Cerita Malam Menipu V
Kegelapan malam mulai mendekat.
Di luar jendela kecil yang transparan, perlahan
bangunan-bangunan persegi yang berjejer menelan matahari senja dan menghilang
setelah satu kedipan mata, hanya
meninggalkan sekilas berkas
kilauan cahaya.
Rumah-rumah yang bermandikan sinar oranye matahari
kembali mengenakan busana senjakalanya. Tiada orang yang bisa mencegah malam
untuk datang kembali hari ini.
Aturan dunia ini tidak pernah mempedulikan perasaan
per-individu.
Faktanya, seberapapun kau berharap; waktu tidak akan
berjalan mundur atau pun berjalan lebih cepat sesuai kehendakmu. Terserah kau
adalah orang mati atau hidup, dunia ini tidak akan menghiraukannya dan akan
terus berputar dengan kecepatan yang telah ia tentukan sendiri.
Hal sesederhana itu baru kusadari setelah dunia ini
menghantamkan fakta ini kepadaku dengan sangat keras.
Tanpa memiliki titik fokus pandang, mataku yang
mengarah ke jendela buyar, tidak memasukkan informasi cahaya ke dalam retinaku
dengan benar. Tanpa bergerak dan hanya terus berbaring di sini, kugerakkan
bola-bola mataku ke tempat lain.
Penglihatanku seketika menangkap rak buku yang terlah
tersusun rapi dengan komik-komik pahlawan di atasnya. Sudah sekian lama aku
tidak membaca buku-buku itu. Kukenang kembali bagai mana tokoh-tokoh utama di
komik itu melakukan tindakan gagah berani mereka.
Kapankah terakhir kali aku bermain pura-pura menjadi
pahlawan?
Kapankah terakhir kali kami bermain kejar-kejaran
sambil berpura-pura kami adalah anggota organisasi rahasia?
Kenangan-kenangan yang kembali mengambang ke otakku
membuatku sadar seberapa banyak hal yang sudah terjadi selama beberapa tahun
ini.
Aku mengingat hari pertama kami akan sekolah; Ibu dan
Ayah dengan semangat membelikan kami berbagai macam kebutuhan-kebutuhan untuk
sekolah. Namun, karena kekuatan kami,
kami tidak bisa beradaptasi dengan mudah dengan lingkungan sekolah, dan
akhirnya kami tidak tahan lagi.
Pada saat itu, kami bertiga menangis tersedu-sedu
sepanjang malam karena frustasi. Penyesalan kami telah menyia-nyiakan
buku-buku, alat-alat tulis, dan seragam-seragam sekolah yang telah Ibu dan Ayah
belikan untuk kami telah mengecilkan hati kami. Padahal mereka sudah berucap “Berjuanglah semampu kalian!”, tapi kami
tetap tidak bisa membalas mereka dengan usaha kami.
Di
sekitar waktu itulah Seto tidak bisa lagi menahan kekuatannya dan pergi dari
kota. Karena dia mendadak kabur dan tidak kembali
biarpun senja sudah datang, kami semua khawatir ada sesuatu yang terjadi
kepadanya.
Tanpa
perlu dikatakan lagi, kami semua pergi mencarinya, tetapi jujur saja hal
tersulit pada saat itu adalah mencoba menghibur kaka yang menangis
ditengah-tengah pencarian.
Esoknya, kalimat pertama yang diucapkan oleh buronan
yang telah kami cari-cari adalah “Saya
bertemu dengan seorang gadis yang sangat manis,”—pada saat itu, aku lebih
merasa shok daripada marah kepada Seto yang baru pulang.
Setelah itu, sangat mudah ditebak apa yang akan
terjadi; Seto digebuki Kido tanpa ampun. Anehnya, sejak kejadian itu kemampuan
Seto tidak lagi aktif sesering dahulu. Mungkin itu berkat ‘gadis manis’ yang ia temui di suatu tempat di dalam hutan.
Akhir-akhir ini mereka juga sepertinya telah menjadi
cukup dekat, tetapi dia masih belum memperkenalkannya kepada kami. Mungkin ada
suatu masalah di balik itu.
Sekarang, Kido pun telah menjadi lebih lembut
dibandingkan dengan dulu, dan entah sejak kapan ia telah bisa mengontrol
kemampuannya.
Dengan bangganya ia berkata, “Aku sudah menguasainya!”, namun biarpun begitu, sebenarnya agak
menyusahkan memiliki Kido yang bisa lenyap dan muncul sesuka diri.
Jantungku hampir berhenti saat suaranya muncul
tiba-tiba di sampingku dan Seto yang sedang membicarakan....sesuatu. Dengan
polosnya dia bertanya, “Apa maksudnya?”
Berhubungan dengan itu, ingat dengan gaya bicara Seto
yang sering membuatnya berkonflik dengan Kido? Akhirnya konflik mereka berakhir
berkat usaha dari Seto yang cukup besar.
