Cerita Malam Menipu I
Kredit kepada kur-ro-ha untuk English Translation
Bagian terakhir diambil dari sini
“....seperti yang sudah kuduga,
ini masih sangat menyakitkan.”
Aku hanya bisa terhentak karena
kesakitannya.
Aku menggunakan tanganku untuk
meraba sumber dari kesakitanku. Pipi kananku menyebarkan rasa sakit ini seperti
panas api yang membara, kesakitan menyebar dari ujung jariku yang dingin sampai ke otakku yang terdalam.
Sekitar jam 11 tadi, aku telah
dipukuli.
Biarpun sudah beberapa jam
berlalu sejak aku dipukuli, rasa sakit ini sepertinya tidak akan hilang untuk
beberapa waktu. Bahkan, pipi kananku serasa makin lama makin panas dan
sepertinya mulai menjadi bengkak.
“Beneran deh, ini menyusahkan
banget.”
Aku mengingat kalau di kulkas
ada sisa es batu waktu ibu membawa kue dulu.
Paling tidak aku bisa
menghentikan pembengkakannya dengan meletakkan es batu di pipiku.
Akan sangat menyulitkan kalau
sampai tertinggal bekas luka.
Benar-benar menyusahkan saat
tetangga terus bertanya, “Bagaimana kamu
bisa terluka?” dan “Siapa yang
memukulmu?”
Seandainya ada orang aneh yang
datang ke rumah kami lagi, aku tak sanggup menerimanya.
Beneran deh, kenapa laki-laki
itu terus menggangguku? Padahal aku tidak memerlukan bantuan siapa pun.
Sekarang, semua luka kecil ini bukanlah masalah yang sebenarnya.
Ya, kesakitan seperti ini tidak
bisa disamakan dengan kekhawatiranku.
Untuk meningkatkan semangatku,
aku perlahan menghela napas dan mendorong punggungku ke bangku taman yang
kududuki dari tadi.
Aku berjalan tanpa tujuan pada
siang hari yang panasnya sudah seperti sauna gratis tidak dipungut biaya. Terik
panas matahari mulai melemah saat aku sampai di taman.
Langit luas yang masih biru
tidak memberikan tanda-tanda akan menjadi gelap untuk sementara waktu. Tetapi,
cahaya matahari mulai dihalangi oleh awan-awan, membuat langit terlihat lebih
suram daipada sebelumnya.
Beberapa jam yang lalu, aku
melihat anak-anak bermain di perosotan dan kotak pasir.
Namun sekarang tidak ada
tanda-tanda orang lain selain gadis kecil yang berlatih putaran terbalik pada
batang horizontal dengan keras.
Ini aneh.
Tanpa pikir panjang, kutatap
jam tenaga matahari yang berdiri di tengah taman. Seperti sudah diatur,
pengumuman-pengumuman yang biasanya menggema mulai berhenti saat jarum jam
pendek menunjuk angka 5.
Sepertinya anak-anak yang telah
pergi mengikuti semacam ‘peraturan’ untuk
pulang ke rumah saat hari mulai gelap. Peraturan yang tidak diketahui siapa
pembuatnya.
Orang dewasa selalu waspada
agar anak-anak mereka tidak melanggar peraturan ini. Di dalam pikiran mereka,
menggandeng tangan anak mereka agar pulang ke rumah tepat waktunya adalah
keputusan yang paling baik.
Pada akhirnya, dunia dimana kita hidup ini dibentuk dari fondasi yang orang dewasa sebut ‘peraturan’.
Kau sama saja menggali lubang
kuburmu sendiri kalau kau terang-terangan menentang peraturan-peraturan ini.
Anak-anak polos yang bahkan
tidak tau bagaimana caranya bertahan hidup sendiri hanya bisa bergantung pada
peraturan yang telah dibuat oleh dunia ini. Bahkan jika orang dewasa meringis
dan menangis, dunia ini tidak akan merubah peraturannya sama sekali.
Tentu saja, orang-orang yang
mengabaikan anak-anak sepertiku dan menikmati dunia ini apa adanya tidak
memiliki keinginan untuk mengubah dunia ini.
Tidak, kurasa aku tidak boleh
mengatakan itu.
Kesakitan yang kemarin berada
di pipi kiriku sekarang berada di pipi kananku.
Perbedaan kecil seperti ini
mungkin juga bisa disebut sebagai ‘perubahan’.
Hanya saja, hal tidak penting seperti ini tidak akan berdampak apapun kepada
siapapun.
Aku sendiri merasa aku adalah
anak yang aneh. Karena kupikir aku mengerti apa yang tidak dimengerti oleh anak
lain.
Mungkin ini karena aku selalu berada
di rumah dan tidak mempunyai teman, aku mengalami hal-hal yang lebih buruk
daripada anak lain.
Tetapi, aku hanyalah selangkah
lebih berpengalaman daripada anak lain jadi ini bukanlah hal yang terlalu
janggal.
Apapun yang terjadi, hari ini
pun aku mengikuti ‘peraturan’ yang
Ibuku buat.
Menghabiskan semua waktuku di
taman dan bermain-main sama seperti anak lainnya. Itu juga termasuk dalam
peraturan yang diatur.
Pada pagi hari, setelah aku
menyiapkan sarapan dan menghangatkan air di bak mandi untuk Ibuku yang baru
pulang kerja aku akan selalu pergi ke taman.
Mulai dari Ibu pulang kerja
sampai dia pergi kembali, aku akan menghabiskan waktuku di taman. Jika aku
disuruh untuk membeli sesuatu, akan kubeli. Pulang ke rumah, membersihkan
kamarku, dan tidur.
Mengikuti peraturan-peraturan
ini adalah tugasku, ini adalah semuanya bagiku.
Biarpun duniaku sangatlah
simpel, entah mengapa aku tidak pernah bisa melakukannya dengan benar. Aku selalu
saja membuat Ibuku marah.
