajah mereka. Dan saat aku sadar kembali, ibuku dan juga orang-orang itu telah menghilang....”

Marry mengatakan ini dengan wajah yang kesusahan dan penuh sesal. Jika dia telah dianiaya, dan itu adalah sesuatu yang terjadi saat dia masih kecil, bisa dipahami bagaimana dia tidak terlalu mengingat rincian dari kejadian itu.

“Begitu ya.... Paling tidak, apakah kau mengingat berapa tahun yang lalu itu terjadi?”

“Umm....aku menghitung sebanyak seratus musim panas yang telah berlalu, jadi mungkin seratus tahun yang lalu. Setelah itu aku lupa menghitungnya, jadi mungkin lebih banyak lagi....”

Maru menjawab sambil mengangguk-ngangguk setelah mengingat semua itu kembali.

Begitu toh, kalau itu terjadi seratus tahun yang lalu, tidak mengherankan kalau susah diingat. Seandainya saja terjadi beberapa tahun yang lalu. Tunggu.......
.
.
.
SERATUS TAHUN!?”
.
.
.
Kido dan aku menyerukannya pada waktu yang sama.

Seratus tahun?

Tidak, itu tidak mungkin.

Andai gadis imut di depanku mengatakan dirinya berumur seratus tahun, seratus dari seratus orang akan mentertawakannya dan mengatakan, “Itu lucu!”

Karena ucapan kami yang tiba-tiba, Marry berteriak, “Eek! Maaf!” dan menyentakkan pundaknya.

“Ka-kau bercanda, kan? Kau sama sekali tidak terlihat seperti berumur seratus tahunan......”

“I-itu benar kok! Aku sudah diajari bagaimana caranya berhitung! Ah, tapi setiap kali aku menanyakan kepada ibuku berapa umurku, dia selalu marah dan mengatakan kepadaku untuk tidak membicarakannya, jadinya dia tidak pernah mengatakan berapa umurku......”

Biarpun Marry menegaskannya dengan sungguh-sungguh, itu bukanlah sesuatu yang mudah dipercaya.

Namun, karena fakta ada orang yang benar-benar bisa menghilang tepat di sampingku, aku tidak bisa menyangkalnya begitu saja.

Kido mulai menggaruk kepalanya, “Apakah kemampuan seperti itu memang ada....”

Kemampuan untuk hidup lebih dari seratus tahun. Apakah kemampuan Marry adalah ‘keabadian’?

Tidak, itu tidak masuk akal.

Kemampuan seperti itu tidak mungkin ada.

Aku tiba-tiba teringat cerita yang Kido katakan kemarin, tentang bagaimana dia mendapatkan kemampuannya.

Kano, Seto, dan Momo, semuanya mendapatkan kemampuan mereka setelah mengalami kejadian hampir mati.

Namun, Marry sajalah yang mempunyai kemampuan sejak lahir.

Jelas sekali bahwa dia mendapatkan kemampuannyadengan cara beda dari yang lainnya.

“Hei, Marry. Apakah kau sudah mempunyai kemampuan itu sejak kau lahir?”

“Eh? Iya, kau benar. Tapi, sejak kecil ibuku selalu mengatakan kepadaku agar tidak menggunakannya.

Semua ini terlalu misterius.

Kemarin, kira-kira aku telah mengungkapkan bagaimana caranya kemampuan didapatkan, tetapi karena hanya Marry sajalah yang berbeda, aku menjadi sangat kebingungan.

Dia mempunyai kemampuan sejak awal, tanpa harus pergi ke ‘dunia itu.’

Dan ibunya juga seorang pemilik kemampuan.

Medusa yang telah hidup lebih dari seratus tahun....

Ini benar-benar seperti cerita fantasi, tapi ada banyak hal misterius yang berada di dunia ini.

Bersamaan dengan insiden Kido, aku jadi berpikir semua ini ada hubungannya dengan ‘kejadian’ yang terjadi ratusan tahun yang lalu.