Sepertinya penyebab Kido tidak menyukai gaya bicara
Seto yang dulu adalah karena keluarganya yang sebelumnya sering menegurnya
dengan keras menggunakan logat bicara yang sangat sopan, karena itulah sejak
itu dia memiliki kebijakan ‘Tidak boleh
ada kesopanan yang berlebihan antar teman.’
Setelah Kido menjelaskanya, Seto mencoba menyingkirkan
kebiasaan berbicaranya yang sudah melekat dari lahir itu dengan susah payah.
Dan karena itu, entah darimana dia mengambilnya, tetapi sekarang dia
menggunakan gaya berbahasa yang cukup aneh.
Aku baru saja terbiasa dengan gaya bicaranya yang
baru, tetapi terkadang aku merasa sedih Seto tidak lagi mengakhiri perkataannya
dengan –desu.
Menyingkirkan sentimentalku yang tidak penting,
hubungan Kido dan Seto yang membaik merupakan hal yang bagus, bukan? Mereka
memiliki keinginan untuk berubah, dan mereka pun berhasil melakukannya.
Mungkin saja.....satu-satunya yang masih belum
berubah—yang masih belum berpikir untuk berubah....hanyalah aku. Diriku yang
sekarang hanya berbaring dengan lesu di tengah ruangan kecil ini.
Ini bukanlah kali pertamanya aku melakukan ini, dahulu
aku juga sering berbaring di dalam kamar tanpa melakukan apapun, hanya
merenungkan berbagai macam hal sendirian. Terakhir kali aku seperti ini adalah
saat Ibu.....bukan, saat ‘ibu kandungku’
meninggal.
Pada masa-masa gelap itu, kupikir aku hanya akan
menghabiskan sisa hidupku dengan kekosongan tiada arti, tanpa tujuan, dan
kehilangan arah. Tidak ada sama sekali aku memikirkan diriku akan mendapatkan ‘kebahagiaan’ atau semacamnya.
Namun
kemudian, apa yang terjadi? Aku dicintai orang tua baruku, disayangi kakaku,
dan menghabiskan hari-hari selanjutnya dengan senyuman. Hal itu hampir tidak
bisa dipercaya. Dunia
bagai mengatakan “berbahagialah”
kepadaku setelah hal-hal yang telah kulalui. Sampai sebulan yang lalu.
Sampai
waktu dimana Ayaka-san, ibu yang merawatku, meninggal.
Sampai waktu itulah aku baru menyadari seberapa
bodohnya aku dengan pemikiranku mengenai dunia ini.
“.....kenapa
hal seperti ini
bisa terjadi?” keluhan yang sudah lama ingin
kubunyikan akhirnya keluar dari mulutku. Seandainya dunia memiliki telinga, aku
akan mengeluh seperti ini dari dulu.
.....tidak,
aku tidak akan melakukannya. Seandainya dunia memiliki telinga, aku tidak akan
mengeluh. Mungkin aku akan
terlebih dahulu menghancurkan telinga
itu menjadi debu.
Seandainya
dunia bisa ‘berpikir’, mungkin aku
akan memeras semua cairan otaknya dan menginjak-nginjaknya sekarang.
Semakin
kupikirkan, amarahku
semakin membara. Aku merasa aku bisa mengeluarkan semburan api saking marahnya
aku sekarang.
Apa
salah kami? Kami telah menerima semua kekejaman
dunia, menahan air mata kami terhadap ketidakadilan,
menelan keluhan kami kepada ketidakmasukakalan,
dan saat akhirnya kami berpikir kami mendapatkan kebahagiaan kami......hal seperti ini malah terjadi.
Kenapa
segala hal yang berharga bisa diambil dengan sangat mudah?
Bagaimana bisa ‘dunia
ini’ melarang kami merasakan kebahagian yang kecil ini? Siapa....? Siapa
sih yang telah menciptakan dunia tak tergantikan yang mengerikan ini....?
“....apa
yang membuat muram?”
Mendengar suara yang tiba-tiba muncul, aku meloncat
terkejut. Terlihat Kido yang mengenakan pakaian atletis sedang menunduk,
menatapku.
“Se-sejak
kapan kau di sini?”
Aku menjadi tidak
yakin sudah seberapa lama Kido melihat kondisiku karena kemampuannya yang
menyusahkan.
“Kenapa?
Kau terlihat lesu.”
Raut wajahnya yang datar tidak bisa menyembunyikan
rasa khawatirnya kepadaku. Saat aku menyadari ini, aku bergegas menempelkan
sebuah ‘senyuman’ di wajahku.
“Lesu? Apa yang kau bicarakan~? Aku sama sekali gak
muram atau pun lesu kok! Kebalikannya, aku malah sedang sangat bersemangat dan
segar~ Ah, apakah kau khawatir karena aku mendekam sendirian di kamar ? Kido unyu banget~......Ow!”