Kemarin aku lupa membeli tisu
toilet dan hari ini aku memecahkan gelas, karena itu Ibu sangat marah kepadaku.
Setiap kali Ibu marah, dia akan
memukuliku. Biarpun begitu, tangan yang digunakan Ibu untuk memukulku pastilah
juga merasakan kesakitan yang sama denganku.
Selesai dia memukulku, Ibu
pasti meminta maaf sambil menangis. Aku tidak tau harus melakukan apa setiap
kali itu terjadi.
Setiap kali aku mencoba
melakukan berbagai hal lebih baik, aku malah membuat lebih banyak kesalahan.
Setiap kali aku mencoba
melakukan sesuatu yang membuat Ibu senang, aku malah membuatnya marah.
Aneh sekali yah?
Ngomong-ngomong, ada pada suatu
ketika saat remot TV tidak bekerja lagi. Ibu mengomel dan mengatakan bahwa itu
adalah ‘sampah’ dan membuangnya ke
dalam tempat sampah.
Itulah pertama kalinya aku
menyadari bahwa orang yang tidak menuruti aturan, sesuatu yang tidak berguna,
adalah ‘sampah’.
Dari apa yang bisa kukumpulkan,
‘sampah’ dan ‘aku’ sangatlah mirip.
Aku selalu membuat ibu yang
telah lelah dari bekerja marah tanpa sebab.
Aku hanya membuatnya sakit. Jadi, apa bedanya ‘sampah’ dengan diriku?
Aku pun juga pasti bisa
digantikan jika aku tidak berguna lagi, sama seperti ‘sampah-sampah’ lainnya.
Aku tidak mengerti.
Kenapa setiap hari aku hanya
bisa membuat Ibu sedih?
Aku tidak pernah melakukan
apapun selain menyakiti Ibu. Jadi, kenapakah ‘aku’ lahir?
Pada akhirnya, untukku yang seperti ini, kenapa Ibu
sampai-sampai.....
Setiap kali aku memikirkan hal
seperti ini, dadaku terasa sedikit sakit.
Aku tidak pernah lagi menangis
karena kesakitan, tapi sekarang tanpa kuminta airmata perlahan mengalir dari
wajahku.
Tidak. Aku tidak boleh
menangis. Aku harus memikirkan hal yang lain.
Seandainya seseorang melihatku seperti ini aku tidak tau harus mengatakan apa untuk mereka.
Seandainya seseorang mencoba
menyusahkan Ibu lagi sama seperti sebelumnya, membuat kami tidak bisa bersama
lagi.....itu akan sangat buruk. Aku tidak akan bisa menerimanya. Dunia tanpa
Ibu adalah sesuatu yang tidak pernah ingin kubayangkan.
Tinggal satu jam lagi.
Tinggal satu jam lagi sebelum
Ibu bangun dan pergi ke pekerjaannya, jadi kuputuskan akan lebih baik untuk
diam di tempat ini lebih lama lagi.
Setelah itu, aku berencana
untuk membeli gelas baru untuk menggantikan gelas yang kupecahkan, pulang ke
rumah, dan lalu diam disitu.
Apapun yang terjadi, asalkan
aku tetap mematuhi ‘peraturan’ ini,
hari ini Ibu tidak akan tersakiti.
Artinya, besok pasti.....pasti
apa?
Bersamaan pertanyaan ini muncul
di benakku, aku mendengar suara pelan “pak”.
Aku berbalik dan kebingungan
saat aku memandang gadis, yang tadinya bermain di batang horizontal, sekarang
telah terbaring dengan punggungnya ke tanah.
Aku mengamati gadis itu dengan
terkejut lagi dan lagi. Biarpun dia telah jatuh, dia tidak berusaha untuk
bangun dan malah melebarkan tangannya, menatap langit di atasnya.
Apa yang dia lakukan
sampai-sampai jadi seperti itu? Bahkan anak seaneh diriku tidak cukup bodoh
untuk memikirkan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya itu.
“Hei, kau!”
Perkataan yang kukeluarkan
tanpa pikir panjang tidak mendapat jawaban, yang bisa kudengar hanyalah suaraku
sendiri yang menggema di taman ini.
Ditemui oleh keheningan tidak
menyenangkan ini membuatku merinding.
“I-ini buruk....!”
Aku menginjakkan kakiku ke
tanah dengan seluruh kekuatanku bersamaan aku berdiri.
Tiba-tiba bertemu dengan
keadaan ‘gawat’ seperti ini, seperti
yang telah kuduga otakku yang tidak bisa diandalkan berhenti bekerja.
‘Keadaan
Terburuk’ yang sering kudengar di TV dan radio datang ke otakku
sekeras ombak di pantai.
Seandainya apa yang berada di
depanku benar-benar sama seperti yang sering kulihat di TV dimana tragedi
terjadi karena alasan yang tidak terduga, maka---
Maka, pada waktu ini, pada
detik ini, apakah masalah yang sebenarnya terjadi?
Batang horizontal dimana gadis itu bermain
tidaklah terlalu tinggi, tapi masalahnya adalah bagaimana dia jatuh.
Di dunia ini, ada orang yang
bisa terluka parah hanya karena jatuh dari kursi.
Biarpun batang itu hanyalah
mainan untuk melatih diri, seandainya itu menghantam bagian tubuh yang lemah,
tidak aneh jika luka parah terjadi.
“Kenapa sih harus aku....”
Aku memangdang segala arah,
mencari orang dewasa yang bisa menolong, tapi tidak ada yang kudapat.
Mendapatkan tugas sebesar ini,
aku mulai gelisah dan hatiku serasa akan meledak.
Namun aku tidak punya waktu
luang lagi, aku harus berhenti ketakutan.
Aku terus menatap tanah dimana
gadis itu terbaring, di tempat bekas galian anak-anak tadi siang, masih tidak
bergerak.