Jika begitu jadinya, kami bisa melangkah maju menuju jawaban sebenarnya dengan memecahkan misteri dari cerita Marry.

Namun, biarpun kami mencoba untuk mencari ibu Marry, tidak mungkin kami pergi ke polisi dan mengatakan sesuatu seperti, “Kami mencoba mencari ibu gadis ini yang menghilang seratus tahun yang lalu.”.

Dan biarpun kami bergantung pada ingatan Marry, terlalu banyak bagian yang tidak jelas. Apa yang bisa kami lakukan?

“Umm....aku punya ide.”

Selagi aku mempertimbangkan berbagai hal tanpa akhir, Konoha tiba-tiba mengangkat tangannya.

“Uh, oke. Apa?”

Kido sepertinya agak terkejut mendengar hal itu dari orang yang tidak terduga.

Dengan ekspresi tidak terbaca seperti biasanya, Konoha perlahan mulai memberikan pendapatnya.

“Mungkin ini tidak penting, tapi bisakah kita mencoba untuk pergi ke rumahnya?”

“Eh?”

Aku dan Kido tercengang.

“Ah, kubilang, bisakah kita mencoba untuk pergi ke rumahnya? Ah, yang kumaksud dengan rumahnya bukanlah yang ini, tapi dimana dia dulunya tinggal, umm, maksudku....”

“Itu dia!”

Seperti memotong perkataan Konoha yang mulai melantur kesana kemari, aku dan Kido kembali berbicara pada waktu yang sama.

Kalau kami memikirkannya baik-baik, benar juga.

Kalau ibu Marry menyebut diri mereka ‘Medusa’, itu berarti dia memiliki kesadaran tentang kemampuan mereka.

Bahkan jika kami tidak mendapatkan jawaban apapun, paling tidak kami bisa mendapatkan sedikit informasi tentang kemampuan ini di rumah Marry.

“Sepertinya itu ide yang bagus. Bagaimana menurutmu, Shintaro?”

“Sebenarnya aku merasa hanya inilah cara satu-satunya. Mungkin kita bisa menemukan jawaban dari serangkaian kejadian ini.”

Setelah aku mengatakan hal ini, Konoha sedikit tersentak, "A-apakah itu berarti kita bisa menemukan cara untuk menyelamatkan Hiyori?"

"Aku tidak bisa menjamin apa-apa, tapi...paling tidak, kita mungkin akan menemukan semacam petunjuk."

Mendengar ini, wajah Konoha menjadi penuh tekad.

Kalau dipikir-pikir, dia sudah dimarahi dengan kasar oleh Hibiya kemarin.

Hibiya mengatakan bahwa dia tidak mampu menyelamatkan seorang gadis bernama Hiyori, tetapi dengan bagaimana Konoha tidak menunjukkan rasa sedih di wajahnya, dia telah bertekad untuk berusaha menyelamatkan Hiyori.

"Jika kita akan pergi, ayo kita keluar. Marry, tidak apa-apakah kami melihat-lihat seisi rumahmu? "

Kido mengatakannya bersamaan dia berdiri.

"Kalau dengan kalian semua, kurasa tidak apa-apa," Jawab Marry sambil tersenyum.

"Baiklah. Karena masalah ini sudah beres, lebih baik kita bersih-bersih. Aku merasa tidak enak Kido melakukan semua pekerjaannya, jadi aku akan ...... "

Aku mengatakan ini dan mulai berdiri, tapi aku benar-benar lupa tentang sakit otot di kakiku.

Aku bergerak dalam posisi merangkak untuk menghindari rasa sakitnya bertambah buruk.

Kido sepertinya menyadarinya dan tersenyum sinis.

"Baiklah kalau begitu, aku akan bersiap-siap. Aku mengandalkanmu, Shintaro." katanya, dan pergi ke kamarnya.

Tunggu sebentar.

Kami merencanakan ini secara tiba-tiba, tetapi aku telah melupakan sesuatu yang sangat penting.

Kekhawatiran kecil itu segera berubah menjadi sebuah kesadaran yang sangat serius.