Aku berbicara dengan senyum jahil menghias mimikku, tapi mendadak wajahku kembali berkenalan dengan
kepalan tangan Kido.
“.....aku tau kau sedang menangis. Pembohong.”
Perkataan Kido menyadarkanku. Kesakitan yang telah
kurasakan membatalkan kemampuan menipuku dan ‘senyuman’ku pun robek.
“Uu…”
Sesungguhnya, ekspresi seperti apakah gerangan yang
berada di balik topengku? Mendadak dibuka seperti ini, aku refleks menundukkan
kepalaku.
“E-enggak
kok, bukan begitu! Aku gak nangis! Gak mungkin, maksudku...”
Benar-benar kemampuan yang tidak bisa
diandalkan.....masa hanya dengan kesakitan sesedikit ini kemampuanku bisa
langsung dihentikan.
Biarpun aku bergegas menyapu airmataku yang tidak bisa
berhenti, hal itu tidaklah berguna. Raut wajah sedihku sudah terlihat olehnya.
Dengan hembusan napas panjang, Kido menyuarakan, “Bego,”
sebelum merangkan ke sampingku.
“Be-bego......?” sementara diriku tidak bisa
mengeluarkan respon yang baik, Kido menegurku dengan tegas.
“Kau tidak perlu memaksakan diri. Itu tidak baik.”
Kido
benar. Dengan bertingkah seperti ini, aku
malah seperti memberikan kode “kumohon
khawatirkan aku”
“.......Maaf.
Salahku,” Aku tidak bisa memikirkan apapun untuk dikatakan selain meminta maaf
dengan jujur.
Selama bulan dimana Ibu meninggal, Kido pun pasti
sangat menderita. Sebenarnya, aku juga sering melihatnya menangis.
Seharusnya aku tidak boleh membuatnya lebih kesusahan
lagi, tapi pada akhirnya aku malah membuatnya khawatir. Dasar aku bego.
“Yah,
karena kau bego, tidak ada yang bisa kulakukan selain memaafkanmu,” kata Kido
sambil mencebil kecil, tapi kata-katanya membuatku sedikit nyaman.
“Bahkan
di masa depan pun, aku akan terus menghajarmu.”
.....dan
ketidaknyamananku kembali dengan cepat. Aku memang tidak memiliki umur panjang,
huh?
“Ahahaha.....omong-omong,
kenapa kau ke sini? Kau perlu sesuatu?”
“Oh,
iya. Onee-chan bilang makan malam sudah siap. Otou-san dan Seto sudah menunggu,”
saat ia berbicara, Kido menunjuk ke pintu.
“Huh,
semuanya sudah pulang!? Uwah, maaf, aku akan bergegas ke ruang makan!” kataku,
segera berdiri. Kido hanya mendengkur kecil dan ikut berdiri, “dasar nyusahin” bisiknya.
Aku
setuju dengannya. Bahkan diriku sendiri pun
merasa aku ini orang yang menyusahkan. Namun,
biarpun perkataan Kido agak kasar, aku merasakan kelembutan dari ucapannya.
Ah......kesalahpahaman
apa yang selama ini kupikirkan? Aku masih dikelilingi dengan kebahagiaan.
Sekarang berbeda dengan dahulu. Aku tidak lagi
sendirian, tanpa ada siapa pun menemaniku. Bukankah aku masih mempunyai
keluarga sekarang? Keluarga yang baik kepadaku dan akan menghantamku seandainya
aku kehilangan diriku sendiri?
Aku
harus terus hidup. Aku
harus tetap bahagia. Seandainya aku sedih, itu akan membuat orang-orang di
keluargaku juga sedih.
……Benar juga. Bagaimana bisa aku membiarkan dunia yang
kejam ini mengatur segalanya? Aku harus bertahan, harus terus hidup, dan
mentertawakan dunia yang tidak adil ini dengan kebahagiaanku.
“Makan malam hari ini bakal seperti apa yah~? Aku
harap makanannya tidak seaneh kemaren.”
“Sepertinya makanannya tidak terlalu buruk. Tapi
baunya agak sedikit aneh sih.”
“Be-benarkah….? Aah, biarpun aku tidak punya hak untuk
mengeluh karena aku sendiri tidak bisa memasak,
kenapa tidak kau saja yang memasak sesekali? Soalnya Kido kan pintar sekali
memasak~. Ah, aku cuma bercanda….”
“Bukannya aku menolaknya atau
semacamnya, tapi itu tidak berguna. Onee-chan bilang dia ingin membuatnya
sendiri, dan dia bahkan tidak mendengarkanku sama sekali.”
Bersamaan kami berbincang-bincang,
kami menuju meja makan dimana keluarga kami telah menanti.