Kuharap dia tidak mendapatkan
luka serius. Bersamaan aku mendoakan itu, aku melangkah dengan seluruh kekuatan
di tubuhku. Dan pada waktu itu.....
Gadis yang awalnya tidak
bergerak sama sekali tiba-tiba bangun. Rambut coklat gelapnya yang sebahu dan
matanya memiliki warna yang sama. Gadis itu berbalik ke arahku dengan pandangan
kosong.
Ah, syukurlah. Sepertinya dia
tidak mendapat luka parah atau semacamnya. Tidak ada darah dan corak kulitnya
tidak pucat, baguslah.
Dari apa yang bisa kulihat,
gadis ini memiliki wajah yang cantik. Pada suatu hari, pastinya seorang
laki-laki akan jatuh cinta pada pandangan pertama kepadanya dan mungkin mereka
akan membuat keluarga bahagia bersama. Ah, untunglah dia tidak memiliki luka
yang berbekas.
Bersamaan dengan suara ‘krek’, pergelangan kaki kananku mulai merasa
kesetrum.
Tentu saja, karena aku hidup selama
tahun yang masih bisa kuhitung dengan jari, aku tidak pernah kesetrum apapun
sebelumnya. Namun, ada cara lain untuk mendeskripsikan kesakitan ini, dalam
beberapa detik, kesakitan ini langsung mengalir dari kakiku menuju kepalaku.
Ah, benar juga.
Sekitar beberapa detik yang
lalu, aku telah menggunakan seluruh kekuatan di tubuhku untuk melangkah.
Aku terlalu khawatir dengan
gadis itu dan malah melangkah lebih jauh daripada yang seharusnya.
Bagian atas badanku yang lebih
cepat pergi tidak pas dengan kedua kakiku yang masih di belakang.
Tidak sulit menebak apa yang
akan terjadi selanjutnya.
Ah—kau, gadis di depanku,
kumohon jangan lihat aku.
“GAHHHHHHHHH!”
Seperti telah melatih gerakan
ini sebelumnya, aku berteriak dengan suara yang memalukan dan menyedihkan lalu
mulai jatuh ke tanah dengan posisi yang aneh.
Seandainya ini sejenis komedi
pendek di acara TV, pasti orang-orang yang duduk di balik layar TV sudah
tertawa terbahak-bahak melihatku.
Aku akan berterima kasih kepada
orang-orang yang cukup sopan untuk berpura-pura tertawa.
Hal yang paling lucu adalah di
tengah taman yang sunyi ini aku merangkak di tanah dan tidak memiliki kekuatan untuk berdiri.
Tubuh dan pergelangan kakiku
memang kesakitan, tapi itu bukanlah sesuatu yang penting disebutkan.
Masalah yang sebenarnya
terletak pada sebuah fakta yaitu manusia, seperti aku, memiliki perasaan yang
dapat menyingkirkan semua rasa sakit yang mereka rasakan, perasaan bernama ‘malu’.
Coba pikirkan. Seseorang
tiba-tiba bergegas ke arahmu, kemudian dia dengan anggun jatuh ke tanah sambil berteriak dengan suara yang sangan
amat aneh---apa yang akan kau pikirkan tentang orang itu?
....tidak tidak tidak, berakhir
sudah. Ini mengerikan sekali.
Ah, seandainya aku tidak
terburu-buru mencoba melakukan hal yang tidak diperlukan.
Apa yang harus kulakukan? Pada
situasi seperti ini, lebih baik aku berdiri dan kabur dari sini.
Tidak, aku tidak bisa. Aku
melukai pergelangan kakiku, tidak mungkin aku bisa kabur dengan cepat.
Pastinya aku akan berlari
dengan sangat menyedihkan sampai-sampai orang yang melihatnya akan merinding.
Aku lebih memilih tidak memberi kenangan dan kesan buruk kepada gadis kecil
ini.
Karena aku sudah terjerumus
dalam situasi ini, aku merasa aku cukup berbaring tanpa bergerak sama sekali
dan membiarkan waktu berlalu.
Sejujurnya, aku sama sekali tidak ingin dikenal dalam benak gadis itu sebagai ‘bocah depresi misterius yang kepeleset’, tapi gara-gara hal ini sudah terjadi, aku cuma bisa pasrah.
Sejujurnya, aku sama sekali tidak ingin dikenal dalam benak gadis itu sebagai ‘bocah depresi misterius yang kepeleset’, tapi gara-gara hal ini sudah terjadi, aku cuma bisa pasrah.
Ah, aku harus melakukan ini,
waktu, kumohon berlalulah lebih cepat.
“Hei, kamu baik-baik saja?”
Tidak mungkin aku baik-baik
saja.
Seluruh badanku sakit dan aku
sangat malu, bagaimana bisa aku......
“Eh?!”
Aku mengangkat kepalaku. Gadis
di depanku mengulurkan tangannya dan mencoba menarikku kembali berdiri.
Dari ekspresinya dan kedua mata
besarnya yang tidak lagi kosong, sepertinya dia tidak berencana menelpon polisi
untukku.
“Ti-tidak! Aku benar-benar
baik-baik saja! Aku hanya kepeleset dan jatuh, itu saja....a-ahaha....”
Kuangkat badanku dengan panik
dan bergegas memaksakan senyuman.
Untunglah gadis ini tidak
membenciku. Tetapi, kenyataan bahwa aku telah jatuh tepat di depannya tetap
tidak berubah.
Biarpun gadis ini telah
mengulurkan tangannya untukku, rasa maluku membuatku sulit menerima bantuannya.
Melihat ekspresiku yang
dipaksakan, gadis itu menatapku dengan kebingungan.
“Tapi, penglihatku kamu
sepertinya jatuh dengan sangat keras. Kelihatan sakit banget bagiku.”