"H-Hei, Marry. Coba ulangi, dimana rumahmu...?”

Aku menanyakan ini dengan sangat lambat, dan Marry menjawab dengan bahagia, “Di belakang hutan, tidak jauh dari sini! Kalau kita berjalan dari stasiun, kupikir akan memakan waktu perjalanan sekitar 2 jam?"

Mendengarnya, aku roboh ke lantai.

Dua jam!?

Oh tidak, tidak, tidak, itu gila. 

Selain tidak memiliki tenaga, bagaimana bisa aku diharapkan untuk berjalan selama berhari-hari berturut-turut?

Batalkan.

Ya, kami harus membatalkannya.

Aku akan segera memberitahu Kido, dan ......

"Sepertinya kita juga akan berpergian hari ini! Aku mengandalkanmu, Shintaro. Ah, Kido ikut juga, kan? Aku tidak bisa menunggu!"

Marry mengatakan ini dengan senyuman yang lebar.

Tidak ada orang di dunia ini yang bisa mengatakan mereka ingin membatalkannya setelah melihat senyum itu.

"Y-ya, aku juga..."

Aku mengatakannya dengan ekspresi terluka, dan untuk sementara ini, duduk di sofa.

Setelah mendengar Marry mengatakan demikian, aku teringat kalau aku telah men-charger HPku.

Ketika aku melepaskan charger dari ponselku yang diletakkan di sofa, aku melihat bahwa HPku hampir terisi penuh. Namun, aku segera menyadari ada sesuatu yang aneh. 

" ......Huh?"

Aku tidak bisa melihat Ene  di layar.

Aku mencoba menggoyangkan ponsel dan memanggilnya, tapi dia masih tidak muncul.

Mungkin dia pergi ke HP Momo.

Bahkan saat komputerku hancur, dia tidak lenyap begitu saja, jadi tidak mungkin dia menghilang hanya karena kehabisan baterai.

Aku meyakinkan diriku dan memasukkan HPku ke dalam saku.

Sambil mendesah, aku melihat meja di depanku.

Ngomong-ngomong, pertama-tama aku harus membersihkan ini. Kemudian agenda utama berikutnya untuk hari ini adalah hiking, ya? Aku memiliki banyak kekhawatiran tentang apa yang akan terjadi, tapi mengeluh tentang hal itu tidak akan ada gunanya.

Meskipun begitu, peristiwa yang terjadi beberapa hari ini seperti semacam rencana seseorang untuk menjadikanku manusia yang layak.

Tidak, serius deh, bagaimana kalau ini beneran rencana dari seseorang?

Seseorang yang memiliki kekuatan untuk memanipulasi nasib......

Saat aku memikirkan hal itu, aku tak bisa menahan tertawa.

Jika aku tidak mengalaminya sendiri, aku tidak akan hanya menertawakannya; tidak mungkin cerita segila ini benar-benar terjadi.

Tapi, aku di sini sekarang karena aku diam-diam memiliki keinginan untuk menyelesaikan masalah ini.

Demi seseorang.

Mungkin ini semacam penebusan.

Meski begitu, jika ada sesuatu yang aku bisa lakukan sekarang, maka aku harus mencoba melakukannya.

Bersamaan aku memikirkan hal-hal tersebut, aku mulai membersihkan sarapan yang sudah habis dimakan.

---

Translator Note
Nori    : Sejenis makanan dari rumput laut. Berbentuk lembaran yang dikeringkan.
Natto : Kedelai yang dipermentasikan.
Sarapan gaya barat(kalo gak tau) : Roti, telur, susu
Hierogliph : Tulisan-tulisan yang biasa dipakai pada zaman mesir kuno.

2 komentar:

  1. Yo.. Yo.. Saya nungguin kelanjutannya lho ^w^

    BalasHapus
  2. Wii, akhirnya nemu blog penuh dengan masterpost Kagepro dan Shuuen no Shiori dengan bahasa Indonesia~ (/;w;)/ *telatbanget*

    Ditunggu lanjutannya ya~ (/;u;)/

    BalasHapus