….seperti yang sudah diduga, makanan
yang dibuat kaka memiliki rasa yang perlu dipertanyakan, tapi hari itu juga
merupakan kali pertamanya aku bisa tertawa kembali bersama anggota keluargaku
setelah sekian lama
***
Pada suatu hari di musim semi, aku datang ke taman
kecil di dekat rumahku. Pagi ini, kaka memintaku untuk datang ke sini untuk
mendiskusikan sesuatu dengannya.
Di antara semua mainan yang berhamburan di taman ini,
aku memilih ayunan untuk kududuki. Kutadahkan kepalaku, memandang ke langit
dengan tatapan yang tidak fokus kemana pun.
Yah, aku sudah terbiasa dengan tingkah aneh yang
tiba-tiba dari kaka. Yah.....sebenarnya, lebih melegakan saat kaka memberitauku
apa yang ingin dia lakukan terlebih dahulu.
Habis sih, dia dulu pernah mengatakan, “ayo kita lakukan sesuatu yang menarik!”
dan selanjutnya kami malah pergi keluar di tengah-tengah malam hanya untuk
menangkap serangga.
Dibandingkan dengan kejadian itu, “berbicara di taman” adalah tugas yang
lebih mudah. Tentu saja hal itu bisa dikatakan jika diskusi ini hanya akan
berakhir sebatas diskusi saja.
Tetapi......sebenarnya apakah yang ingin kaka
diskusikan sampai-sampai dia harus memanggilku ke taman? Pasti yang ingin dia
diskusikan adalah sesuatu yang tidak bisa dibicarakan ke siapapun.
Omong-omong, akhir-akhir ini kaka sering terlihat
lesu.
Biasanya, kaka adalah gadis yang bisa dikatakan kelebihan ceria. Seandainya ada sesuatu yang bisa membuatnya selesu itu,
pasti itu adalah topik yang ingin dia diskusikan denganku.
Semenjak kaka masuk SMA sepertinya tugas sekolahnya
makin sulit. Mungkinkah itu yang ingin dia bicarakan....?
....tidak. Jika yang ingin kaka bicarakan adalah tugas
sekolah, ia tidak perlu berbicara denganku. Ayah akan lebih berguna untuk hal
semacam itu.
Kalau begitu, pasti yang ingin kaka bicarakan adalah
sesuatu yang berhubungan dengan sekolah, tapi tidak berhubungan dengan tugas.
Misalnya......
“....percintaan...?”
Ucapan yang keluar dari bibirku sendiri malah
membuatku merasa kesal.
Tidak, tidak, tidak mungkin untuk kaka. Soalnya, kaka
adalah gadis yang dibesarkan dengan komik cowo dan berbagai cerita pahlawan
berkostum. Dia tidak akan mungkin merasakan sesuatu segirlish itu. Tidak, tidak
mungkin. Ya. Itu sangat mustahil.....
“Mustahil, kan!?”
Tiba-tiba aku berdiri dari ayunannya, membuat tempat
duduk dan rantainya berbunyi keras.
Tidak, maksudku, apa yang ingin kaka lakukan adalah
pilihannya, dan aku tau aku tidak berhak mencampuri urusannya...tapi,
seandainya dia benar-benar memiliki orang yang dia sukai....apa yang harus
kulakukan?
Dan lagi, bagaimana jika orang itu adalah lelaki
mencurigakan yang mempunyai motif yang perlu dipertanyakan?
.......darah akan becucuran.
Tidak perlu diragukan lagi, kami sekeluarga akan pergi
dan menghajarnya sampai dia tidak bisa dikenali lagi.
Apalagi seandainya Ayah mengetahuinya, aku sudah bisa
membayangkan ‘neraka’ yang akan
terjadi.
Setelah Ayah selesai dengannya, mungkin tidak akan ada
lagi bekas keberadaannya di dunia ini. Tentu saja, aku juga akan membantu.
Tapi seandainya....seandainya kaka benar-benar
memiliki orang yang dia sukai dan ingin membicarakannya dengan seseorang.....
Seandainya dia berbicara kepada Seto, dia pasti hanya
akan merona, tergagap-gagap, dan tidak akan membantu. Kido pun mungkin tidak akan
tau apa yang harus dia katakan.
Ayah sudah tidak mungkin, dan itu berarti di antara
anggota keluarganya.....
“...hanya tinggal aku yang mungkin. Hmm.....”
Biarpun ini hanya imajinasi yang muncul tiba-tiba,
entah mengapa kemungkinan hal ini terjadi adalah sangat tinggi
Kudengar zaman sekarang biasa saja untuk gadis SMA
memiliki pacar satu atau dua....tunggu, ini bukanlah sesuatu yang sepele. Satu
atau dua? Aku tidak akan pernah memperbolehkannya.