Pertanyaan polos gadis itu
seperti minyak yang memanaskan wajahku dan membuatnya membara.
Ah, kau benar. Seperti apa
katamu tadi, apa yang terjadi sebelumnya mungkin adalah salah satu dari tiga
jatuh terbesar yang pernah kulakukan seumur hidupku.
“Su-suer, aku baik-baik saja!
Aku selalu kepeleset seperti ini. Aku sudah terbiasa, beneran.”
Wajah gadis itu tambah gelap
mendengar kebohongan besarku.
“Selalu? Hmm....sepertinya kamu
menyembunyikan sesuatu dariku...”
“A-ahaha…”
Oh tidak, melanjutkan
pembicaraan ini sama saja seperti menggali lubang kuburku sendiri.
Ngomong-ngomong, anak ini keras
kepala sekali.
Kenapa juga dia terbaring hening
di tanah kalau dia se-energetik ini?
Melihat bagaimana cerah dan semangatnya
gadis ini, aku tidak bisa mengatakan kepadanya, “Sebenarnya, aku jatuh karena aku mencoba menyelamatkanmu.”
Aku merasakan firasat buruk.
Berbagai hal yang telah terjadi tidak sesuai keinginanku, seandainya aku
melanjutkan pembicaraan ini, pastinya situasi ini akan bertambah buruk kecuali
aku mengakhirinya.
Seandainya sebuah rumor tentang
‘seorang bocah yang tinggal di sekitar
sini ingin membuat teknik meluncurnya sendiri dan melukai dirinya sendiri’
tersebar, itu akan jadi buruk.
Hal ini sudah berlalu cukup
lama. Solusi terbaik untuk masalah ini adalah untuk memberikan bualan besar
agar aku bisa kabur dari sini secepat mungkin, bahkan jika itu berarti gadis
ini akan berpikir aku orang yang menjijikkan.
Ini mungkin akan membekas di
benakku, tapi tidak ada cara lain untuk menyelesaikan masalah ini secepat
mungkin.
“...baiklah. Aku mengerti, akan
kuberitakan kepadamu yang sebenarnya.” Kataku bersamaan menghembuskan napas.
Setelah mendengar ini gadis itu menatapku.
“Yang se-sebenarnya?”
“Iya. Sebenarnya....”
Biarpun rasa maluku hampir
mengalahkanku, aku memastikan hal ini tidak terlihat di wajahku, dan kubuat
mulutku menjadi senyuman agar bisa memaksakan baris selanjutnya dari naskah kebohonganku
keluar.
“Apa yang baru saja kau lihat
sebenarnya adalah diriku yang sedang berlatih gerakan rahasia. Kau tau, seperti
gerakan......yang bisa mengalahkan semua orang jahat dalam satu serangan.”
Hening.
Hening sekali, sampai-sampai
aku jadi merasa tidak nyaman.
Taman ini tiba-tiba tidak
bersuara sama sekali, bagaikan waktu telah terhenti.
Sudah waktunya, sudah waktunya
untuk kabur. Lebih baik aku menarik napas dalam-dalam dan kabur secepat mungkin
sebelum wajahku yang memerah berubah menjadi api membara.
Kemudian, aku akan pulang ke
rumah dan melupakan semua hal yang terjadi hari ini. Aku akan pulang, makan
malam, tidur, mencari kasih sayang, dan hidup dengan bahagia mulai dari
sekarang.
Disaat aku berpikir bagaimana
caranya untuk kabur, reaksi gadis itu malah membuatku terkejut.
“Ja-jadi apa yang kupikirkan
itu benar?!” bersamaan gadis itu mengatakan ini, rasa penasarannya tertulis
dengan jelas pada seluruh wajahnya.
“…eh?”
“A-aku berpikir kalau kamu
berlatih gerakan rahasia! Ka-kamu hebat! Begitu yah, jadi begitu.....! Karena
itu adalah gerakan rahasia, kamu tidak boleh mengatakannya kepada orang lain,
kan?!”
Apa sih yang membuatnya
tertarik banget?
Padahal kupikir aku sudah pasti
ketahuan, ternyata dia malah percaya pada kebohongan konyolku ini.
Mengabaikan diriku yang
perlahan mundur, gadis itu menyandar maju mendekatiku. Sembunyi-sembunyi, dia periksa sekitarnya dan
lanjut mengatakan hal yang aneh.
“Be-beritau aku rahasiamu.
Sebenarnya....aku juga melakukannya.”
“Ah, maaf. Apa maksudmu?”
Bersamaan aku berbicara aku
mundur lebih jauh untuk menjaga jarak yang cukup di antara aku dan dia. Gadis
itu kembali memeriksa disekitarnya dan memelankan suaranya lebih kecil lagi.
“Kamu tau, berlatih. Berlatih
gerakan rahasia.”
Gadis itu berekspresi serius,
tapi ekspresi itu tidak berarti karena apapun yang dia katakan tadi tidak bisa
dianggap serius sama sekali.
“Huh? Berlatih?...maksudmu,
berputar di batang horizontal itu?”
Hanya itu saja yang muncul di
benakku.
Namun, sepertinya aku tepat
sasaran. Wajah gadis itu bersinar bersamaan dia mengatakan, “Ja-jadi kamu tau
toh!”
Apa yang dia maksud....? Aku
malah terkejut kalau ada orang yang tidak tau putaran terbalik di batang
horizontal itu apa.
Bagaimana bisa itu berhubungan
dengan ‘gerakan rahasia’ sih?
Tidak, tunggu. Bagaimana kalau
anak ini....
“Ma-maksudmu kau berpikir kalau
berputar di batang horizontal adalah suatu serangan rahasia...?”
“Yup, ayahku yang memberitauku.
Katanya, ‘Kalau kau bisa menguasai
putaran terbalik pada batang horizontal, semua musuhmu akan terbakar jadi
debu.’ ”
Biarpun dia mengatakan sesuatu
yang sangat janggal, mata gadis ini tidak memiliki keraguan di dalamnya sedikit
pun.