Tapi bagaimana pun juga, tidak dapat disangkal;
seandainya kaka mendadak mengatakan “Aku
sedang jatuh cinta”, aku tidak akan terlalu terkejut.
Ngomong-ngomong, dia memang pernah mengatakan kalau
dia mempunyai sahabat baik.
Seandainya aku benar mengingatnya, sahabat baiknya itu
mendampinginya ke festival budaya tahun lalu, yang ada stan tembak-menembak
yang aneh.
Lebih dari itu, sepertinya mereka berdua di tempatkan
di kelas yang sama setelah masuk SMA.
Dan itu berarti.....
“....jadi laki-laki itu, huh?”
Biarpun dia hanyalah musuh yang kuimajinasikan
sendiri, pandanganku langsung menyipit karena kesal.
Seandainya dia mencoba menyentuh kaka, aku akan....
“Maaf yah~ aku telat~”
Dengan suara yang penuh semangat, kaka berlari ke
arahku mengenakan seragam sekolah musim dingin. Biarpun dia masih melilitkan
selendang merah seperti saat kami kecil di lehernya, dia telah tumbuh besar
menjadi anak SMA tanpa kami sadari.
Aku mengunci teori-teori yang tadinya kupikirkan jauh
ke dalam diriku dan kemudian menjawabnya.
“Ada apa sih, nee-chan? Tidak perlu buru-buru kok.”
“Nah~ aku hanya merasa tidak enak telah membuatmu
menungguku dengan lama.”
Dia mengeluarkan tawa lembut sambil tersipu malu.
Biarpun kepolosannya masih belum berubah dengan waktu
yang berlalu, dia telah tumbuh cukup pesat sejak masuk SMA. Mungkin ini terlalu
bias jika aku yang merupakan keluarganya mengatakan ini, tapi aku jujur
berpikir gadis sebagus dia jarang bisa didapat sekarang.
“Omong-omong, aku minta maaf telah mendadak
memanggilmu seperti ini~”
“Tidak apa kok. Soalnya nee-chan sudah sering
melakukan hal seperti ini. Jadi, ada apa?”
"Ah,
um. Er…"
Biarpun aku bertanya, dia seperti kesulitan untuk
menjawabnya. Aku menunggunya dengan sabar, tapi dia masih belum kunjung bicara,
sebaliknya dia malah terlihat sangat sedih.
“A-ada masalah apa?”
“Ti-tidak ada, hanya saja......ini adalah hal yang
cukup sulit untuk diungkapkan. Harus mulai darimana dulu aku~?”
Biarpun dia mencoba menutup-nutupinya, sepertinya
masalah yang ingin dia katakan adalah sesuatu yang sangat mengganggunya.
Hipotesisku yang sebelumnya kupikirkan mulai muncul
kembali.
“A-apakah hal yang ingin kita bicarakan seserius
itu.....?”
Dengan penuh kegelisahan, aku bertanya-tanya dalam
diriku apakah masalah yang memberatkan kaka adalah masalah percintaan. Kaka pun
akhirknya memantapkan keyakinannya dan perlahan berbicara.
“......Bukan, ini....ini tentang....Ibu.....dan
penyebab kenapa dia meninggal.”
"Huh?"
Menemui topik yang sangat berbeda dari apa yang
kupikirkan, kusuarakan rasa terkejutku.
“Kamu tau kan kalau mereka mengatakan Ibu terbunuh karena
tanah longsor?” tanya kaka yang menundukkan kepalanya.
Ibu baruku.....Ayaka-san.....dia adalah seorang arkeologis
yang mempelajari berbagai macam kebudayaan.
Karena pekerjaannya yang agak tidak lazim tersebut,
dia jarang ada di rumah. Biasanya dia pergi ke sana kemari.
Bahkan pada hari itu, dia dan Ayah juga sedang pergi
bersama untuk....
“....pada hari itu mereka pergi untuk melakukan suatu
penyelidikan, bukan? Itu yang kudengar, tapi.....”
“Mm, kamu benar kok....ah, bagaimana kalau kita duduk
dulu? Aku masih belum terbiasa dengan sepatu ini,” kata kaka sambil
menghantupkan ujung sepatu sekolahnya dengan lembut.
Kami berdua duduk di bangku taman terdekat ketika dia
lanjut berbicara, “Ini....” katanya, dan mengeluarkan sebuah buku catatan dari
tasnya.
Buku itu tidak terlihat terlalu tua, tetapi mungkin
karena sering ditulisi dan dibuka, ujungnya agak sedikit kusut.
Di depannya tertera tulisan tangan rapi; ‘Catatan Penyelidikan Mengenai –Monster-‘
“ ‘Monster’ apa yang dimaksud di sini?....Omong-omong,
bukannya ini milik okaa-san? Kenapa kaka.....”
Aku menjulurkan tanganku untuk mengambilnya, tapi kaka
mendadak menarik kembali buku catatan itu ke dirinya.
“Uwah.....! Ke-kenapa? Aku tidak boleh melihatnya
yah?”
“Tu-tunggu sebentar! Maaf....aku....”
Kaka memeluk buku catatan itu ke dadanya. Melihatnya
dengan jeli, kaka sedikit gemetaran dan airmata pun mulai berkumpul di pelupuk
matanya. Dari mana pun kau melihatnya, sudah pasti ada yang salah.
“Ada apa? Apakah nee-chan tidak enak badan....?”
Aku mengelus-ngelus punggungnya, tapi dia hanya bisa
mengeluarkan permintaan maaf yang lirih.
“Aku baik-baik saja.....hanya saja...aku agak sedikit
ketakutan...”
Pikiranku langsung buyar melihat sikap kaka yang
ragu-ragu. Mungkinkah ada sesuatu yang sangat menakutkan tertulis di dalam buku
catatan itu.
Kemungkinan ini sangat tinggi.....jika kau melihat
judulnya ‘—Mengenai –Monster-‘ yang terlihat sangat serius
Kaka menghirup napas dalam-dalam sebanyak tiga kali
untuk menenangkan diri sebelum melanjutkan.
“Maaf sudah membuatmu khawatir. Aku....juga ingin
Shuuya melihat apa yang berada dalam buku catatan ini...tapi sebelum itu,
bisakah kamu mendengarkanku?”
Dia menatap tepat ke mataku saat dia mengatakan itu,
aku bisa merasakan ketekadtan diri yang kuat dan tidak tergoyahkan di balik
pandangannya.
“Tentu saja! Aku akan mendengarkan apapun yang ingin nee-chan
katakan.”
Mendengar perkataanku, kaka menggumamkan kata
terimakasih dengan ekspresi yang sedih, sebelum lanjut ke topik utama.
“Shuuya, apakah kamu ingat? Tentang permainan
organisasi rahasia yang sering kita mainkan dulu saat kita kecil?”
“Aku masih ingat. Permainan dimana kita main
kejar-kejaran sambil mengenakan tudung itu, kan? Rasanya dulu itu kita
menamakannya....”
"…’Mekakushi Dan’."
“Sebelum aku bisa memikirkannya kembali, nama itu
telah lebih dahulu keluar dari bibir kaka.
Benar juga. Dulu setiap kali kami bermain pura-pura
menjadi sesuatu, kami akan selalu bermain ‘Organisasi
Rahasia: Mekakushi Dan.’
“’Kemampuan
mata’ kalian merupakan rahasia di antara kita berempat, bukan? Organisasi
yang menyembunyikan mata......kalau aku memikirkannya kembali, nama itu cukup
memalukan.”
Kaka terlihat agak malu. Mungkin itu benar. Bagaimana
pun kau melihatnya, nama itu tidak bisa dikatakan sebagai nama yang keren.
....tapi....aku menyukai nama itu.
Aku tidak pernah memikirkannya sampai sekarang, tapi
lewat permainan itu, melalu ‘organisasi
rahasia’ yang telah kaka buat, kaka ingin membantu kami menyembunyikan ‘mata’ kami yang menjadi sumber
ketakutan dan kebencian orang-orang di sekitar kami.
Memanggil dirinya sendiri sebagai ketua, memberikan
kami tudung yang bisa kami gunakan untuk menyembunyikan ‘mata’ kami, membantu kami tersenyum...semuanya adalah
perbuatannya.
Tapi, kenapa dia ingin membicarakan itu sekarang? Aku
masih belum bisa melihat apa inti dari diskusi ini.
"……Mm-hm."
Kaka kembali menghirup napas dalam-dalam, dan perlahan
mulai berbicara.
“Okaa-san....dari awal dia sudah tau tentang ‘kemampuan mata’ kalian. Bahkan dia tau
seberapa banyak masalah yang diberikan kemampuan itu kepada kalian.”
“Huh!? Se-serius nih? Padahal kita sudah bersusah
payah untuk menyembunyikannya supaya mereka tidak mengusir kami....!”
“Aku tau, aku tau. Tapi....fakta bahwa okaa-san ingin
menyelamatkan semuanya dari ‘kekuatan
para ular’.....aku...aku tidak tau mengenai itu.....”
Airmata perlahan mengalir turun ke pipinya, membasahi
tanah yang kering. Kaka tidak mengusap air matanya, dia hanya mecengkram
erat-erat buku catatan itu ke dadanya, tersedu-sedu.
“Berbagai macam hal menjadi sangat buruk....apa yang
harus kulakukan....kalian semua mungkin akan mati....!”
Aku....sama sekali tak berdaya.
Aku tidak bisa mengatakan apapun kepada kakaku yang
terisak.
Aku bahkan tidak bisa memahami kebenaran yang
tiba-tiba diletakkan tepat di depan mataku.