“Tadi, sedikit lagi aku bisa.
Tetapi lain kali aku pasti bisa melakukannya dengan sempurna, aku sudah
berlatih dengan imajinasiku.”
“Ah, begitu yah....”
Aaaaah, jadi itu toh yang terjadi.
Bertingkah seperti telah
terluka merupakan bagian dari latihan imajinasi gadis ini, huh? Begitu yah,
begitu toh.
“....boleh aku pulang
sekarang?”
Ekspresiku mungkin tidak bisa
disembunyikan dengan senyuman lagi. Sekarang wajahku sudah putih seputih
kertas.
Yah, itu tidak terlalu
mengejutkan.
Seberapa banyak energi yang
kugunakan selama diriku menghadapi gadis ini?
Aku merasa seperti telah menghabiskan energiku untuk sebulan.
Aku merasa seperti telah menghabiskan energiku untuk sebulan.
“Eh?! Kamu akan pulang?!
Biarpun masih ada banyak hal yang ingin kubicarakan denganmu.....”
Kumohon, ampuni aku.
Berkebalikan dengan semangat
gadis ini, tubuhku tidak bisa lagi memperbincangkan seragan rahasia.
“Um, iya. Sudah waktunya aku
pulang.’
Aku berbicara sambil tersenyum
bersamaan aku berusaha bertingkah seperti anak baik sebagus mungkin.
Biarpun gadis ini menyuarakan
“mm...” dengan malas, paling tidak sepertinya dia tidak akan menggangguku lagi.
Aku melihat ke jam, sudah lewat
05.30 sore.
Biarpun ini lebih awal daripada
jam biasanya aku pulang, hari ini aku mempunyai misi untuk membeli gelas.
Seandainya aku menambahkan
waktu yang kubutuhkan untuk melakukan itu, sekaranglah waktunya untuk aku
pergi.
Menggunakan kakiku yang tidak
keseleo untuk berdiri, aku berhati-hati menggerakkan kakiku yang terluka.
Seperti yang sudah kuduga,
memang sakit, tapi sepertinya aku masih bisa jalan.
Jika sampai-sampai aku tidak
bisa berdiri, aku bahkan tidak ingin membayangkan apa yang akan dikatakan oleh
gadis itu.
“Jadi, umm, dadah, aku pergi
sekarang.”
Disaat aku mengatakan ini, aku
mencoba pergi dari sini secepat mungkin, tapi dia masih terus ber “mm...” ria,
ketidakpuasan tertulis jelas di wajahnya.
Kalau dilihat baik-baik, mata
yang menatapku terlihat berkaca-kaca.
Ya Tuhan, aku harus pergi dari
tempat ini sebelum situasinya memburuk.
Aku yang merasa agak bersalah
memaksakan diriku untuk tertawa kecil dan bergegas pergi menuju pintu keluar
taman.
“Hei!”
Baru saja aku mulai bergerak,
dari belakangku suara gadis itu kembali berbunyi.
Apa lagi sekarang?
Aku membalikkan kepalaku
sedikit agar bisa melihat wajahnya—ekspresi kesulitannya yang sebelumnya telah
berubah menjadi senyum lembut.
“Maukah kamu berbicara lagi
denganku esok?”
Melihat ekspresi dan mendengar
perkataannya membuatku panik.
Pernahkan aku membuat ‘rencana untuk hari esok’ dengan
seseorang sebelumnya?
Paling tidak dari kenangan yang
dapat kuingat, aku tidak pernah mencobanya, sekali pun tidak pernah.
Ah tunggu, kenapa aku
mengatakan hal seperti ‘Paling tidak dari
kenangan yang dapat kuingat’? Aku masih anak-anak, aku tidak hidup cukup
lama sampai bisa jadi pikun.
Aku berkata, “Oke, kita bertemu
lagi disini esok.”
Aku berbalik dan meninggalkan
taman.
Kenapa aku dengan sengaja
memberikannya jawaban yang dingin? Bahkan diriku sendiri pun tidak bisa
mengerti.
Pergelangan kakiku sakit setiap
kali aku melangkah pada jalanan beton ini,
tapi kesakitan yang disebabkan dengan kejadian panjang hari ini bisa
dipikir sebagai hal yang lucu bagi orang lain.
Ahh,
kuharap aku tidak akan merasakan kesakitan yang lebih dari ini esok. Aku
perlahan terus berjalan maju bersamaan aku mencoba menyembunyikan apa yang
kurasakan sebenarnya.
***
Sebelum aku menyadarinya,
langit telah dicat dengan warna matahari terbenam yang bersinar.
Aku
cukup cekatan bukan? Bisa terus-menerus merubah tangan yang memegang tas agar
mencegah jarum dan penitinya menyucukku bersamaan melindungi kakiku yang
terluka sambil berjalan.
“Syukurlah aku tidak terlihat
terlalu buruk.”
Setelah aku membeli gelas yang
pas di toko dekat stasiun, sekarang aku pulang ke rumah dengan menyeret kakiku
yang kesakitan.
Biarpun kakiku yang kesakitan
ini menyebabkan sedikit gangguan, kalau aku bisa beristirahat sebentar di rumah
kurasa aku akan baik-baik saja.
Disamping itu, karena kakiku
yang sekarang kesakitan, aku telah melupakan seluruh rasa sakit pada pipi
kananku.
Gara-gara ini, kasir toko itu
bertanya “Ada apa dengan wajahmu?”
dan aku menjawab, “Apakah aku sejelek
itu?”
Beneran
deh, ini semua salah gadis itu. Seandainya esok kami bertemu, aku akan mencari
cara untuk balas dendam.
Aku terus berjalan bersamaan
aku memikirkan hal ini dengan pahit.