Benar. Aku sama sekali tidak mengetahui apapun.
Makhluk menyedihkan yang dipanggil dengan ‘monster’, ‘kutukan’ yang berada di dalam tubuh kami, dan apa yang berada di
dalam Ayah....
Sejak saat itu, ‘kebahagiaan’
yang mengelilingi kami perlahan mulai hancur.
***
“...sepertinya ‘Ular
Bermata-Penjelas’ yang merasuki
otou-san benar-benar ingin mengabulkan harapannya.”
“Harapannya...”
“Ya. Otou-san berharap untuk ‘melihat okaa-san sekali lagi’.”
“Me-memangnya hal seperti itu bisa dilakukan?”
“Seandainya sebuah monster bisa diciptakan di ‘dunia ini’, hal itu mungkin terjadi. Kita
akan bisa menemui orang-orang yang ditelan oleh ‘dunia satunya’....”
“Ka-kalau begitu bukannya itu bagus? Kita juga harus
membantunya...!”
“Tidak!!”
“Huh?”
“...untuk membuat monster itu, semua ular yang menjadi
‘pengganti nyawa’ harus dikumpulkan.
Untuk mengumpulkan ular-ular tersebut, mereka harus berkumpul menjadi
satu....dan itu berarti....”
“Itu berarti kami....?”
“Aku juga ingin melihat okaa-san sekali lagi....tapi
jika itu berarti semuanya harus mati, apa yang harus kupilih tidak perlu dipikirkan
lagi....!”
"Nee-chan…”
“Karena okaa-san...memikirkan nasib semuanya sampai
akhir hayatnya. Aku tidak bisa membiarkan semuanya mati, setelah tau tentang
itu....!”
***
“Senpainya nee-chan....maksudmu orang-orang itu?”
“Ya, Shuuya pernah bertemu dengan mereka di sekolah,
bukan? Takane-san dan Haruka-san...ular itu ingin memasukkan ular-ular tersisa
yang berada di dunia satunya ke dalam tubuh mereka. Mungkin, dia ingin mereka
ditelan oleh dunia satunya.”
“Bukannya itu pembunuhan!?....Da-darimana pun juga,
polisi tidak akan memperbolehkan itu, kan?”
“Di waktu dimana kamu pergi ke sekolah sebagai diriku,
aku telah melakukan penyelidikan. Ular itu menggunakan tubuh otou-san untuk
melakukan berbagai macam hal yang buruk....dan lebih dari itu, dia mempunya
pendanaan yang sangat besar. Bahkan rumah sakit, sekolah, polisi,.....dan
orang-orang jahat yang lebih hebat membantu ular itu...”
“Ba-bagaimana ini bisa....”
“Katakanlah, Shuuya.....aku berpikir untuk mencoba
berkomunikasi dengan ular itu. Mungkin, tidak ada cara lain...”
“Huh!? Mustahil, mustahil kita bisa melakukan itu!
Ular itu terdengar seperti ular yang akan membunuh siapapun yang dia inginkan!?
Bagaimana bisa ular seperti itu mau bernegosiasi dengan kita....!”
“Begitu kah? Tapi, kau tau aku ini oon, mungkin saja
dia akan menurunkan pertahanannya sedikit dan mau berbicara denganku?”
“Jangan bergurau seperti itu! Seandainya nee-chan
lenyap, kami akan....”
“Apa yang kamu bicarakan? Tentu saja kita akan
selaluuuu bersama, kan? Jadi jangan menangis, oke?”
“Aku tidak ingin...aku tidak ingin....dunia tanpa
nee-chan di sana....!”
“Aku bilang semuanya akan baik-baik saja, Shuuya.
Jangan lupa, aku danchou dari Mekakushi Dan! Musuh yang seperti itu sama sekali
tidak ada tandinganya denganku! Jadi Shuuya....jangan benci dunia ini, oke? Aku
yakin....semuanya akan bisa bahagia.”
***
"Nee-chan,
jangan!!"
Kudorong pintunya terbuka dan berlari.
Siluit kaka yang dilatari aura oranye yang terang
terlihat hampir tidak nyata, dia bagai akan terhisap ke udara.
"Shuuya…!"
Dia memanggil namaku, wajahnya terhias dengan
ketakuran.
“Ja-jangan mengatakan hal aneh seperti itu....kau
berjanji kau akan....bukankah nee-chan sudah berjanji kalau kita akan selalu
bersama?!”
Mendengar perkataanku, ekspresinya berubah menjadi rasa
bersalah, tapi ia tidak mengangguk.
“....aku tau rencana ini tidak akan berhasil.....tidak
ada artinya jika ini berlanjut. Untuk senpai, untuk keluargaku.....tidak ada
gunanya jika mereka semua akan terbunuh, bukan?” katanya, berbalik menuju
langit yang diterangi dengan cahaya matahari terbenam.