Berjalan melalui jalan yang
sudah sering kulihat, memutar pada simpangan yang familiar, melewati tikungan
yang biasanya, kumelihat apartemen dimana aku hidup tepat di depan mataku.
Seperti biasanya. Aku berjalan
melewati pintu utama, mendaki tangga besi, dan menuju kamar terujung di
belakang lantai 2.
Mungkin karena tempat ini
kurang bersih, sejak tetangga kami
pindah bulan lalu, semua kamar di lantai dua telah kosong.
Biarpun Ibu mengatakan, “Baguslah kalau begitu—sekarang kita tidak
perlu mengkhawatirkan tetangga.” Untukku yang menghabiskan malamnya
sendirian, hal ini jujur membuatku takut.
Sebenarnya, aku tidak terlalu
suka hal-hal mistis.
Tapi Ibu malah sangat menyukai
hal seperti itu, selalu menonton acara seperti ‘Spesial: Hantu di Musim Panas’, mendengar namanya saja sudah
membuatku merinding—hanya hal inilah yang kuharap Ibu hentikan.
Apalagi episod saat di Rumah
Sakit yang ditinggalkan....aaaaah,
berhenti memikirkan hal seperti itu. Pikirkan hal yang menggembirakan, yang
menggembirakan.....
“Tapi, tidak terlalu banyak hal
yang menggembirakan yang bisa kupikirkan.”
Setelah melewati tiga pintu
kamar yang kosong, akhirnya aku dapat melihat pintu ke rumahku sendiri,
Biarpun aku tidak tau tepatnya jam berapa sekarang, kalau dilihat
dari mataharinya, aku telah pulang pada waktu yang sama seperti biasanya.
Namun, ada yang janggal dari
rutinitasku yang biasanya.
“Aneh, pintunya kok terbuka?”
Aku berjalan di depan pintu
rumahku yang sudah jelas terbuka lebar.
Mungkin karena dibangunnya
kurang benar, pintu ini tidak akan terkunci kalau tidak ditutup dengan benar,
tentu saja Ibu tau tentang hal ini.
“Mungkinkah dia buru-buru?”
Tanpa berpikir panjang,
kupegang kenop pintu.
Aku memikirkan hal-hal tidak
penting seperti “Besok, aku harus
memastikan aku telah menutup pintunya dengan benar” bersamaan aku masuk ke
dalam rumahku. Orang bego sepertiku tidak bisa diselamatkan, bahkan dengan obat
sekali pun.
Saat akhirnya aku mengangkat
kepalaku. Aku melihat dua orang dewasa di dalam ruangan yang tersinari cahaya
oren gelap.
Salah satunya adalah ibuku,
berpakaian dengan baju kerjanya yang cantik.
Yang satunya lagi adalah orang
yang tidak pernah kulihat sebelumnya, seorang pria berbadan besar yang
mengenakan topeng dan baju yang kotor.
“Eh....”
Kenapa Ibu masih belum pergi
kerja?
Biarpun Ibu selalu menolak tamu
sebelumnya, apakah Ibu yang membawa pria ini kesini?
Kalau benar begitu, kenapa Ibu
menangis dan terbaring di lantai bersamaan mulutnya di tutup dengan kain lap
dan tangannya diikat?
Dan kenapa pria ini memegang
perhiasan-perhiasan berharga milik Ibu di tangan kotornya?
Jawabannya sangatlah mudah.
Namun, saat akhirnya aku
menyadari ini semuanya sudah terlambat.
Tangan kanan pria itu diam-diam
menangkap bajuku dan melemparku ke tengah ruangan.
“Ah!”
Tidak bisa mendarat dengan
benar, punggungku terbanting ke lantai.
Pandanganku agak kabur dan aku
merasakan kerlap-kerlip cahaya blitz di mataku.
Aku tidak bisa bernapas.
Ini pertama kalinya seumur
hidupku aku pernah merasakan kesakitan seperti ini.
Pikiranku kacau balau—aku hanya
bisa menggunakan tangan kananku untuk mencoba berdiri, tapi bahkan itupun
gagal.
Ibu yang terbaring di lantai
sepertinya merintih.
Ada apa? Karena apa Ibu
menangis?
Sebenarnya karena apa.....
Mataku yang kabur memandang
seisi ruangan dan melihat perhiasan yang berada di tangan pria yang hampir
keluar.
Ya, pasti karena itu.
Perhiasan itu adalah hasil
jerih payah banting tulang Ibu setiap harinya.
Dan pria ini ingin
mengambilnya.
Kau benar, Ibu. Jika hal
seperti ini terjadi, wajar saja kalau kau ingin teriak.
Tepat pada waktu ini, tangan
kananku akhirnya dapat berfungsi kembali,
Aku menekan tangan kananku ke
lantai dan membangunkan badanku.
Setelah berdiri, aku menerkam
pria yang membawa perhiasan Ibu.
“Ke-kembalikan....itu....bukan
milikmu.”
Aku telah sangat kelelahan
sampai-sampai aku tidak bisa berpikir dengan bijak.
Pria itu meludahiku dengan
marah dan menarik tanganku dengan paksa untuk kembali melemparku.
“Ugh....!”
Aku sama sekali tidak bisa
berhenti dan kemudian kembali jatuh ke lantai.
Tidak bisa bernapas,
penglihatanku tidak jelas, aku tidak bisa lagi berdiri
Aku tidak bisa berhenti
gemetaran dan setelah beberapa lama aku mendengar suara besi bergesek.
Biarpun aku tidak bisa melihat
apa itu, dari teriakan Ibuku dapat kutebak apa itu.
Padahal Ibu jarang sekali
memasak, tetapi tiba-tiba dia membeli seperangkat pisau dapur berkelas. Tentu
saja pisau itu tidak pernah digunakan dan telah disusun rapi di dapur. Suara
tadi mungkin salah satu dari pisau-pisau yang banyak itu.
Pada dasarnya, pria itu
berencana untuk membunuhku sebelum aku kembali menyerangnya.
Cukup satu tusukan saja bisa
menenggelamkanku pada kegelapan abadi. Mudah sekali.
Wajahku terbaring pada lantai
rumah, aku dapat dengan jelas mendengar langkah kaki yang lama kelamaan
mendekat ke arahku.
Beberapa menit lagi, sepertinya
aku akan mati. Aku tidak menakuti ataupun menolak hal ini.
Biarpun begitu, aku tidak boleh
terus terbaring disini.
Aku hanya bisa menghembuskan
napas pendek pada waktu itu, tetapi aku mengeluarkan seluruh kekuatanku yang
tersisa dan akhirnya aku dapat berdiri.
Hari ini aku melalui berbagai macam kesakitan,
namun tubuhku tidak dapat lagi merasakannya.
Seperti yang telah kuduga, pada
tangan kanan pria tak diundang itu sebuah pisau baru yang tidak pernah dipakai.
Pada waktu itu, mengandalkan
kedua tanganku untuk menyerang pria ini sama sekali tidak mungkin.
Dan pada waktu yang sama, rencana-rencana
yang bisa kupikirkan akan membuat diriku sakit jikalau gagal.
Tetapi itu tidak penting, aku
tidak perlu melakukan hal-hal itu. Aku hanya butuh beberapa waktu untuk membuat
lelaki ini tidak bisa bergerak.
Aku menatap Ibuku yang
menangis, meneriakkan sesuatu yang tidak dapat kumengerti.
Maafkan
aku, Ibu. Sepertinya aku tidak bisa mengambil kembali perhiasan-perhiasanmu.
Maafkan
aku telah menjadi anak yang bodoh dan tidak berguna.
Biarpun ini berarti hanya ibuku
yang bisa kabur, aku akan menghentikan pria ini dengan segenap kekuatanku.
Paling
tidak, paling tidak biarpun hanya sekali, aku berharap pada akhirnya Ibu
berpikir “Aku sangat bersyukur telah melahirkan anak ini.”
Aku memalingkan wajahku menuju
pria itu, menghirup napas dalam-dalam, dan berlari menuju pria yang berada di
depan mataku....
......itulah apa yang
kurencanakan tadinya.
Hanya dalam beberapa detik,
tubuh pria itu terhempas ke dinding.
Pisau dapur yang sekarang tidak
lagi baru telah tertanam ke dalam dada Ibuku.
Aku tidak bisa langsung
memahami apa yang terjadi di depanku.
Aku hanya bisa menatap jelas
Ibuku yang merintih kesakitan, matanya terlihat seperti ingin mengatakan
sesuatu kepadaku.
Pada waktu pria itu menarik
balik pisau dapur itu dari badan Ibuku, darah segar bercucuran dimana-mana, dan
otakku kosong.
Biarpun aku tidak dapat lagi
mendengar apapun, aku tau aku telah meneriakkan sesuatu dengan nyaring.
Tidak lama waktu berlalu mulai
dari aku menerkam pria ini dan dia menusukku di perutku, membuatku jatuh ke lantai.
Aku yang roboh disamping Ibuku
merasa seperti tenggelam di air yang dingin sedingin es. Perasaan yang janggal
menyelimutiku.
Ibuku yang mengucurkan air mata
ingin mengatakan sesuatu kepadaku sebelum dia mati, melalui mulutnya yang
dibungkam.
Sampai
pada hari ini aku masih tidak tau apa yang ingin Ibu katakan kepadaku.
***
Berjalan pada gang yang tidak
pernah kulihat sebelumnya.
Tidak ada satupun hal yang
kulihat kuketahui.
Aku masih tidak terbiasa
melihat langit malam yang diwarnai dengan kegelapan tiada akhir, dengan hanya rembulan mengerikan terapung di
atasnya
Ini adalah ‘malam’
Anak sepertiku....tidak, ‘anak-anak’ tidak mengenal apa itu ‘malam’
Dunia orang dewasa, dunia
dimana sinar mentari yang berlimpah pada siangnya, menyinari seluruh makhluk
hidup, hilang tanpa jejak.
Anak-anak tidak boleh
melangkahkan kakinya pada dunia ini, hanyalah orang dewasa yang boleh.
Ibu selalu diselimuti oleh
dunia yang gelap ini.
......aku membencinya......aku
benci ‘malam’
Setiap suara langkah kaki pada
jalan beton ini dipantulkan oleh gedung hitam kelam dan memunculkan gemaan
langkah kaki yang menyebalkan.
Angin malam yang tidak segar
berhembus melalui wajahku, bisikan-bisikan masyarakat umum membuat suasana
menjadi tidak mengenakkan.
Cahaya neon yang kelap-kelip di
setiap ujung pandanganku membuatku merasa seperti melihat hal-hal yang tidak
boleh diketahui oleh anak-anak, aku hanya bisa berbalik karena malu.
Menjijikkan, pikirku. Aku
sampai merasa ingin muntah.
Biarpun aku diserang rasa
pusing, aku masih terus berjalan menuju suatu tempat yang tidak kuketahui.
“Oh, tidak. Bagaimana
bisa anak kecil sepertimu dapat berada di tempat seperti ini?”
Tiba-tiba bisikan tidak jelas terdengar
di dekatku.
“Kau masih kecil,
bukan? Masih belum mengetahui hal-hal yang berada di malam hari. Pergilah dari
sini, pulanglah.”
“......jangan berbicara seperti
merendahkanku. Memangnya apa yang kau tau tentangku, huh?”
“Oh, aku tau
semuanya. Karena aku ini orang dewasa.”
Aku mulai membenci suara di
dekatku yang sepertinya tidak akan pergi untuk sementara waktu.