Seandainya dia berjalan selangkah maju, badannya sudah
pasti akan jatuh ke tanah tanpa ada yang menahannya.
“Hentikan itu! Nee-chan!!”
Aku berteriak dengan seluruh suaraku, tapi kaka tidak
berbalik, bahkan tidak melihat ke belakang.
“Ini....ini akan menangkap siapapun yang mati ke
dalamnya, bukan?”
Bersamaan dia berhenti berbicara, sesuatu seperti
kabut hitam yang besar bagai berkelip di balik pandangannya.
Aku sudah pernah melihat ini sebelumnya. ‘Keputusasaan’ terbesar di dunia ini.
Tepat pada saat ini aku merasa akan menjadi gila.
Aku berdoa dari dalam lubuk hatiku agar kelanjutan
dari ini tidak akan pernah datang. Aku memohon kepada dunia hina ini untuk berhenti.
Siapapun, kumohon tolong kami. Tolong kaka dan
selamatkan aku.
“Maafkan aku, Shuuya. Pada akhirnya, aku sama sekali
tidak hebat. Aku.....agak takut....”
Pada akhirnya, dia mengatakan ini dengan airmata
membasahi wajahnya.
Biarpun aku berlari sekuat tenagaku, aku tidak akan
sempat.
Tubuh kaka terbang tanpa daya ke langit dan dia
menghilang tanpa jejak dari penglihatanku.
Terdengar suara sesuatu yang pecah dari dalam hatiku.
***
“.....Heh,
aku tidak pernah menyangka ini akan menjadi seperti ini. Semakin aku
memikirkannya, semakin aku merasakan.....bahwa aku sangat terkejut dengan hal
ini.”
“.....aku akan membunuhmu.”
“Hei,
seharusnya kau sudah tau benar siapa yang membiarkan bapak tua tersayangmu ini
hidup. Jadi mari berhenti membicarakan membunuh atau semacamnya...omong-omong,
rencanaku gagal karena gadis itu. Seandainya semua ular tidak bisa dikumpulkan
ke dunia ini, aku tidak bisa membawa kembali istri orang ini kembali. Apa yang
harus kulakukan....”
“Kalau begitu jangan lakukan apapun....! Paling
tidak....paling tidak kembalikan ayahku....!”
“Bodoh.
Seandainya rencana ini gagal, aku bisa mengulangnya kembali. Memulainya kembali
dari awal....ah iya, kau, bagaimana kalau kau pura-pura menjadi ‘mayat’nya? Kau pintar dalam hal seperti
ini, bukan? Pastikan kau ditemukan oleh seseorang. Aku tidak peduli siapa, siapapun
yang mempunyai koneksi denganku akan menganggap itu bunuh diri. Karena akan
menyusahkan jika dia dianggap sebagai orang hilang.”
“.....Memangnya menurutmu apa yang kau katakan...?!”
“Jangan
salah sangka. Kau, keluargamu.....kalian semua bisa hidup hanya karena aku
memperbolehkannya. Kecuali kau ingin keluargamu terbaring di atas darah mereka
sendiri? Kau tidak menginginkannya bukan?”
“Uu...aku...”
“Kemampuanmu
cukup berguna. Asalkan kau mendengarkanku, aku tidak akan berbuat apapun yang
terlalu buruk kepadamu....tapi dengarkan baik-baik. Apapun yang kau lakukan,
takdir tidak akan pernah berubah. Kecuali kau ingin keluargamu dibantai,
perlakukanlah masalah ini dengan sangat hati-hati.”
“Sial.....sialan!”
“Kalian
semua hidup di atas kepalan tanganku. Jangan pernah lupakan itu, bocah.”
arigatou Gozaimasu
BalasHapusFaktanya, seberapapun kau berharap, waktu tidak akan berjalan mundur atau pun berjalan lebih cepat sesuai kehendakmu.penderitaan kano
BalasHapustrimakasih banyak kaorihikari. Gk sbr nunggu chapter "Kyou to iu Hi no Rojou ni te [Hari di jalan yang disebut hari ini]"
BalasHapuskakak mu Oon. wkwkkwkkwkwk
BalasHapusarigatou udh TL kaori
terimakasih udh translate kaori :D, Izin baca
BalasHapusad beberapa yang typo kaori, tp cuma dikit kok.Arigatous kaori -
BalasHapusWAH.!! udh di lanjutkan
BalasHapusArigatou laori
Arigatou Gozaimasu izin bca
BalasHapusLanjutkan min
BalasHapustrimakasih banyak
terimakasih banyak kaori,udah mentranslate.ditunggu kelanjutannya kaori
BalasHapuszin baca min makasih
BalasHapusArigatou Kaori,saya tunggu kelanjutannya :)
BalasHapusArigatou ^^
BalasHapusDitunggu Yobanashi Deceive VI nya
BalasHapus