“Jangan memperlakukanku seperti
anak kecil!” kataku, bisikan itu kemudian mulai membuat suara yang aneh. Suara
itu sepertinya tertawa, namun tawanya juga terdengar seperti desisan.
“Bagiku kau masih
belum cukup umur sama sekali. Aku bisa melihatnya dengan jelas. Dengarkan
dengan baik, oke? Kau hanya tidak mengerti hal yang paling penting untuk
menjadi orang dewasa.”
Desisannya menjadi lebih
nyaring daripada sebelumnya, bisikan itu bagaikan telah tertempel di telingaku.
“Hal yang paling penting?”
Sesudah aku menanyakan hal ini,
suara langkah kakiku ‘tap tap tap’
menghilang. Padahal aku tidak menghentikan gerakanku sama sekali
Aku terkejut dan melihat
disekitarku. Melihat lampu neon yang kelap-kelip, dinding gedung yang gelap
gulita, juga rembulan yang mengapung di langit, biarpun aku terus melihat di
sekitarku aku tetap tidak menemukan seorang pun disini.
“Apa
yang terjadi?!” teriakku, namun aku tidak mendengar suaraku.
Gelap. Tidak ada tanda-tanda
cahaya sedikitpun pada kegelapan ini. Bahkan sosokku yang ketakutan sepertinya
telah sepenuhnya menyatu dengan kegelapan.
“Tidak bisakah kau
melihatnya? Tersembunyi disini, ‘kebohongan’.” Suara
rendah itu bagaikan muncul dari tubuhku sendiri.
“Orang dewasa mengubur
‘kebohongannya’ dalam kegelapan. Ah, mereka melakukannya
untuk melindungi hati mereka.”
Aku
tidak dapat mengerti apa maksud kalimat itu. Ini sangat tidak nyaman, terlalu menyakitkan.
Lepaskan aku.
“Apakah kau mengerti
apa maksudku, bocah? Ini adalah dunia malam, apa yang kau tidak
ketahui dari dunia orang dewasa.”
.....ah,
sebenarnya orang dewasa itu apa?
Kenapa
Ibu harus hidup di dunia yang seperti ini.....?
“Kau ingin tau
mengapa? Jika kau ingin tau, kau harus melupakan dan menenggelamkan hati tidak
berdosamu itu.”
Melupakan
hatiku?
“Benar, di dunia malam dimana kegelapan tidak memiliki batas dan kesunyian tiada akhir, kau
tidak memerlukan suatu hal seperti hati. Kau hanya memerlukan ‘kebohongan’.”
Akhirnya, kesadaranku mulai
memudar.
Aku merasa semua perasaanku
menyatu dengan kegelapan.
Kesadaranku yang terpotong dan
mulai menghilang hanya dapat mendengar kalimat terakhir yang akan terukir di
hatiku selamanya.
“Tipulah semuanya, bocah.”
Masa lalau Kano >.< Lanjutkan!!!!! Seru...
BalasHapusMakasih kerja kerasnya kaori nee-chan...
BalasHapusaku jadi bisa baca kelanjutannya
Di tunggu kelanjutan nya ya min
BalasHapusLanjut... Kaori..
BalasHapusIni semua menjawab rasa penasaran saya tentang hubungan spesial kano dan ayano XD sankyuuu
BalasHapusIni semua menjawab rasa penasaran saya tentang hubungan spesial kano dan ayano XD sankyuuu
BalasHapustambah penasaran
BalasHapusSemangat kk,di tunggu lanjtannya
BalasHapusAlmost crying when read this... :'( Lanjut ya!~
BalasHapusYang ada di gambar ilustrasi itu ayano kah?
BalasHapusmakin penasaran
Iya~ itu Ayano kecil~ sekitar 6 tahunan rasanya
HapusHmm, apakah itu berarti, ibunya kano bekerja sebagai ... uhh, wanita penghibur? Aku nangkepnya gitu ._.
BalasHapusThanks buat translateannya, Kaori-san. Ditunggu chap selanjutnya. Ganbatte :)
Iyaaa~~ ibunya Kano....hmmm wanita penghibur~
HapusDuh, sekarang jadi ngerti masa lalunya Kano :') Semangat ya Kaori-san mentranslate-nya~~
BalasHapusGanbatte Onee-chan >w<)9
BalasHapusKaori-saaaaan!!! #udahlamagamuncul
BalasHapusSemangat yaa ngetranslatenyaaa
Suka banget ama kanoooo
Kaori-saaaaan!!! #udahlamagamuncul
BalasHapusSemangat yaa ngetranslatenyaaa
Suka banget ama kanoooo
kenapa kok gak dilanjut ya? ga sabar nih
BalasHapusditunggu ya Kaori-san
Ugyaaa~
BalasHapusmasa lalunya Kano, ya??
Kereeennn :3
lanjut lanjut!! :3 /
and semangat terus buat ngetranslate yo ^o^9
Ugyaaa~
BalasHapusmasa lalunya Kano, ya??
Kereeennn :3
lanjut lanjut!! :3 /
and semangat terus buat ngetranslate yo ^o^9
Kyaa kano kuu
BalasHapusMember mekakushi dan yang paling aku favorit in soalnya kisahnya menyentuh mirip kaya kisah aku :")
Semangat terus buat lanjutinnya ya ka
Aku penggemar lama kaori lhoo(ㆁωㆁ*)(≧▽≦)
Baru muncul lagi setelah lama ga apdet per vocaloid an berabad2 yang lalu :v
Wkwkw
Kyaa kano kuu
BalasHapusMember mekakushi dan yang paling aku favorit in soalnya kisahnya menyentuh mirip kaya kisah aku :")
Semangat terus buat lanjutinnya ya ka
Aku penggemar lama kaori lhoo(ㆁωㆁ*)(≧▽≦)
Baru muncul lagi setelah lama ga apdet per vocaloid an berabad2 yang lalu :v
Wkwkw